| 428 Views

Ramai Calon Legislatif Terpilih Memondokkan SK ke Bank, Inikah Efek Samping Money Politic ?

Oleh : Tati Sunarti, S.S

"Politikus seperti jalan tol, selalu menuju ke satu arah yang sama: kepentingan pribadi" (liputan6.com, 1/3/2024)

Hajat demokrasi untuk memilih wakil rakyat per lima tahun sekali, biasanya menyedot energi baik tenaga dan materi para caleg (calon legislatif). Banyak atribut dan logistik yang diadakan sebagai alat kampanyenya. Banyak acara harus diselenggarakan guna menarik pemilih dengan harapan memberikan dukungan.

Fakta ini menunjukkan bahwa demokrasi adalah sistem yang meniscayakan adanya _high cost politic_ (kebutuhan akan uang secara brutal), pada masa menuju pemilihan umum. 

Ramai pemberitaan di berbagai daerah tentang fenomena anggota DPRD yang baru saja dilantik langsung mengajukan pinjaman utang Bank, dengan masing-masing jumlah puluhan hingga ratusan juta. Inilah dampak dari mahalnya mahal politik dalam sistem demokrasi, upaya untuk menjadi calon perwakilan daerah membutuhkan dana kampanye yang sangat besar. 

Maka tidak heran ketika berhasil lolos dan resmi dilantik para anggota DPRD ini berupaya mengembalikan modal walau dengan cara memondokkan SK-nya (Surat Keputusan) sebagai jaminan utang ke Bank, yang notabene berunsur utang ribawi. 

Seperti yang dilakukan sejumlah Calon Legislatif terpilih di Kabupaten Subang. Mereka diberitakan kompak mengadaikan SK (Surat Keputusan) setelah resmi dilantik menjadi anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).  Kabar ini viral setelah diunggah di media sosial oleh akun @kepoin_trending (suara.com, 4/9/2024).

Ujang Sutrisna, selaku Sektretaris DPRD Subang, membenarkan hal ini. Ujang sudah menerima pengajuan permohonan dari sejumlah anggota DPRD, agar SK-nya segera diterbitkan.

Hal yang sama juga terjadi di Kota Serang.  Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), AB. Widyanta menyatakan ini adalah fenomena gunung es. Fakta yang terungkap ke publik tidak nampak banyak. Namun, bisa jadi ini merepresentasikan bahwa tindakan ini mesti terjadi di berbagai wilayah di Indonesia (suara.com, 6/9/2024).

Jika masyarakat menitipkan harapan agar kondisi negara ini lebih baik dan maju melalui demokrasi, mungkinkah pemilu yang memiliki _high cost politic_ ini melahirkan wakil rakyat yang bersih dari permainan money politic?

mungkinkah peraturan atau kebijakan yang ditetapkan oleh anggota legislatif akan pro rakyat jika sesaat setelah dilantik pun mereka memutuskan berupaya mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan?

 Disisi lain, tidak akan ada lagi jaminan kinerja yang memadai yang arahnya benar-benar untuk kepentingan rakyat, selain mereka akan fokus pada cara untuk melunasi setoran utang Bank dengan berbagai cara, termasuk potensi melakukan tindak korupsi.

Pertanyaan berikutnya, apakah ada sistem pemerintahan yang bersih dari money politic? 

Tentu. Islam hadir ke dunia dengan seperangkat aturan yang lengkap dan sempurna. Islam memiliki sistem pemerintahan yang efektif, juga tidak membutuhkan uang yang tinggi dalam pelaksaan pemilihan penguasa baik pusat ataupun daerah. 

Sebagaimana yang dilakukan para sahabat dalam memilih pemimpin diantara mereka sepeninggal Rasulullah SAW. Para sahabat berijmak (bersepakat) untuk membentuk komite pemilu yang disebut dengan Ahlul halli wal'aqdi sebagai panitia pelaksana pemilihan pemimpin negara. Pemimpin negara dalam sistem Islam dipilih dengan syarat dan seleksi ketat. Sehingga hanya orang yang memenuhi syarat sesuai syarak saja yang terpilih.

Selanjutnya, kepala daerah diangkat  dan/atau diberhentikan oleh pemimpin negara secara langsung. Mekanisme seperti ini menutup pintu pemborosan uang demi mencapai jabatan tertentu. 

Jabatan kepala daerah tidak sembarang diberikan, sebagaimana dalam riwayat hadits tentang bagaimana respon Rosulullah saw. pada saat Abu Dzar Al-Ghifari meminta amanah jabatan.

"Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)? 
Sembari menepuk bahu Abu Dzar, Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR. Muslim).

Islam mengarahkan untuk memberikan amanah jabatan pada orang yang mampu.

Islam pun memiliki elemen dalam institusi pemerintahan yang disebut dengan majelis umat. Majelis umat ini bukan pemimpin wilayah, tapi majelis yang merepresentasikan umat dalam menyampaikan aspirasi atau keluhan/aduan kepada penguasa. Tujuannya semata untuk mengoreksi dan memastikan para pemimpin tetap dalam batasan aturan syarak.

Islam sudah menyuguhkan sistem yang layak dan sudah pernah diterapkan 13 abad silam dengan paripurna. Apa yang membuat ragu mengambilnya sebagai jalan menuju perbaikan dan perubahan?

Sedang demokrasi dari periode ke periode sudah menampakkan kerusakan bawaan dan merugikan banyak hal. Mengapa masih dipertahankan? Seolah betah di dalamnya. 

Wallahu'alam


Share this article via

132 Shares

0 Comment