| 381 Views

Pupuk Bersubsidi, Kenapa Petani Justru Bersedih?

Oleh : Wahyuni Mulya 

Aliansi Penulis Rindu Islam

Pemerintah menambah alokasi pupuk subsidi pada tahun 2024 dari semula 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Meski ada tambahan alokasi pupuk subsidi, namun dampaknya belum sepenuhnya terasa langsung ke petani.

Presiden Joko Widodo mengatakan, Indonesia belum mandiri dalam produksi pupuk karena ada bahan baku yang masih diimpor. Salah satu bahan baku pupuk yang diimpor adalah amonium nitrat. Jumlah amonium nitrat yang diimpor mencapai 21 persen dari total kebutuhan industri. Bukan hanya amonium nitrat, melainkan juga bahan baku pembuatan pupuk lainnya yang masih bergantung pada negara lain.

Kepala Pusat Pembenihan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Kusnan mengatakan tambahan alokasi pupuk subsidi pemerintah belum ada realisasi yang berarti. Ia menyebut, petani masih kesulitan untuk memperoleh pupuk subsidi. Pupuk bersubsidi hanya dapat ditebus pada kios-kios resmi yang telah ditentukan untuk melayani kelompok tani setempat dan petani yang menebus telah sesuai dengan kriteria yang diatur oleh Permentan Nomor 10 Tahun 2022. "Petani juga masih sulit untuk mendapatkan pupuk subsidi jatah 1 hektare hanya 100 kg urea dan 70 kg NPK per musim tanam, jelas tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman," terang Kusnan

Petani yang mendapat alokasi subsidi pupuk diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi sektor Pertanian. Dalam aturan, petani yang berhak mendapatkan alokasi subsidi pupuk adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani, terdaftar dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (Simluhtan), menggarap lahan maksimal dua hektar, dan menggunakan kartu tani (untuk wilayah tertentu).

Selain itu, lanjut dia, para petani terdaftar dipastikan menggarap sembilan komoditas yang telah ditentukan yaitu padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu rakyat dan kakao. Dengan kata lain, petani yang menggarap di luar komoditas tersebut tidak lagi berhak mendapat alokasi pupuk bersubsidi.

Petani sangat berharap negara hadir dengan menyediakan pupuk dengan harga terjangkau. Penyediaan pupuk merupakan bukti bahwa negara hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, realitasnya, subsidi pupuk justru makin turun.

Dimana Peran Negara?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia cenderung menurun dalam satu dekade terakhir. Pada 2012, volume produksi padi nasional mencapai 69,05 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlahnya sempat meningkat hingga mencapai 81,07 juta ton GKG pada 2017.

Namun, mulai 2018 produksi padi anjlok menjadi 59,02 juta ton GKG, dan kembali menurun pada 2019 menjadi 54,6 juta ton GKG. Pada 2020 produksinya naik sedikit menjadi 54,64 juta GKG, tetapi turun lagi menjadi 54,41 juta ton GKG pada 2021. Selanjutnya data produksi padi pada 2022 mencapai 54,74 juta ton GKG. Capaian ini naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi jauh lebih rendah dibandingkan dekade lalu. Akibat menurunnya subsidi pupuk, hasil pertanian juga terus turun

Pemerintah menginginkan swasembada pangan agar masyarakat merasakan kemakmuran, tetapi di sisi lain pemerintah juga berhadapan dengan beragam kesulitan. Pemerintah sendiri tampak melakukan upaya penyelesaian hanya di permukaan, padahal program ekstensifikasi dan intensifikasi tidak bisa berjalan saat solusi mendasar yang digunakan bermasalah.

Pupuk Kebutuhan Petani
Negara mengatur hanya petani yang menanam dengan komoditas tertentu yang bisa memperoleh pupuk subsidi. Artinya, petani yang menanam di luar itu tidak akan mendapatkannya. Ini mengindikasikan ada paksaan dalam memilih tanaman pertanian. Pemegang kebijakan akhirnya mengarahkan masyarakat untuk menanam komoditas tertentu. Masalahnya, pertanian masyarakat bukan hanya satu komoditas, ada banyak komoditas lain yang juga memperlukan penggunaan pupuk.

Lebih mengesalkan lagi, jumlah pupuk juga dibatasi. Petani yang lahannya lebih dari dua hektare, tidak bisa mendapatkan pupuk sesuai kebutuhan. Sedangkan meski lahannya kurang dari dua hektare, kebutuhan pupuk juga berkali-kali lipat karena pemberian banyak pupuk diperlukan agar tanaman bisa subur dan cepat membaik setelah rusak karena serangan hama dan lainnya.

Regulasi pupuk bersubsidi ini tampak pilih-pilih. Hanya petani yang tergabung dalam kelompok tani yang bisa mendapatkan, padahal anggota kelompok tani ataupun bukan, semua adalah warga negara Indonesia. Seharusnya semua mendapatkan hak yang sama, mengingat pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Semua itu adalah akibat penerapan kapitalisme yang menjadikan sekularisme dan materialisme sebagai dasar pembuatan aturan. Ideologi ini mengeluarkan regulasi hanya berorientasi pada laba. Tersebab sebagian besar bahan baku masih impor, butuh biasa besar untuk membuat pupuk. Hasilnya, jika menginginkan laba, pupuk juga harus dijual mahal.

Solusi oleh Negara
Sanksi atas tindak pelanggaran mafia juga belum mampu memberikan efek jera. Meski ada ancaman bagi siapa pun yang bertindak curang, nyatanya masih saja ada pihak yang ingin memanfaatkan. Mafia-mafia itu tanpa rasa takut menjual pupuk dengan harga lebih tinggi. Ujungnya, rakyatlah yang dirugikan.

Adapun dalam Islam, pemerintah (khalifah) akan menjamin ketersediaan pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya. Negara tidak hanya menjamin ketersediaannya, tetapi juga menjamin harganya sangat terjangkau, bahkan digratiskan jika diperlukan. Islam menjamin semua rakyatnya dalam melakukan usaha termasuk petani.  Negara akan membantu semua petani yang mengalami kesulkitan baik modal maupun sarana produksi pertanian termasuk pupuk. Apalagi petani memiliki posisi strategis dalam menjamin ketersediaan bahan pangan dalam negeri

Islam memandang negara sebagai raa’in (pengurus) yang akan menyediakan sumber dana untuk membantu petani. Dalam aturan Islam, sumber pendapatan negara sangat banyak, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, pengelolaan SDA, dan sebagainya. Sumber keuangan itu dapat dimanfaatkan untuk membantu petani berupa modal maupun penyediaan sarana pendukung pertanian.

Negara pun akan mendorong penelitian dan memproduksi bahan baku pupuk secara mandiri sehingga tidak perlu mengandalkan impor. Negara juga punya aturan tegas, bagi setiap pihak yang berlaku curang (mafia pupuk) akan mendapatkan sanksi yang menjerakan sehingga tidak akan ada yang berani berlaku curang.

Islam menjadikan negara mandiri sehingga tidak tergantung pada impor termasuk dalam menyediakan  bahan baku. Di luar itu semua, nuansa ketaatan yang dibangun negara dalam berbagai aspek juga menjadi perisai bagi seseorang untuk melakukan kemaksiatan, termasuk berlaku curang. Jadi, jika ingin mengurai masalah pupuk yang kian menumpuk, sudah saatnya kembali pada aturan Islam.


Share this article via

94 Shares

0 Comment