| 147 Views
PPN Merangkak Naik, Tak Peduli Ekonomi Rakyat Sulit?

Oleh : Diana Nofalia, S.P.
Pemerhati Kebijakan Publik
Isu yang kini tengah menjadi perhatian adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga sudah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN awal tahun depan tetap berjalan.
Meskipun tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan negara, langkah ini memunculkan pertanyaan besar terkait apakah kebijakan ini dapat menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan dunia usaha? (https://www.antaranews.com/berita/4471617/untung-rugi-kenaikan-ppn-12-persen-bagi-perekonomian-indonesia)
Berdasarkan data yang diterbitkan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia masuk jajaran negara dengan pajak pertambahan nilai (PPN) atau value-added tax (VAT) tertinggi di wilayah ASEAN periode 2023-2024. (https://www.cnbcindonesia.com/research/20241115072739-128-588392/fakta-tarif-ppn-ri-jadi-terbesar-kedua-di-asean)
Kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Apalagi, ada problem korupsi yang gemar dilakukan pejabat. Selain itu, keadaan ini diperparah oleh pemerintah yang gemar berutang.
Dampak dari kenaikan PPN yang pasti adalah kesengsaraan rakyat. Terlebih kebijakan ini jika di tengah disaat ekonomi masyarakat dalam keadaan sulit. Hal ini tentunya akan menurunkan daya beli masyarakat, dan akhirnya banyak usaha yang akan sepi pelanggan dan mengalami kerugian, bahkan gulung tikar.
Situasi ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Di sisi lain negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal.
Sistem ekonomi Kapitalisme sangat lemah. Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama. Sistem ini jelas membebani rakyat meski rakyat dikelabui dengan berbagai slogan. Rakyat diwajibkan bayar pajak, tapi disisi lain negara abai terhadap kehidupan rakyat yang serba sulit. Lapangan kerja yang minim dan biaya kebutuhan pokok yang makin meningkat drastis.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam memiliki aturan yang kompleks dan berkeadilan, termasuk aturan mengenai pajak. Ada empat ketentuan tentang pajak dalam sistem Islam yaitu:
pertama, pajak bersifat temporer. Tidak bersifat kontinu dan hanya boleh dipungut ketika di Baitul Mal tidak ada harta atau kurang.
Kedua, pajak hanya bolehkah dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Pembiayaan itu adalah pembiayaan jihad dan berkaitan dengannya, pembiayaan dan pengembangan industri militer ataupun industri pendukungnya, pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir miskin dan Ibnu Sabil, pembiayaan untuk gaji pegawai negara (tentara, hakim, guru, dan lain sebagainya), pembiayaan atas kemaslahatan atau fasilitas umum yang jika tidak diadakan akan menyebabkan bahaya bagi umat, pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan kejadian yang menimpa umat.
Ketiga, pajak hanya diambil dari kaum Muslim dan tidak dipungut dari non-Muslim. Sebab, pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban kaum Muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-Muslim.
Keempat, pajak hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitar. Kelima, pajak hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
Ketentuan pajak sesuai dengan aturan Islam seperti inilah yang tentunya dapat memberikan ketenangan bagi masyarakat ekonomi lemah. Betapa banyak masyarakat yang kepayahan dengan aturan pajak yang makin hari makin mencekik. Pajak antara si miskin dan yang kaya bisa dikatakan tidak ada bedanya. Dan bahkan para pengusaha mendapatkan perlakuan khusus dalam aturan tersebut. Di sisi lain, dalam sistem kapitalis pajak dipungut secara terus menerus seakan rakyat tak punya ruang untuk bernafas dari rentetan jenis pajak yang menghimpit mereka.
Dengan demikian, hanya aturan Islamlah yang sejatinya berasal dari Sang Pencipta, bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Bukan aturan kapitalisme buatan manusia yang berpijak pada kepentingan individu ataupun kelompok. Dan aturan ini jika diterapkan bukan hanya kaum Muslimin yang diuntungkan, bahkan non-Muslimpun akan diuntungkan dengan penerapan aturan tersebut. Disinilah konsep aturan Islam sebagai rahmatan lil a'lamin akan tercipta.
Wallahu a'lam