| 156 Views

PPN Dinaikkan, Ekonomi Rakyat Jadi Korbannya

Oleh : Kiki Puspita

Kenaikan PPN menjadi 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10%, diubah menjadi 11% yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12% paling lambat 1 Januari 2025.

Kenaikan PPN ini akan sangat  berpengaruh kepada pajak pembangunan rumah sendiri. Pada 2022, PPN yang berlaku adalah 11% nilai pajak membangun rumah sendiri adalah 2,2%. Pada 2025, PPN akan naik menjadi 12% sehingga pajak membangun rumah sendiri menjadi 2,4%.

Lebih menyedihkannya lagi, ternyata kenaikan PPN dari tahun ke tahun berpengaruh terhadap makin menurunnya kelompok kelas menengah masyarakat negeri ini, padahal kelompok tersebut merupakan penopang perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi penurunan jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Tercatat pada 2019, jumlah kelompok kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang, lantas pada 2024 jumlahnya merosot menjadi 47,85 juta orang. Artinya, ada hampir 10 juta orang di kalangan menengah turun kasta dalam kurun waktu tersebut. 

Seperti efek permainan domino,antara yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Dari data-data ini semua, kita dapat melihat betapa kebijakan kenaikan pajak yang ditetapkan pemerintah negeri ini menimbulkan kesulitan bagi rakyat, bahkan menyebabkan ‘turun kasta’. Sangat jelas, kebijakan ini benar-benar tidak mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya. 

Pemerintah seolah menutup mata atas penderitaan rakyatnya. Sehingga, ketika memutuskan kebijakan, sering kali tidak berpihak terhadap kepentingan masyarakat luas. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula,ini pribahasa yang bisa menggambarkan bagaimana kondisi rakyat saat ini,sudah susah di tambah lagi kesengsaraannya.

Kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurunkan daya beli masyarakat, dll. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang ditambah lagi badai phk yang akan mengakibatkan semakin banyak rakyat yang sengsara.membuat kebijakan yang melanggengkan hegemoni penjajahan ekonomi. 

Pajak merupakan pendapatan utama dalam sistem sekarang. Semua serba di pajakan demi  mendobrak pajak sebagai sumber pemasukan negara.mulai dari pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya .sebab pajak dianggap memiliki peran penting dalam pertambahan pendapatan.

Namun, slogan-slogan ajakan membayar pajak ternyata hanya berlaku untuk masyarakat kelas 9bawah. Pada kenyataannya, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pemerintah justru menghapus beberapa pajak. Kemenkeu telah memutuskan pemberian fasilitas perpajakan di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Salah satunya adalah pajak penghasilan, contohnya Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100% untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN. Pengurangan PPh 100% atau 85% untuk badan yang bergerak di sektor keuangan IKN. Fasilitas fantastis ini berlaku selama 25 atau 20 tahun.

Kebijakan pajak yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang menimbang segi untung ruginya. Jika pemerintah menemukan hal yang lebih urgen daripada membayar pajak, langsung memberikan keistimewaan.

Sebagaimana di IKN, demi terwujudnya ibu kota negara yang baru, yang dianggap mempunyai keuntungan lebih besar, maka pemerintah memberikan penghargaan pada badan usaha/keuangan untuk tidak membayar pajak penghasilan.

Lebih miris lagi, pendapatan pajak di sektor industri yang berkurang ternyata juga membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Para pengusaha itu mendapatkan keistimewaan tax amnesty atau intensif lainnya. Ini menunjukkan bahwa negara dapat dengan mudah mengubah aturan agar tetap ada pemasukan atau agar mendapatkan keuntungan yang lainnya, padahal selama ini berbagai macam pajak yang ada justru sangat membebani masyarakat. 

Semua ini tidak lepas dari sistem yang di pakai oleh pemrintah yaitu sistem ekonomi kapitalis.Inilah kelemahan sistem ekonomi kapitalisme, sistem yang mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama. Hasilnya, rakyat justru mengalami pemerasan untuk membayar pajak. Setiap hal yang ada hubungannya dengan uang, langsung dikenai pajak. Itu dilakukan untuk mengisi APBN.

Indonesia merupakan negara yang mempunyai SDA. Sayangnya, dengan pengelolaan model sistem ekonomi kapitalisme membuat banyak SDA dikuasai asing dan swasta. Kekayaan alam tersebut diprivatisasi. Jadinya, yang mendapatkan keuntungan malah para pengusaha. Negara mendapatkan pemasukan dari SDA itu hanya dari besaran pajak yang dibayarkan.

Inilah yang dinamakan salah kelola perekonomian. Di satu sisi negara kekurangan pendapatan karena hanya mengandalkan pajak, di sisi lain SDA yang harusnya bisa jadi sumber pendapatan utama justru diberikan kepada asing atau swasta. Wajar kalau semua aturan—salah satunya pajak—bisa berubah-ubah sesuai kepentingan orang tertentu atau sesuai pesanan. 

Kebijakan kapitalisme sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan akidah sebagai landasan utama pengambil keputusan. Dalam hal mengatur pendapatan, Islam punya aturan sendiri. Sesuai dengan hadis berkaitan dengan pengelolaan SDA, yaitu, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Maksud dari hadis di atas adalah segala kekayaan alam, baik padang rumput, hutan, sungai, laut, danau, barang tambang, gas alam, ataupun minyak bumi, adalah milik rakyat. Negara punya kewajiban mengelola dan memberikan hasil pengelolaan kepada masyarakat secara merata.

Selain dari pengelolaan SDA, Islam juga mengatur pemasukan dari berbagai macam. Misalnya jizyah, fai, kharaj, dan ganimah. Semua pemasukan itu akan membuat kas negara baitulmal terisi dan bisa digunakan negara untuk mencukupi kebutuhan rakyat.

Soal pajak, Islam tidak menjadikannya sebagai pemasukan utama. Pajak hanya akan dipungut ketika negara mengalami kekosongan kas. Itu pun hanya untuk kaum muslim yang kaya. Bagi kaum muslim lainnya atau nonmuslim (kaya atau tidak) tidak akan mendapat kewajiban membayar pajak. 

Sistem keuangan seperti ini hanya ada pada negara yang menjadikan Islam sebagai landasan aturan. Negara ini biasa disebut Khilafah, sebagaimana yang dicontohkan para sahabat dan khulafa. Jadi, hanya sistem islamlah yang bisa mengelolah sistem perpajakan dengan benar dan amanah, yang di pergunakan untuk kepentingan rakyat. 

Wallahu'alam bissawwab.


Share this article via

68 Shares

0 Comment