| 165 Views

PPN 12% dan Ketimpangan Ekonomi: Perspektif Ekonomi Kapitalisme vs Islam

Oleh : Atiqoh Shamila 

Terhitung mulai 1 Januari 2025 pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sebesar 12%.  Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam pasal 7 ayat 1 huruf b undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan atau UU HPP.  Meskipun kenaikan PPN 12% dikatakan tidak menyasar semua barang dan jasa hanya berlaku pada barang mewah saja,  namun masyarakat masih mempertanyakan definisi barang mewah yang dimaksud,  sebab pada akhirnya kenaikan pajak 12% menyasar hampir semua barang dan jasa yang kena pajak (Tirto.id; 21/12/2024)

Ekonom  senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri, mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai atau PPN 12%.  Menurutnya kenaikan itu hanya menyengsarakan rakyat namun tidak signifikan menambah penerimaan negara.  Faisal menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12% juga tidak adil sebab pemerintah masih jor-joran memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi besar.  Dalam perhitungan Faisal tambahan pendapatan yang bisa diperoleh tidak lebih dari 100 triliun rupiah padahal pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak ekspor batubara yang bisa mencapai 200 triliun rupiah. 

Kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem ekonomi kapitalisme, oleh karena itu penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah satu keniscayaan dalam sistem ini. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara untuk dana pembangunan. Pajak ini diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat baik rakyat kaya maupun miskin. Meskipun begitu, kapitalisme sering tidak berlaku adil kepada rakyat.  Pasalnya negara sering memberi amnesti atau pengampunan pajak kepada para pengusaha raksasa sedangkan tidak bagi rakyat miskin. 

Hal ini terkait dengan peran negara dalam kapitalisme, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator fasilitator yang condong pada kepentingan para pengusaha dan abai pada kepentingan rakyat.  Pengusaha mendapat kebijakan keringanan pajak sementara rakyat dibebani berbagai pajak yang makin memberatkan hidup rakyat. 

Kewajiban pajak dalam sistem kapitalisme ini sungguh menyengsarakan rakyat,  berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara khilafah. Sistem ekonomi Islam menetapkan negara sebagai raa’in yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan menyejahterakan rakyat,  serta membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tentram .

Rasulullah SAW bersabda : “imam atau khalifah adalah raa’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyat “ (HR. Bukhori)

Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syariat. Pengelolaan sumber daya alam ini adalah salah satu sumber pemasukan negara dalam jumlah besar yang akan memampukan negara menyejahterakan rakyatnya.  Negara  dengan penerapan sistem ekonomi Islam memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, individu perindividu.

Pajak sendiri merupakan alternatif terakhir pemasukan negara yang dipungut oleh negara dalam kondisi kas negara kosong. Peraturan mengenai perpajakan di dalam sistem kapitalisme berbeda dengan Islam.  Sistem kapitalisme dibangun berdasarkan hukum buatan manusia melalui lembaga legislatif, kesepakatan yang tercermin dalam undang-undang tersebut menjadi sangat subjektif sebab ditentukan oleh manusia yang sangat bias pada kepentingan berbagai pihak. Sebaliknya dalam sistem Islam seluruh peraturan dalam negara  wajib bersumber dari akidah Islam yang melahirkan berbagai aturan-aturan cabang termasuk dalam aspek ekonomi. 

Pajak atau dharibah dalam ekonomi Islam didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT atas kaum muslim untuk menunaikan belanja pada kebutuhan-kebutuhan yang diwajibkan atas mereka ketika tidak ada harta di Baitul mal. Pembelanjaan tersebut adalah untuk jihad fisabilillah, industri militer dan industri yang mendukung jihad fisabilillah, santunan fakir miskin dan ibnu sabil, untuk gaji tentara, pegawai negara,  hakim, guru dan orang-orang yang memberikan pelayanan kepada kaum muslim.  Kebutuhan pelayanan umum seperti infrastruktur,  jalan, sekolah dan rumah sakit yang dapat menyebabkan bahaya ketika jumlah dan kualitasnya kurang serta penanganan bencana alam seperti kelaparan,  gempa,  dan lain-lain. 

Karena itu pajak di dalam Islam merupakan sumber penerimaan insidental,  pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara seperti zakat, kharaj, jizyah dan pendapatan dari harta milik umum tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib ditunaikan oleh kaum muslim. Besarnya pajak yang ditarik pun di dalam Islam hanya dibatasi berdasarkan jumlah yang dibutuhkan untuk membiayai belanja yang wajib ditanggung oleh kaum muslim namun tidak dapat di cover oleh Baitul mal. Maka dari itu penarikan tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan,  sebab itu adalah bentuk kezaliman atas kaum muslim yang akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat kelak. sungguh hanya sistem Islamlah  yang mampu menyejahterakan rakyatnya secara merata tanpa beban pajak.

Wallahu a’lam bisshawab


Share this article via

53 Shares

0 Comment