| 487 Views
Pornografi, Mustahil Musnah dalam Sistem yang Salah Arah

Oleh : Suaibah, S.Pd.I.
Pemerhati Masalah Umat
Berdasarkan laporan yang dihimpun NCMEC, Indonesia masuk peringkat empat secara internasional dan peringkat dua dalam regional ASEAN dengan temuan 5.566.015 juta kasus konten pornografi anak di Indonesia selama 4 tahun terakhir. Kasus ini seperti fenomena gunung es, kasus di lapangan bisa jadi lebih banyak lantaran banyak korban yang masih menutupi dan belum berani melaporkannya.
Kasus pornografipun banyak menelan korban mulai dari anak-anak tingkat PAUD sampai SMA, termasuk anak-anak didik di pesantren. Oleh karena itulah maka Menko Polhukam Hadi Tjahjanto membentuk satuan tugas (Satgas) yang melibatkan 11 lembaga negara untuk menangani kasus pornografi yang libatkan anak-anak (Cnnindonesia.com, 18-04-2024).
Bahkan yang lebih mirisnya lagi kasus pelecehan seksual juga memakan korban balita dan pelaku terduga juga masih bocah usia 8 tahun. Kasus ini terjadi di kota bertaqwa Kendari pada hari Sabtu, 27 April 2024. (TelisikIndonesia)
Sistem yang Menyuburkan Kemaksiatan
Sistem demokrasi sekuler yang diterapkan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini telah membuat orientasi kemaksiatan makin tumbuh subur. Dalam sistem sekuler, konten berbau pornografi akan terus diproduksi oleh pengusung kapitalisme selama masih ada permintaan meskipun hal itu merusak generasi. Dalam pandangan ekonomi kapitalisme, produksi pornografi termasuk shadow economy, jadi akan ada pembiaran bahkan dipelihara.
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan jelas tidak akan mampu mencegah menjamurnya kejahatan seksual di tengah masyarakat. Peraturan dan sistem sanksinya yang lemah sehingga mudah dimainkan oleh yang berkepentingan, tidak menyentuh akar persoalan, dan tidak memberikan efek jera.
Sistem sekuler menjadikan aktivitas mengundang syahwat bebas bertebaran di mana saja. Wanita mengenakan pakaian yang tak senonoh berkeliaran dalam kehidupan umum yang akhirnya memicu dan menjadi biang kemaksiatan tidak bisa dikenai sanksi Pasal 10 UU No.4 Tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyi : “ Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan ponografi lainnya”. Ini terjadi karena cara pandang yang tidak sama dalam masalah batasan aurat (bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh yang bukan mahram). Wanita berpakaian seksi dan terbuka belum dapat dikategorikan sebagai ketelanjangan, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud ‘telanjang’ adalah tidak berpakaian, sedangkan contoh dari eksploitasi seksual adalah seperti pelacuran dan pencabulan. Bahkan tidak ada peraturan yang “melarang” seseorang nonton film porno. Konten berbau seks, termasuk nonton video porno, hanya terkategori tabu bagi masyarakat karena bertentangan dengan norma kesusilaan (hukumonline.com, 11-06-2014).
Islam Menjaga Kehormatan dan Kemuliaan Umat
Pornografi adalah problem besar dalam sistem sekuler hari ini. Hampir setiap saat masyarakat dipertontonkan kasus asusila dengan pornografi sebagai pemicunya. Ini bukanlah masalah yang simpel, tersebab imbasnya yang besar terhadap kondisi sosial masyarakat.
Islam memiliki konsep khas untuk mengurai masalah pornografi. Setidaknya ada dua garis besar untuk mengurai pornografi. Pertama, penerapan syariat yang mejamin sistem tata sosial. Kedua, media yang bebas dari konten pornografi.
Dalam Islam, sistem tata sosial maka syari'at mengatur terkait interaksi manusia. Islam mengatur batasan aurat perempuan dan laki-laki. Hukum Syara' juga memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan untuk menjaga interaksi, tidak berdua-duaan, tidak bercampur baur kecuali dalam perkara muamalat, pendidikan, dan kesehatan. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dengan penerapan sistem tata sosial yang benar.
Negara juga berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari berbagai informasi dan tontonan media yang merusak sistem sosial masyarakat. Negara tidak boleh berkongsi dengan industri pornografi dengan alasan prinsip kebebasan. Negara wajib menjadi tameng dan melindungi siapa pun dari paparan konten pornografi.
Islam memiliki sistem sanksi yang tegas sehingga mampu memberikan efek menjerakan. Dalam pandangan syariat Islam, kasus pornografi masuk kategori kasus takzir, yaitu Khalifah yang berwenang menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Jenis hukumannya tergantung ijtihad Khalifah, bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati. Jika kasus pornografi ini berkaitan dengan kasus perzinaan, akan diberikan sanksi had zina sebagai hukuman bagi para pelaku. Ghayru muhsan mendapat 100 kali cambuk, sedangkan muhsan berupa hukuman rajam.
Demikianlah seperangkat aturan Islam untuk menciptakan sistem sosial masyarakat yang sehat. Ini menjadi langkah strategis negara untuk melindungi seluruh warga, entah sebagai korban maupun mencegah mereka yang berpotensi menjadi pelaku.
Wallahu a'lam bishawab.