| 125 Views
Petisi Suara Rakyat atas Penolakan Kenaikan PPN diabaikan Negara, Beginilah Watak Pemimpin Kapitalis

Oleh : Siti Rodiah
Wacana pemerintah dalam menaikkan PPN sebesar 12% per 1 Januari 2025 telah menimbulkan banyak penolakan dari masyarakat . Hal ini diperkuat dengan adanya petisi suara rakyat yang menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Petisi ini telah di tandatangani lebih dari 113.000 orang dan sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg) pada saat melakukan aksi damai di depan Istana Negara. (Beritasatu.com, 20/12/2024)
Peserta aksi damai yang menolak kenaikan PPN 12% tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi hingga pecinta budaya Jepang (Wibu) dan Korea (K-popers).
Risyad Azhary selaku inisiator petisi tolak PPN 12% mengungkapkan bahwa respons yang diterima Sekretariat Negara (Setneg) terkesan sebatas administratif. Beliau juga menegaskan bahwa aliansi warga sipil yang tergabung dalam aksi ini akan terus mengawal kebijakan tersebut hingga dibatalkan. Aksi penolakan ini juga dilakukan oleh massa tidak hanya terbatas pada aksi langsung seperti demonstrasi, tetapi juga melibatkan kampanye melalui media sosial serta kampanye dengan poster, stiker hingga penyuluhan kepada masyarakat.
Banyaknya aksi penolakan atas kenaikan PPN 12% nyatanya tidak membuat pemerintah membatalkan keputusan nya, pasalnya kenaikan PPN tetap diberlakukan. Walaupun pemerintah memberikan batasan terkait barang-barang yang terkena PPN. Pemerintah menyebut hanya barang mewah saja yang terkena imbas naiknya PPN, namun masyarakat masih bingung tentang definisi barang mewah yang di maksud pemerintah. Karena nanti pada akhirnya semua barang dan jasa akan mengalami kenaikan tanpa memandang itu barang mewah atau bukan. Contohnya saja seperti detergen, alat mandi, tepung, bumbu, alat elektronik, transaksi elektronik dan berbagai kebutuhan lainnya juga mengalami kenaikan. Ini menandakan kebijakan pemerintah sejatinya terus menerus memberatkan kehidupan rakyat.
Untuk mengurangi dampak kenaikan PPN tersebut pemerintah memberikan bantuan berupa program bansos dan subsidi PLN yang tujuannya agar rakyat bisa tenang dan tidak banyak protes terkait naiknya PPN. Kita sudah mengetahui bahwasanya program bansos tidak merata dan banyak yang tidak tepat sasaran, begitu juga dengan subsidi PLN yang hanya diberikan diskon cuma 2 bulan. Padahal dampak kesengsaraan yang dirasakan rakyat akibat naiknya PPN bisa selamanya.
Inilah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Penguasa yang dipilih oleh rakyat tetapi membuat kebijakan sesuka hatinya sehingga menyengsarakan rakyat. Segala kepedulian yang diberikan penguasa sejatinya adalah pencitraan dan alat untuk meraih simpati rakyat agar terus berkuasa. Pemerintah merasa cukup atau bahkan sudah merasa menjadi penguasa yang paling bertanggung jawab karena memberikan bansos, subsidi listrik dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Program bantuan ini sebenarnya merupakan upaya tambal sulam atas ketidakbecusan dan kegagalan negara dalam sistem kapitalis dalam mengurus dan melayani rakyatnya. Mau seperti apapun rakyat berkoar-koar dan protes dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN, tetap saja akan diabaikan penguasa.
Rasulullah saw. mengancam para pemangku jabatan dan kekuasaan yang menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيَهُ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu (menzalimi) rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan bagi dirinya surga (HR Ibnu Hibban).
Berbeda hal nya dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam penguasa adalah sebagai raa'in (pengurus ) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Penguasa akan bertanggung jawab penuh dalam mengurus dan melayani rakyat sehingga mewujudkan kesejahteraan individu per individu karena atas dasar keimanan dan ketaqwaan nya kepada Allah SWT.
Didalam Islam pajak bukan merupakan sumber pendapatan utama kas negara seperti dalam sistem kapitalis. Sumber pendapatan negara di dalam Islam sudah diatur dengan sangat sempurna contohnya dari pos zakat/sedekah, pos kepemilikan umum dari barang tambang, hutan, laut dan lain sebagainya serta pos kepemilikan negara dari harta fa'i, ghanimah, kharaj dan lain sebagainya. Islam juga memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara ketika kas negara kosong. Pajak hanya dikenakan kepada warga negara Muslim yang kaya, dari kelebihan harta yang melebihi kebutuhan dasar mereka, dan tidak dikenakan kepada yang fakir. Pemerintah juga harus memiliki alasan syar'i yang jelas dalam pemungutan pajak, seperti untuk membiayai jihad, kebutuhan darurat, atau nafkah bagi kaum miskin.
Dengan demikian, pajak tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya, seperti yang sering terjadi dalam sistem kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi masyarakat yang lebih lemah untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Sudah saatnya kita terapkan sistem Islam, karena Islam adalah solusi tuntas dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan secara hakiki sehingga dapat dirasakan seluruh rakyat.
Wallahu a'lam bisshowwab