| 370 Views
Perpanjangan Ijin Freeport, Kebijakan Pro Kapitalis

Oleh : Nursyahidah, A.Md.AK
Muslimah Peduli Umat
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Salah satunya adalah pertambangan yang ada di ujung Indonesia yaitu PT. Freeport Indonesia (PTFI). PTFI sudah melakukan penambangan di Indonesia sejak tahun 1976. Namun mirisnya, bukan pemerintah atau negara Indonesia langsung yang mengelolanya, melainkan asing dan para oligarki.
Perpanjangan Ijin PTFI
Ijin ekspor PT Freeport berakhir 31 Mei 2024. Namun baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan perpanjangan ijin kepada PTFI yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sampai cadangan tambang habis dengan syarat membangun smelter. Selain itu, Freeport juga harus memberikan saham 10% kepada pemerintah Indonesia, sehingga kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia menjadi 61% dari 51%. (CNBC Indonesia, 31/05/2024).
Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. PP tersebut disahkan Jokowi pada 30 Mei 2024.
Jokowi berharap dengan perpanjangan kontrak dapat meningkatkan keuntungan bagi negara karena kepemilikan saham menjadi 61 persen. Jokowi menyebutkan sebanyak 80 persen keuntungan PT Freeport akan masuk ke kas negara, baik dalam bentuk royalti, PPh badan, PPh karyawan, bea ekspor hingga bea ke luar dan pembangunan smelter yang tersendat pun dapat diselesaikan. Benarkah demikian?
Indonesia Mampu Mengelola Freeport Sepenuhnya
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmi Radhi menyayangkan perpanjangan ijin ekspor di PT Freeport Indonesia (PTFI). Menurut Fahmi ini tidak sesuai dengan program hilirisasi yang selama ini dikedepankan dan pemerintah Indonesia akan merugi. Sebab yang didapatkan hanya deviden saja karena bertambahnya saham.
Berdasarkan laporan keuangan 2022, pendapatan PT Freeport-McMoran Inc. adalah sebesar USD22,78 miliar atau setara Rp341,7 triliun (kurs Rp15.000/USD). Sebesar 37 persennya atau sekitar USD8,43 miliar (Rp126,39 T) disumbang dari PTFI. Artinya, jika Indonesia menguasai 100% saham PTFI tanpa perpanjangan kontrak, seluruh pendapatan operasional senilai USD8,43 miliar akan masuk ke kas negara setiap tahunnya.
Bayangkan, dalam 20 tahun tanpa perpanjangan kontrak dan dengan kepemilikan penuh, potensi pendapatan totalnya adalah 20 tahun dikalikan USD8,43 miliar atau setara dengan Rp2.529 triliun! Bandingkan dengan kepemilikan 61% saham PTFI, penerimaan Indonesia hanya mencapai USD4,14 miliar per tahun. Jika dikalikan 20 tahun hanya mendapat USD102,8 miliar atau setara Rp1.542 triliun. Andai mengambil alih 100% saham, Indonesia akan mendapatkan keuntungan lebih dari Rp1.000 triliun.
Menurut Achmad, salah satu Pengamat Ekonomi, hitungan tersebut memang masih bersifat teoritis dan tidak memperhitungkan faktor-faktor lain, seperti biaya operasional, pemeliharaan, lingkungan dan lain-lain. Ini baru berbicara kerugian kas negara. Lalu bagaimana dengan kerugian yang lainnya? Seperti lingkungan, limbah tailing yang dibuat oleh PT. Freeport pun menyebabkan degradasi wilayah pesisir, sungai dan beberapa pulau di Mimika.
Selain itu, limbah tailing PT Freeport juga mengancam nyawa penduduk di sekitar karena munculnya penyakit-penyakit paru dan gatal-gatal akibat dampak dari pengolahan tambang ini
Masyarakat Papua hanya mendapatkan ampasnya. Selain itu, Papua merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. ini sangat miris! Provinsi yang memiliki tambang terbesar di dunia hanya menikmati remah-remahnya saja.
Pemerintah Indonesia sebenarnya mampu mengelola Freeport sepenuhnya, karena saat ini banyak pekerja Indonesia yang bekerja di Freeport dan ini merupakan peluang atau kemungkinan bahwa kita mampu mengelolanya sendiri. Sehingga hasil sumber daya alam bisa sepenuhnya dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Miris! Kekayaan alam untuk menghidupi kehidupan rakyat Indonesia justru diambil dan diangkut secara legal oleh para kapitalis dan menjadi sumber kekayaan negara lain. Sedangkan kita hidup menderita dalam kemiskinan dan tumpukan utang luar negeri.
Ini semua terjadi karena sistem demokrasi kapitalis. Sistem demokrasi memberikan kebebasan kepemilikan, sehingga individu atau segelintir orang boleh memiliki kepemilikan umum dan kebijakan yang ada juga sangat berpihak kepada para kapitalis. Dalam sistem kapitalis harta beredar hanya pada segelintir orang saja, sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam.
Kepemilikan dalam Islam
Islam memiliki pengaturan terkait kepemilikan dan pengaturannya jelas. Ada kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Sumber daya alam seperti tambang (minerba, migas dan lain-lain) merupakan bagian dari kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Dalam hadist lain, Nabi saw. juga bersabda:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ
“Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw. Ia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., "Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah)." (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Hadits tersebut memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Berdasarkan hadis di atas, tambang apapun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah (tidak hanya tambang garam), sebagaimana dalam hadits di atas haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam mengelolanya, sedangkan hasilnya sepenuhnya dikembalikan atau diberikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam Islam pengelolaan tambang hanya berfokus pada kemaslahatan umat.