| 54 Views
Perang Dagang AS: Ironi Sistem Kapitalisme Global

Oleh : Siti Zulaikha, S.Pd
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi
Pemerintahan Donald Trump baru saja menerapkan kebijakan proteksionisme melalui serangkaian tarif impor yang bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan Amerika Serikat (AS) dengan negara-negara yang dianggap memiliki surplus perdagangan besar, termasuk Indonesia. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah penerapan tarif 32% pada produk Indonesia yang memasuki pasar Amerika Serikat.
Dalam konteks Indonesia, produk seperti tekstil, elektronik, dan komoditas lainnya yang diekspor ke Amerika Serikat kini terancam menghadapi harga yang lebih tinggi di pasar AS, yang tentunya dapat mengurangi daya saing mereka. Di sisi lain, hal ini juga mengurangi akses pasar bagi Indonesia, yang sebelumnya mengandalkan AS sebagai salah satu tujuan ekspor utama. Analisis.republika.co.id
Penerapan tarif impor baru oleh AS merupakan bentuk nyata dan dominasi dan hegemoni ekonomi AS terhadap negara-negara lain. kebijakan proteksionis ini secara sepihak jelas memberikan keuntungan besar bagi AS tetapi di sisi lain sangat merugikan negara-negara mitra dagangnya.
Sebagai salah satu pasar terbesar dunia, AS memiliki posisi strategis dalam perdagangan internasional ketika. AS menetapkan tarif tinggi terhadap produk impor, negara-negara pengekspor akan menghadapi hambatan besar dalam memasarkan produknya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan anjloknya ekspor mereka.
Dampak lain dari kondisi ini adalah terganggunya rantai pasok global yang selama ini saling terhubung lintas negara. Ketidakpastian ekonomipun meningkat, karena pelaku usaha akan kesulitan memprediksi arah kebijakan perdagangan global. Dalam jangka panjang, situasi ini akan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai negara karena menurunnya permintaan dan terganggunya operasional industri. Kebijakan seperti ini menunjukkan bagaimana kebijakan ekonomi satu negara bisa memberikan dampak luas yang merugikan secara global, terutama bagi negara-negara yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor.
Kebijakan Trump yang menerapkan tarif impor tinggi merupakan langkah protectorisme yang ditunjukkan untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan global. Namun kebijakan ini justru bertentangan dengan prinsip dasar kapitalisme yang mereka banggakan, yang mengusung konsep pasar bebas tanpa campur tangan negara.
Dalam sistem kapitalisme, mekanisme pasar seharusnya berjalan secara alamiyah berdasarkan permintaan dan penawaran, bukan melalui intervensi negara, seperti tarif dan subsidi. Ketika negara terkuat seperti AS sendiri melanggar prinsip pasar bebas demi kepentingan domestiknya, hal ini menjadi bukti nyata lemahnya sistem kapitalisme sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sistem ini tidak mampu menciptakan keadilan yang merata, justru sering kali melahirkan ketimpangan dan penderitaan terutama bagi negara-negara yang lemah secara ekonomi, termasuk Indonesia. Kapitalisme pada akhirnya hanya menguntungkan pihak-pihak yang kuat, sementara negara lain harus menanggung dampaknya dalam bentuk krisis, pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi.
Hal ini menunjukkan bahwa campur tangan AS terhadap perdagangan bebas sejatinya tidak didasarkan pada prinsip keadilan global, melainkan semata-mata demi melindungi dan mengamankan kepentingan perusahaan-perusahaan besar asal AS. Ketika perdagangan bebas menguntungkan mereka, AS mendorong penerapannya secara global. Namun ketika terjadi ancaman terhadap industri domestik mereka, AS tidak segan-segan mengambil langkah proteksionis.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diatur di bawah sistem politik Islam, yakni khilafah islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang adil dan menyeluruh, yang menjadikan negara sebagai pengatur utama dalam hubungan dagang antara negara. Dalam sistem ini, hubungan dagang tidak dilakukan secara bebas tanpa batas, melainkan diatur berdasarkan status negara lain dalam pandangan syariat. Apakah termasuk negara mu'ahid (yang memiliki perjanjian) kafir harbi hukman (yang secara hukum berstatus musuh) atau kafir harbi fi'lan (yang secara nyata berperang).
Dengan klasifikasi ini Negara Islam akan menentukan apakah hubungan dagang dapat dilakukan atau harus dihentikan demi menjaga kepentingan umat dan keamanan negara. Jika suatu negara tergolong sebagai kafir harbi fi'lan, maka Khilafah tidak akan melakukan hubungan dagang atau kerja sama perdagangan dengan negara tersebut. Namun terhadap negara kafir hikman dan negara mu'ahid yang memiliki perjanjian damai dengan Khilafah, maka khilafah diperbolehkan menjalin hubungan dagang selama tetap berada dalam koridor syariat.
Dengan prinsip ini, Khilafah akan menjaga kedaulatan ekonomi umat serta mencegah masuknya pengaruh asing yang merusak, sambil tetap membuka ruang kerja sama yang adil dan syar'i. Islam tetap memberi ruang bagi individu untuk melakukan perdagangan dengan syarat tunduk kepada aturan syari'at.
Transaksi harus dilakukan dengan cara yang adil, tidak merugikan pihak lain, tidak menimbulkan kedzaliman, serta tidak menciptakan ketidakpastian (gharar) dalam perekonomian. Hal ini menunjukkan, bahwa dalam Islam stabilitas ekonomi menjadi prinsip utama. Salain itu, islam tidak menetapkan harga pasar secara paksa.
Harga akan ditentukan oleh mekanisme pasar alami selama tidak ada manipulasi atau praktik yang merusak. Namun, jika negara lain menetapkan cukai terhadap barang-barang dari Negara Islam, maka negara islam juga berhak memberlakukan cukai timbal balik dengan nilai yang setara sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan rakyat dan negara.
Prinsip timbal balik ini menunjukkan bagaimana islam menjaga kedaulatan dan martabat umat dalam percaturan ekonomi global. Demikianlah peraturan ekonomi dalam naungan khilafah, memastikan kebijakan khalifah berorientasi pada kemaslahatan rakyat dan sesuai dengan syari'at islam.
Wallahualam bissawab