| 170 Views

Peran Media dalam Memanipulasi Umat Terhadap Kebathilan Demokrasi

Oleh : Citra Amalia

Mengutip laman resmi Wapres RI (8-9-2023), Wapres K.H. Ma’ruf Amin mengungkapkan bahwa media berperan strategis dalam menjaga stabilitas politik pada Pemilu 2024. Ia menggarisbawahi bahwa integritas media adalah sebagai salah satu faktor penentu dalam mengatasi tantangan, seperti disintegrasi bangsa dan penyebaran hoaks. Beliau menekankan agar media jangan menjadi corong para provokator yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Beliau juga berpesan kepada insan media, penyelenggara dan peserta Pemilu, penjaga keamanan, serta masyarakat luas untuk terus menjaga keutuhan bangsa dan tidak mengorbankan kepentingan bangsa dan negara hanya karena keinginan untuk memenangkan kontestasi Pemilu.

Pernyataan tersebut tentu saja bertentangan dengan apa yang media katakan tentang demokrasi. Menurut mereka demokrasi sendiri sering dianggap sebagai sistem politik yang memberikan hak yang sama kepada semua warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam prakteknya, demokrasi sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, kekuasaan ekonomi, dan manipulasi media yang bisa terjadi karena aturan yang dapat ditarik ulur. Bahkan berdasarkan dua pernyataan sebelumnya mereka membedakan pihak-pihak yang dianggap mengancam karena bersebrangan dengan mereka tanpa alasan dan landasan yang jelas. 

Sehingga tak heran hasilnya media menjadi salah satu pilar demokrasi. Selain sebagai instrumen untuk menyebarkan kebebasan berekspresi dan ide sekuler-liberal, serta menguatkan narasi islamophobia dalam sistem demokrasi, nyatanya media juga menjadi alat politik. Hal ini terlihat jelas dari fakta bahwa sejumlah ketua parpol dan menteri adalah para bos media besar di Indonesia, sebut saja Erick Thohir (Republika dan Republika Online), Aburizal bakrie (tvOne, ANTV dan media online VIVA.co.id ), Hary Tanoe (pendiri MNC Group) dan Surya Paloh (Metro TV dan Media Indonesia).

Dengan media itu, mereka selaku para kapitalis pun beranggapan bisa membeli suara dan aspirasi rakyat, memainkan opini publik, serta berupaya mengamputasi ide-ide yang mereka anggap oposisi. Dalam kaitannya dengan ranah politik praktis, ketika para pemodal berafiliasi dengan kelompok politik, akan membuka peluang untuk mengubah gagasan politik tertentu dalam meraih dukungan publik. Juga sebuah konsekuensi logis, karena mereka tidak akan segan memanipulasi kebenaran agar sesuai kehendak dan kepentingan mereka selaku pemilik modal.

Hal ini jelas makin mudah bagi mereka karena mereka sendiri adalah pengendali jejaring konglomerasi media. Mereka bahkan bisa disebut telah mengambil alih dan terus mendominasi arus lanskap media di Indonesia, kendati kualitas jurnalistik dan profesionalisme para jurnalis harus menjadi taruhannya. Akibatnya, realitas kini media kian jauh dari independensi, hakikat, dan integritasnya sebagai penyampai berita, informasi, dan kebenaran. Sebaliknya, media justru rawan menjadi instrumen penyesatan, bahkan sangat mungkin memiliki tendensi untuk menyembunyikan kebenaran.

Kini Pemilu 2024 telah usai, namun hiruk pikuk yang terjadi sebelumnya masih terus menjadi pembahasan hangat. Karena berbagai pejabat di Indonesia mengingatkan masyarakat agar tidak terperangkap dalam politik identitas karena dianggap sebagai sesuatu yang berisiko menyebabkan perpecahan. Presiden Jokowi bahkan mengingatkan agar masyarakat tidak menjadi korban politik identitas. Selain pejabat dan politisi, Dewan Pers juga turut berpartisipasi dengan menerbitkan pedoman pemberitaan isu keberagaman sebagai upaya pencegahan terhadap meningkatnya politik identitas di media massa menjelang Pemilu 2024. Pedoman ini juga diterapkan oleh penegak hukum terhadap jurnalis yang melanggar etika pemberitaan mengenai keberagaman, serta menjadi bagian dari materi ujian kompetensi wartawan yang diadakan oleh Dewan Pers. Namun, penting untuk dicatat bahwa narasi politik identitas sering kali diasosiasikan hanya kepada agama Islam, seolah-olah ajaran tersebut dapat memecah-belah masyarakat dan menjadi penyebab munculnya berbagai masalah.

Media lagi-lagi tentu saja membuktikkan bahwa mereka memegang peran penting dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi opini pemilu. Ditambah dalam konteks demokrasi, media sering kali menjadi alat untuk menyebarkan propaganda politik dan mempengaruhi opini publik sesuai dengan kepentingan politik tertentu. Salah satu keburukannya adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks yang dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap kandidat dan isu-isu pemilu. Selain itu, media sering kali memperkuat polarisasi politik dengan memberikan liputan yang bias terhadap kandidat atau partai tertentu, meningkatkan konflik dan ketegangan sosial. Dominasi kandidat bermodal dalam media juga dapat membatasi kesempatan bagi kandidat lain yang memiliki dana kampanye terbatas atau ideologi yang berbeda untuk mencapai pemilih. Manipulasi opini publik juga menjadi masalah serius, di mana media digunakan untuk memanipulasi persepsi publik melalui liputan yang tendensius atau penggunaan framing yang memihak pada satu kandidat atau partai politik.

Dalam menghadapi kompleksitas di balik demokrasi dalam ajang pemilu, umat perlu memperkuat kesadaran politik mereka dengan landasan Islam. Karena saat ini umat masih berharap pada demokrasi bahkan setelah diberikan berbagai macam keburukan yang terjadi pada sistem demokrasi, umat hanya menganggap yang salah adalah pihak yang menerapkan demokrasi tersebut . 

Semua informasi yang disuguhkan dalam media hanya berdasarkan ideologi para pengelolanya. Oleh karena itu, umat muslim wajib membekali diri dengan ideologi Islam agar dapat menilai informasi yang disuguhkan media. Kesadaran terhadap ideologi Islam juga akan membentengi umat dari serbuan informasi tidak benar dan hoaks yang dihasilkan sistem kehidupan kapitalisme. Sehingga tampak keunggulan sistem Islam dan kebobrokan kapitalisme sekulerisme dan demokrasi. Hingga umat menginginkan Islam diterapkan dan menuntut perubahan sistem dari demokrasi menjadi Islam.  

Dengan landasan ideologi Islam, umat seharusnya mampu mengenali kelemahan dan keburukan sistem demokrasi yang diterapkan oleh penguasa boneka yang ditunjuk oleh penjajah. Meskipun berbagai upaya telah disusun para pengusung demokrasi, umat yang teguh pada prinsip-prinsip ideologis Islam seharusnya tidak terpengaruh oleh arus sekularisasi, kapitalisasi, atau islamofobia. Ini karena ideologi Islam adalah kriteria sempurna yang membedakan antara yang benar dan yang salah tanpa bisa dikompromikan. Sehingga akan memunculkan tindakan praktis yang seharusnya diterapkan secara luas oleh umat yaitu membangun jaringan dakwah di media untuk memperjuangkan umat agar bisa menahan propaganda media yang disebarkan untuk menguatkan demokrasi. 

Sejatinya, media adalah instrumen strategis untuk mencerdaskan umat. Namun, akibat kapitalisme, peran media telah disesatkan sebagai corong penyebarluasan kepentingan pihak tertentu. Keberadaannya bahkan jelas-jelas digunakan untuk mengukuhkan demokrasi, terlebih di tengah panasnya tahun politik ini. Oleh sebab itu, hendaknya kita menilik pengelolaan media yang dilakukan oleh sistem Islam, Khilafah. Berawal dari firman Allah Taala dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dengan demikian, media tidak boleh secara sembarangan menyajikan berbagai kepentingan tertentu. Pemilik lembaga media bertanggung jawab atas semua konten yang disebarkan, termasuk ketika media mereka menyajikan materi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dengan memanipulasi sistem buruk yang ada saat ini. Karena dampak narasi media saat ini menjadikan umat rentan terhadap propaganda yang menyesatkan dan seringkali menolak atau menentang dakwah syariah karena dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dari sistem yang sudah ada. Terlebih lagi, dalam beberapa kasus, media massa juga dapat menjadi alat untuk memperkuat diskriminasi terhadap mereka yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah, serta menutupi keburukan dari sistem demokrasi yang dapat kita lihat masa kini. Wallahu a’lam bisshawab.


Share this article via

78 Shares

0 Comment