| 452 Views
Penghapusan Utang Agar Tidak Terjerat Rentenir atau Pinjol, Bisakah?

Oleh : Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP
Di awal pemerintahannya, Presiden Prabowo membuat gebrakan baru kebijakan berupa penghapusan utang sekitar 6 juta nasabah Bank. 6 juta nasabah Bank itu terdiri dari petani, nelayan dan UMKM. Utang yang menumpuk sekitar 20 tahun akibat krismon (krisis moneter), dan krisis keuangan lainnya.
Menurut Hashim Joyohadikusumo adiknya Prabowo, rencana tersebut akan dituangkan dalam bentuk Perpres. Menurutnya, pekan depan rencananya akan diteken oleh presiden.
Terlepas dari motif pemerintah, tentunya bila tujuan rencana penghapusan utang 6 juta rakyat ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat adalah baik-baik saja. Hanya saja efek domino dari kebijakan ini mengerikan. Dengan terbebasnya para debitur ini, akan memberikan peluang kepada Bank untuk melakukan ekspansi menawarkan kredit kepada nasabah tersebut. Padahal dinyatakan bila kebijakan ini akan bisa menghindarkan para debitur dari rentenir dan pinjol. Sedangkan rentenir dan pinjol tentu saja menggunakan mekanisme ribawi. Selanjutnya bukankah Bank juga menggunakan skema ribawi dalam transaksi utang piutang yang dijalankannya?
Belum lagi ada pertanyaan besar, siapakah yang akan membayarkan utang 6 juta nasabah tersebut? Apakah negara mampu untuk melunasi utang mereka yang notabenenya rerata Rp 10-15 juta tiap orang? Sementara di sisi yang lain, utang luar negeri negara sudah tembus angka Rp 8000 trilyun lebih. Belum lagi ditambah dengan utang dalam negeri. Jadi kebijakan ini terkesan dipaksakan. Ataukah sebagai sebuah pencitraan nama baik yang sebelum pelantikan sudah diterpa isu yang tidak sedap.
Sebagai contoh pembentukan Kabinet Zaken disebut sebagai wujud politik zero enemy. Ibarat pemain tinju, sebelum bertanding sebenarnya sudah babak belur. Akun fufufafa yang mendera begitu masif, meskipun akhirnya dilupakan.
Watak cari keuntungan besar tidak bisa dihilangkan begitu saja. Meskipun diklaim utang 6 juta nasabah ini sudah dilunasi melalui mekanisme asuransi, mereka masih tercatat sebagai debitur di SLIK OJK sehingga tidak bisa mengajukan kredit baru. Termasuk mereka masih mendapat hak tagih utang dari Bank.
Aspek berikutnya, kebijakan tersebut akan memberikan edek moral hazard. Bisa jadi di antara 6 juta nasabah ada yang track recordnya tidak baik dalam berutang. Artinya kebijakan penghapusan utang berpeluang menjadi batu sandungan kemajuan ekonomi.
Demikianlah cara berpikir instan yang selalu dikondisikan agar tetap melekat pada masyarakat. Dari janji-janji kampanye, debat capres-cawapres dan program kebijakan selalu memformat pikiran rakyat dengan hal yang serba instan. Tatkala di masa berikutnya ada anulir kebijakan akan dianggap sebagai hal yang lumrah. Biasanya akan ada pembelaan "mengatur negara itu sulit dan kompleks, tidak bisa instan". Akhirnya ada legitimasi keluar dari moral politik. Pemerintahan di dalam sistem sekulerisme demokrasi tidak akan benar-benar mengurusi urusan rakyatnya.
Islam Menghapus Ribawi
Sebenarnya nilai SDA Indonesia bila diuangkan semua sebesar Rp 200-an juta trilyun. Untuk menghapus utang 6 juta nasabah tentunya hal yang ringan. Syaratnya tidak salah kelola SDA. Realitasnya, SDA diserahkan kepada swasta. Utang negara menumpuk untuk biaya penyelenggaraan pemerintahannya. Artinya rencana kebijakan tersebut bagaikan menggantang asap.
Oleh karena itu Islam menegaskan bahwa SDA itu milik rakyat. Negara sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengelola SDA. Selanjutnya hasilnya dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi pendidikan dan layanan kesehatan gratis akan bisa diwujudkan.
Artinya Islam mengatur perekonomian berbasis pada sektor riil dan anti ribawi. Kalaupun rakyat harus berutang maka tidak akan ada utang Ribawi. Utang Ribawi sebenarnya mencekit bukanlah memberikan solusi kesejahteraan. Dengan begitu utang tanpa riba akan meringankan dalam pembayarannya.
Memang negara tidak serta merta secara instan menghapus utang rakyat kepada Bank negara maupun antar anggota masyarakat. Etos kerja rakyat akan tetap terjaga untuk meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Adapun bagi rakyat yang memang tidak mampu melunasi utangnya, maka negara akan langsung memberikan bantuan pelunasan utang. Ditambah pula, masyarakat Islam adalah masyarakat yang individu-individunya peduli dengan saudaranya. Walhasil orang-orang kaya akan berlomba-lomba untuk melunasi utang saudaranya baik kenal maupun tidak kenal. Mereka menyadari betul akan makna Sabda Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa barang siapa yang meringankan keruwetan (beban) hidup dari seorang mukmin, niscaya Allah akan menghilangkan keruwetan dan bebannya di akherat.
Demikianlah Islam menggariskan kebijakannya dalam meningkatkan perekonomian negara dan rakyat. SDA digariskan sebagai milik rakyat, transaksi bebas riba dan pengharaman utang luar negeri, akan memberikan daya tahan pada negara dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Negara Islam, Khilafah yang akan menerapkan garis-garis kebijakan ekonomi berlandaskan ajaran Islam.