| 238 Views
Pelantikan Wakil Rakyat Membawa Harapan Baru, Benarkah?

Oleh : Sukey
Aktivis Muslimah Ngaji
Jika tidak ada aral melintang, tidak lama lagi, rezim pemerintahan Jokowi akan segera berakhir. Tepat 20 Oktober 2024, rezim pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto pun akan segera terbentuk. Sebelumnya, para anggota DPR yang baru juga sudah resmi dilantik.
Meski baru, banyak di antara anggotanya adalah muka-muka lama. Bahkan jabatan ketua DPR yang baru, juga dipegang kembali oleh Puan Maharani dari PDIP yang notabene adalah Ketua DPR periode sebelumnya. Yang menarik, para anggota DPR baru ini, ternyata 60 persennya adalah pengusaha dan 174 orang terindikasi terhubung dengan politik dinasti.
Yang menarik dari 580 nama-nama yang menjadi anggota DPR RI 2024—2029, 23 di antaranya adalah selebriti tanah air. Selain 23 artis dari kalangan DPR, terdapat pula dua anggota DPD yang dilantik, yakni Komeng dan Jihan Fahira. Tidak hanya para artis yang melenggang ke istana, Ultraman pun ikut serta. Seorang anggota DPR terpilih, Jamaludin, yang kerap melakukan aksi cosplay Ultraman selama kampanye, ikut hadir dalam pelantikan bersama ‘stuntman’ yang mengenakan kostum superhero tersebut.
Tidak ketinggalan, beberapa selebritis baru maupun lama yang kembali menjadi legislator di Senayan turut tampil nyentrik, di antaranya Rieke Diah Pitaloka dan Nafa Urbach. Hampir semua legislator yang dilantik mengenakan busana dengan warna sesuai partai masing-masing (metrotvnews.com, 2/10/2024). Tidak kalah, penyanyi senior Melly Goeslaw, Uya Kuya, dan Jamaluddin Malik yang mengenakan kostum Ultraman juga tampil eksentrik (detiknews.com, 2/10/2024).
Ada juga momen unik saat pelantikan kemarin. Para anggota dewan yang hadir berteriak "uhuy" saat wajah anggota DPD terpilih yang juga komedian, Alfiansyah Komeng muncul di layar (detiknews.com, 1/10/2024).
Miris memang, masyarakat negeri ini memiliki kecenderungan untuk memilih sosok yang familier bagi mereka, seperti tetangga, kenalan atau dalam konteks ini, selebritis. Jika pun yang bertanding dalam pesta demokrasi adalah wajah-wajah tersohor dalam dunia politik Indonesia, mereka harus tetap berjuang mendulang suara dengan memamerkan gimik politik yang dianggap efektif menarik perhatian rakyat. Tidak jarang para tikus berdasi ‘senior’ membuat rekayasa guna menampilkan citra tertentu selama masa kampanye. Narasi semacam "gemoy effect", "slepet", salam tiga jari dan empat jari pun sempat menjadi gimik terlaku pada perhelatan Pilpres 2024 lalu.
Pelaksanaan politik demokrasi ala Montesquieu dengan pedoman Trias Politika—posisi eksekutif (pemerintah), yudikatif (MPR) sejak reformasi posisinya semakin redup-pen, dan legislatif (parlemen)—diharapkan muncul balancing di dalamnya, ternyata sama saja. Mereka setali tiga uang, rakyat berharap ketika terjadi ketimpangan dari eksekutif maka legislatif yang menyuarakan suara rakyat. Hanya seringkali fakta yang terjadi mereka sama saja. Bahkan saling menguatkan satu sama lain. Seolah posisi Trias Politika ini membuat kokoh kebijakan yang dihasilkan elite pemerintah dan pengusungnya, sementara rakyat hanya gigit jari bahkan menderita menerima semua kebijakan negara yang sudah diberlakukan.
Oleh karena itu, di satu sisi banyak yang menaruh harapan besar pada rezim pemerintahan baru, juga pada DPR baru. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang pesimis, terutama kalangan muslim yang kritis. Pasalnya, pemerintahan baru, termasuk DPR baru, sudah pasti menjalankan sistem lama (status quo), yakni sistem demokrasi-sekuler kapitalisme.
Di sisi lain, kekuasaan oligarki makin mencengkeram. Ini terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi di mana sejumlah kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis, seperti sumber daya alam (pertambangan, perkebunan), infrastruktur, dan perbankan. Para oligarki ini juga sering memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan politik. Ini memungkinkan mereka memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Sistem politik demokrasi yang muncul dari asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menjadikan elite kekuasaan itu laksana Tuhan yang membuat aturan, peran pongah legislatif yang membuat aturan dgn banyak UU yang dihasilkan, bahkan tak jarang solusi dari suatu masalah didapat dengan aklamasi dan juga voting. Dengan mudahnya nilai 1 orang artis sama dengan 1 orang ulama, nilai 1 orang mantan napi sama dengan 1 orang cendekiawan, padahal kapasitas mereka berbeda-beda. Sungguh ironi potret sistem demokrasi.
Indonesia, negeri mayoritas muslim ini, anggota dewan yang terhormat juga mayoritas muslim, seharusnya sistem Islamlah yang diadopsi, bukan sekularisme-demokrasi yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat. Kekuasaan hanya menjadi bencana untuk rakyat hidup dalam penindasan.
Lebih dari itu, benturan kepentingan begitu besar dalam menentukan kebijakan. Hal ini karena dalam satu kebijakan setidaknya harus mengakomodasi kepentingan oligarki, partai, keluarga, hingga personal si pejabat. Jadilah kepentingan umat kerap disingkirkan sebab bertentangan dengan kepentingan elite politik. Kebijakan yang dibuat pun tidak lebih sebagai pemuas hawa nafsu para pemimpin yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini jelas bahwa bertaburnya bintang di senayan dan berseliwerannya gimik politik yang tampak manis di sosial media, sangatlah bertolak belakang dengan aturan yang akan dihasilkan, jauh dari kata makmur dan sejahtera.
Di dalam Islam, kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw. bersabda,
“Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR Ath-Thabarani).
Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka, serta tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum.
Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan syariat Islam di tengah masyarakat. Sebabnya, tidak ada keadilan tanpa penerapan dan penegakan syariat Islam. Oleh karena itulah, siapa pun penguasanya, jika ia tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan syariat Islam, ia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik. (Lihat: QS Al-Maidah [5]: 45 dan 47).
Pemimpin zalim juga telah didoakan agar mengalami kesukaran oleh Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan,
“Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Muslim).
Begitu juga mereka yang senantiasa melakukan suap-menyuap dan korupsi.
”Allah melaknat orang yang memberi suap dan menerimanya dalam memutuskan (suatu perkara).” (HR Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Wallahualam bissawab