| 250 Views
Pajak Naik, Sejahtera Atau Sengsara?

Oleh : Aisha El Mahira
Di zaman sekarang pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting untuk mencapai cita-cita negara. Menteri keuangan (menkeu) yaitu Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa negara akan sejahtera dan adil jika mendapatkan dukungan penerimaan pajak yang baik Sri Mulyani juga menyampaikan yang baik. Sri mulyani juga menyampaikan terkait perkembangan penerimaan negara terus membaik setiap masanya, hal itu dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya. (liputan6, 14/07/24)
Menteri keuangan Sri Mulyani yang akrab disapa dengan panggilan Ani ini, memamerkan kinerja moneer jajarannya di Direktorat Jendral Pajak (DJP) kementerian keuangan. Pasalnya angka penerimaan pajak terus meningkat secara signifikan sejak tahun 1983. Dari yang hanya 13 triliun, sampai sekarang 2024, penerimaan pajak ditargetkan mencapai 1.988,9 triliun. Hal ini ia sampaikan dalam rangka memperingati hari pajak Nasional, pada 14 Juli 2024 lalu.
Ani menjelaskan bagaimana kondisi ekonomi global dapat mempengaruhi kinerja penerimaan pajak. Misal, saat terjadi banjir minyak pada tahun 1983, yang berakibat kepada harga minyak yang kala itu naik dari US$ 12 menjadi US$ 24. Kemudian disusul pada tahun 2000 terjadi perubahan teknologi digital, yang merubah seluruh gaya hidup serta ekonomi bekerja. (cnnindonesia, 14/07/24)
Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan Menkeu ini, sejatinya adalah peningkatan pemungutan atas rakyat. Pemerintah 'memalak' para rakyat, yang kemudian dibalutnya dengan kata 'pajak'.
Karena faktanya, pengaturan pajak ketat pada rakyat, namun longgar kepada pengusaha dan konglomerat. Hal ini biasa terjadi dalam sistem kita saat ini, yakni sistem Kapitalisme. Sistem Kapitalis menganggap bahwa pajak adalah sumber pendapatan negara terbesar untuk membiayai pembangunan. Dalam sistem ekonomi ini pula, tidak ada pemasukan negara yang lain, selain dari pajak dan hutang.
Pemerintah selalu memberikan narasi positif bahwa pemasukan pajak dari rakyat akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan, dll. Sehingga rakyat dengan pendapatan rendah dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah.
Namun besarnya pungutan pajak atas rakyat hakikatnya adalah bentuk kedzaliman yang menyengsarakan. Faktanya rakyat dengan pendapatan tinggi maupun rendah tetap dikenakan pajak yang besarannya sama. Mulai dari barang-barang kecil, kendaraan, tanah, dsb, semuanya dikenakan pajak. Dari nominal yang kecil hingga yang besar. Dan hal ini membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan.
Maka sudah jelas bahwa sistem kapitalisme ini telah gagal menyejahterakan rakyat, masihkah kita bergantung dengan sistem saat ini? Lalu sistem seperti apa yang dapat menyejahterakan rakyat?
Sudah pasti jawabannya adalah sistem yang aturannya berasal dari sang pencipta yaitu sistem Islam di bawah institusi Khilafah Islam.
Dalam sistem Islam sumber penerimaan negara bukanlah berasal dari pajak maupun hutang. Ada 3 pos sumber penerimaan negara. pertama, berasal dari pengelolaan pos kepemilikan umum, seperti tambang, minyak gas, air, dan lain-lain. Kedua, berasal dari kepemilikan negara seperti harta kharaj, fa'i, jizyah, dan lain-lain. Ketiga, berasal dari zakat mal yang diterima oleh de
8 golongan, seperti yang tercantum pada QS. At-Taubah : 60 dan 3 sumber ini mampu menutupi semua kewajiban keuangan negara.
Adapun rakyat akan dikenakan pajak jika terjadi peristiwa di luar kuasa manusia yang membuat perusakan baitul mal mengalami penurunan, seperti bencana, wabah, dll. Namun pemungutan pajak terhadap rakyat hanya sekedar menutupi kekurangan biaya dan yang diwajibkan hanya kepada umat muslim yang kaya saja.
Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai pelayan dan pengurus umat (ran'in). Sehingga umat terjamin kesejahteraannya karena pengelolaan sumber pemasukannya sesuai dengan tuntunan Islam. Wallahua'lam bi ash-showwab []