| 283 Views

Pajak Naik, Kok Bangga?

Oleh : Ummu Lian, S.KM
Muslimah Peduli Umat

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa untuk membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik. Bendahara negara ini menyebut, pajak merupakan tulang punggung sekaligus instrumen yang sangat-sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya. "Oleh karena itu, kita semuanya di Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan tanggung jawab tugas ini dengan sepenuh hati," ujarnya.

Sri Mulyani menyampaikan terkait perkembangan penerimaan negara yang setiap masa terus membaik. Hal itu dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya. Menkeu merinci, misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Bahkan untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun (Liputan6.com, 14/07/2024).

Sri Mulyani memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Pasalnya, angka penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak 1983 yang hanya Rp13 triliun. "Kita semua mengetahui bahwa untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara ini, negara dan bangsa kita, cita-cita yang ingin kita capai, ingin menjadi negara maju, ingin menjadi negara yang sejahtera, adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara," jelas dia dalam acara Spectaxcular 2024 di Plaza Tenggara GBK, Jakarta Pusat, Minggu (14/7) (CNNIndonesia, 14/07/2024).

Pajak: Lazim dalam Sistem Kapitalisme

Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan Menkeu sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat. Ini merupakan hal yang lumrah terjadi, karena dalam sisten kapitalis pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kedzaliman dan membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata kelola urusan negara.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, kebebasan kepemilikan (_freedom of ownership_) menjadi salah satu pilar kebebasan. Ruang besar diberikan bagi mereka yang bermodal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Tidak melihat sumber ekonomi tersebut layak untuk hajat hidup orang banyak ataukah tidak. Sebagai timbal baliknya, negara memungut pajak dari penghasilan badan usaha ataupun individu agar bisa membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan apabila sumber-sumber ekonomi tersebut dikelola langsung oleh negara sebagai kepemilikan umum. Inilah yang menyebabkan APBN selalu mengalami defisit dan harus ditambal dengan utang.

Walhasil, meskipun negeri ini dikenal kaya raya dan sumber daya alamnya melimpah ruah, tetapi penguasa tidak pernah mampu menyejahterakan rakyatnya. Ini karena seluruh sumber daya tersebut justru jadi rebutan pengusaha yang berkolaborasi dengan para penguasa. Pada saat yang sama, modal untuk menyejahterakan rakyatnya hanya bertumpu pada pajak dan utang yang ujung-ujungnya tetap saja membebani pundak rakyat, bahkan makin mencekik leher mereka.

Kebijakan Pajak dalam Islam

Dalam sistem Islam, sumber pemasukan negara jumlahnya besar. Sumber pemasukan negara dalam baitulmal (kas negara) diperoleh dari fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan harta orang murtad.

Pajak yang diberlakukan dalam sistem Islam sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya. Kalaupun ada kesamaan penggunaan istilah “pajak”, ini semata karena sama-sama dipungut dari negara. Adapun pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. 

Dalam kondisi ini, pajak dipungut dari kaum muslim yang mampu saja. Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Pajak dalam Islam diterapkan secara temporal, bukan menjadi penerimaan rutin sebagaiman yang kita rasakan hari ini.

Pembiayaan Pembangunan dalam Islam

Khalifah atau pemimpin negara Islam dengan fungsi raain (pengurus rakyat) akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada sumber penerimaan negara yang bisa diandalkan untuk pembiayaan pembangunan, yaitu bagian kepemilikan umum. 

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut:

Pertama, fasilitas atau sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri atau komunitas maka akan meyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput dan jalan-jalan umum.

Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara dan lain-lain.

Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperi laut, sungai dan danau.

Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan.

Sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan karena sudah sesuai dengan tuntunan syariat.


Share this article via

56 Shares

0 Comment