| 78 Views

Pajak Dalam Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Rakyat

Oleh : Mila Ummu Azzam 

Pemerintah bakal memastikan kenaikan PPN 12% berlaku mulai awal Januari 2025. Walaupun penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat, nyatanya penguasa tak mengindahkannya. Jelas ini memicu kemarahan masyarakat yang sadar banyak dampak yang akan ditimbulkan dari kenaikan PPN ini.

Aliansi mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024). Mereka di antaranya berasal dari BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ), KBM STEI SEBI, HMI se-Jakarta dan Politeknik Negeri Media Kreatif. (Kontan, 30-12-20204)

Namun, menjelang pergantian tahun pemerintah mengubah sikap, dan mengumumkan keputusan baru soal kenaikan PPN 12%. Presiden Prabowo menyampaikan kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, bukan untuk semua barang dan jasa.

Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai pernyataan Presiden Prabowo yang membatalkan kenaikan PPN menjadi 12% menunjukkan kekhawatiran presiden yang tak ingin dianggap gagal dan tak berpihak pada rakyat dalam 100 hari pertama dirinya menjabat sebagai presiden.

Bahwasanya, Presiden  Prabowo ingin menunjukkan, dialah yang berkuasa bukan para pembantunya termasuk Menkeu, Sri Mulyani. "Karena yang selama ini memaksa PPN naik jadi 12% ke semua barang kan Sri Mulyani, artinya ada keretakan antara Prabowo dengan Kemenkeu. Itu yang terlihat, jadi Prabowo ingin menunjukkan lagi bahwa dia adalah presidennya yang punya mandat prorakyat, jangan diganggu kebijakan yang kontradiktif." Ungkap Bhima.

Di sisi lain, keputusan PPN 12% hanya untuk barang mewah menimbulkan kebingungan. Hal ini dirasakan oleh Ekonom Celios, Media Askar, yang mengingat aturan perpajakan Indonesia tak mengenal sistem multitarif, dimana tarif pajaknya sama untuk semua tingkat penghasilan atau nilai transaksi, tanpa membedakan status sosial ekonomi wajib pajak. Sehingga menjadi tidak adil bagi wajib pajak berpenghasilan rendah.

Sekalipun kenaikan PPN ini hanya untuk barang dan jasa mewah, tapi tetap mempunyai imbas di semua kalangan. Efek domino yang ditimbulkan akan mengenai semua kalangan termasuk rakyat kecil, bukan pada pihak yang dibebankan saja.

Tarik ulur kebijakan penetapan pajak dimulai sejak awal Desember lalu. Tapi tetap saja apapun keputusannya, hasilnya tidak ada yang memudahkan dan memihak rakyat. Rakyat dipaksa membayar pajak, dengan dalih untuk kepentingan umum dan untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber utama pemasukan negara. Berbagai macam pajak yang ditetapkan, salah satunya pajak pertambahan nilai (PPN) ini mempunyai kontribusi cukup besar dan menjadi penyumbang terbesar dalam APBN. Wajar jika negara terus menggaungkan dengan gigih kewajiban membayar pajak karena ekonominya berdasarkan pada pajak.

Sangat disayangkan, padahal negeri kita memiliki sumber daya alam melimpah ruah, yang jika dikelola dengan baik akan dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tetapi, dalam sistem kapitalisme negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya, harusnya hadir untuk mengurus rakyat, malah hanya menjadi regulator dan fasilitator yang melayani pemilik modal dan rakyat biasa terabaikan.

Rasulallah Saw bersabda, “Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,..." (HR. Bukhari)

Pajak dalam Islam biasa dikenal dengan dharibah, yang menjadi pilihan terakhir untuk mengisi kekosongan baitulmal. Kondisi semacam itu dilakukan pada saat dimana  negara sedang membutuhkan biaya yang ditetapkan Islam tetapi kas baitulmal kosong. Dan itupun hanya dibebankan kepada kalangan tertentu yang memiliki harta berlebih. Sangat berbeda dengan kapitalisme yang membebankan pajak kepada semua rakyatnya, padahal itu sangat menyiksa.

Sumber pendapatan dalam negara islam sangat beragam, seperti fai, kharaj, jizyah, ghanimah dan khumus. Selain itu, yang menjadi sumber terbesar dalam pendapatan negara juga berasal dari sumber daya alam yang termasuk didalamnya barang tambang, gas alam, minyak bumi, emas, tembaga, batu bara dan lainnya yang merupakan harta milik umum.

Dengan penetapan sistem politik dan ekonomi islam, begitu banyaknya hasil sumber daya alam akan dikelola dengan baik oleh negara secara langsung dan tidak diserahkan kepada swasta, dan hasilnya akan dikembalikan lagi kepada rakyat sehingga kesejahteraan dan kemaslahatan akan terwujud bagi seluruh masyarakat. Negara tidak perlu lagi memungut pajak yang memaksa rakyat untuk menjadi sumber pemasukan negara. Karena sejatinya pemimpin dalam Islam adalah pengurus rakyat, bukan pemalak rakyat.

Para penguasa dalam sistem pemerintahan Islam telah terbukti menjadi pemimpin teladan, amanah, jujur, bersih sepanjang sejarah. Seperti kisah tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam kepemimpinannya yang singkat, tidak lebih dari 3 tahun, Khalifah Umar terkenal dengan kemampuannya dalam bidang ekonomi dan mengelola zakat dengan tepat.

Rakyat yang dipimpinnya pun mencapai kemakmuran. Hal itu bisa dilihat saat para amil zakat berkeliling ke seluruh perkampungan hingga ke Afrika untuk membagi zakat, tapi tak ada satu orang pun yang mau menerima zakat. Keadaan waktu itu sangat sejahtera. Khalifah Umar bin Abdul Azis fokus memberantas korupsi agar rakyat bisa makmur dan tak ada lagi pejabat yang dzalim.

Pemimpin dalam Islam menyadari bahwa  tanggung jawab kepemimpinannya adalah amanah dunia akhirat yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya. Rasulallah menegaskan dalam hadistnya, "Tidaklah seorang manusia yang diamanahi Allah Swt untuk mengurus rakyat lalu dia mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya." (HR. Buhkari)
Wallahu'alam bishawab.


Share this article via

28 Shares

0 Comment