| 193 Views

P2P Lending Bukan Solusi Dana Pendidikan

Oleh : Ita Husnawati

Saat ini biaya pendidikan dipandang mahal, terutama pendidikan tinggi (kuliah). Pemerintah memberikan solusi dengan program Student loan atau pinjaman online (pinjol). Hal ini  seharusnya tidak terjadi di negeri yang kaya dengan sumber daya alam.. Menko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) mendukung wacana student loan melalui perusahaan dalam bentuk P2P lending dan menganggap bahwa itu merupakan bagian dari inovasi teknologi informasi.  (https://tirto.id, 03/07/2024)

Dilansir dari https://sikapiuangmu.ojk.go.id, yang dimaksud dengan fintech lending/peer-to-peer lending(P2P lending) adalah layanan pinjam meminjam uang secara langsung antara kreditur (lender) dan debitur (borrower) dalam mata uang rupiah berbasis teknologi informasi. Hal ini berdasarkan Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016. Fintech lending disebut juga LPMUBTI (Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi).

Tahun 2020, terdapat 161 perusahaan penyelenggara fintech terdaftar dan berizin. Dari sisi teknis, P2P lending ini memang memudahkan bagi yang berpiutang  (lender)  maupun yang berutang (borrower). Prosesnya cepat dan mudah, bahkan bagi pengutang tanpa harus punya  jaminan. Namun resikonya cukup berat, yaitu suku bunga pinjaman cukup tinggi dan ada denda ketika borrower telat membayar.

Jika mahasiswa menjadi borrower, maka fokusnya akan terbagi, satu sisi dia harus belajar sungguh-sungguh dan mengrjakan tugas-tugas kuliahnya, disisi lain dia juga harus memikirkan cara melunasi utangnya. Belum lagi jika kuliahnya sesudah menjadi kepala keluarga yang harus mnafkahi keluarga. Lebih fatal lagi, dia melanggar hukum syara’, yaitu menjadi pelaku riba yang tingkat dosa terrendahnya seperti menzinahi ibunya sendiri. Na’udzu billah  

  Permasalahan ini muncul dalam sistem kapitalisme sekuler, dimana negara lepas tangan dalam mencapai tujuan pendidikan. Seharusnya biaya pendidikan menjadi tanggung jawab negara tidak hanya tingkat dasar, namun hingga perguruan tinggi, karena pendidikan berkualitas adalah hak dasar yang harus diperoleh seluruh rakyat. Di samping itu, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap individu sepanjang hayat.

Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Rasulullah SAW telah membina dan mendidik para sahabat hingga menjadi sosok Islam yang berjalan. Ketika Beliau menjadi kepala negara di Madinah, Beliau menjadikan pengajaran tulis-menulis kepada kaum muslim oleh tawanan sebagai tebusan bagi tawanan tersebut.Kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidindan para khalifah sesudahnya, pendidikan dalam Islam semakin berkembang, mendirikan lembaga pendidikan tinggi, perpustakaan, riset dan pengembangan sains dan teknologi, hingga berhasil mencetak para ilmuwan dan para ahli yang fakih fiddien dan pakar di bidangnya. Penulis buku saat itu dibayar dengan emas seberat bukunya. Kesejahteraan pendidik juga sangat diperhatikan.

Slain itu, Islam menetapkan bahwa pejabat adalah teladan umat, pemimpin umat yang senantiasa taat syariat.Teknologi hanya sarana untuk mempermudah aktivitas. Pemanfaatannya bisa mendatangkan pahala atau dosa. Maka pemanfaatan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat, karena akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah di akhirat.

Alhasil, solusi bagi masalah pendidikan adalah diterapkannya aturan Islam dalam sistem pemerintahan Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Maka pendanaan pendidikan diambil dari kas negara (bait al maal) melalui mekanismepengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara, diantaranya dari penglolaan sumber daya alam (SDA) sesuai syari’at Islam yang mengharuskan SDA dikelola oleh negara, bukan oleh swasta, apalagi swasta asing.Wallahu A’lam


Share this article via

43 Shares

0 Comment