| 101 Views

Nasib Guru di Bawah Kapitalisme, Sejahtera atau Sekadar Ilusi

Oleh : Rina Rahmawati

Dilansir dari Detik.Com - Presiden Prabowo Subianto menaikkan anggaran kesejahteraan guru menjadi Rp81,6 triliun pada 2025, yang diklaim sebagai upaya menghargai jasa guru. Namun, detail kebijakan ini memperlihatkan realita yang jauh dari ideal. Tambahan tunjangan bagi guru non-ASN, misalnya, hanya naik Rp500.000, dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta, dan itu pun dengan syarat mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu. Kondisi ini sulit terpenuhi di berbagai daerah, terutama di wilayah terpencil dengan jumlah siswa terbatas.

Di sisi lain, inflasi yang terus meningkat, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan standar hidup layak yang rendah membuat tambahan ini tak sebanding dengan kebutuhan hidup guru. Guru masih dipandang sebagai bagian dari "faktor produksi" dalam sistem pendidikan yang kapitalistik, bukan sebagai pilar utama pencerdasan bangsa.

Kenaikan tunjangan guru seolah menjadi solusi instan, tetapi sebenarnya tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam sistem pendidikan. Kapitalisme telah mengkomodifikasi pendidikan, menjadikannya sarana mencari keuntungan, bukan investasi jangka panjang untuk membangun generasi.

Dalam sistem kapitalisme, gaji guru ditekan serendah mungkin demi efisiensi anggaran. Guru dianggap seperti buruh dalam industri pendidikan yang tujuan utamanya adalah profit. Kontribusi mereka yang sejatinya tidak ternilai harganya malah dihargai dengan tunjangan kecil yang penuh persyaratan.

Selain beban mengajar, guru dihadapkan pada tuntutan administratif dan kurikulum yang sering berubah tanpa melibatkan mereka. Hal ini memperparah kondisi kerja mereka, apalagi di daerah dengan infrastruktur pendidikan yang minim.

Kurikulum yang berbasis sekularisme gagal membangun karakter murid. Guru berupaya mendidik, tetapi murid terpapar budaya bebas yang kontradiktif. Pendidikan mahal pun tak menjamin kualitas generasi, hanya mempertegas jurang kesenjangan ekonomi.

Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya." (HR Thabrani).
Namun, bagaimana guru bisa bekerja dengan sempurna jika mereka terus dibebani oleh sistem yang tidak adil?

Pendidikan Sebagai Tanggung Jawab Negara
Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang harus dijamin negara. Dalam sistem Islam, pendidikan diberikan secara gratis, sementara guru diposisikan sebagai elemen penting pembangun peradaban.

Negara wajib menyediakan pendidikan gratis, mulai dari gaji guru, infrastruktur sekolah, hingga sarana pendukung. Rasulullah SAW bersabda: "Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, pemimpin memiliki amanah besar untuk memastikan pendidikan tidak menjadi beban rakyat, melainkan hak yang dijamin.

Pada masa Khilafah Abbasiyyah, gaji guru setara Rp500 juta/bulan dengan nilai emas saat ini. Gaji tersebut mencerminkan penghargaan besar terhadap peran guru, sehingga mereka fokus mendidik tanpa harus memikirkan kebutuhan dasar yang semestinya dijamin negara.

Islam memastikan pendidikan bebas dari orientasi bisnis. Negara memanfaatkan kekayaan alam, seperti tambang dan sumber daya lainnya, untuk mendanai pendidikan, tanpa memungut biaya dari rakyat.

Pendidikan dalam Islam dirancang untuk membentuk generasi berkarakter kuat, berilmu, dan bertakwa. Dengan kurikulum berbasis nilai-nilai Islam, pendidikan tidak hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya.

Sudah saatnya kita beralih ke sistem yang benar-benar memuliakan guru dan memastikan pendidikan sebagai jalan membangun bangsa, bukan sekadar komoditas ekonomi. 
Rasulullah SAW bersabda:
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR Ibnu Majah).
Maka, negara wajib menjamin ilmu itu tersedia untuk semua tanpa hambatan, termasuk bagi mereka yang berperan sebagai pendidik.

Wallahu'alam bish shawwab


Share this article via

36 Shares

0 Comment