| 401 Views
MinyaKita, Milik Kita?

Oleh : Raodah Fitriah, S.P
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai langkah pemerintah menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp 14.000,- menjadi Rp 15.700,- tak masuk akal (Tempo.co, 20/07/2024).
MinyaKita merupakan merek minyak goreng yang diluncurkan di bulan Juli 2022 melalui program Kementrian Perdagangan dengan 24 produsen minyak goreng di Indonesia. Minyak goreng ini ditunjukkan untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Melalui MinyaKita, diharapkan pengawasan distribusi minyak goreng di pasar domestik menjadi lebih murah. Namun harapan itu tidak bertahan lama. Didistribusikan selama 1,5 tahun, kini MinyaKita naik dengan harga yang fantastis. Masyarakat harus mengeluarkan banyak uang hanya untuk mendapatkan minyak goreng.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa penyebab dari naiknya harga MinyaKita ialah menyesuaikan dengan nilai rupiah yang merosot dari Rp 16.000,- menjadi Rp 15.000,- per dolar AS dan menyesuaikan dengan harga bahan pokok lainnya seperti beras. Tentu ini tidak masuk akal, yang mana bahan baku pembuatan minyak goreng berasal dari Indonesia. Hal ini harusnya tidak terpengaruh oleh dolar AS.
Dengan naiknya harga MinyaKita tentu akan berdampak pada sektor rumah tangga dan kuliner, yakni meningkatnya biaya produksi, mengurangi volume penjualan dan mengancam keberlangsungan usaha. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan ekonomi yang berlanjut pada ketidaksejahteraan masyarakat dan mempengaruhi devisa negara.
Negara Asing Meraup Keuntungan dari Indonesia
Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, bahkan USDA memproyeksikan produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia bisa mencapai 45,5 Metrik Ton (MT) pada periode 2022/2023. Rincian proyeksi produk minyak sawit global musim 2022/2023 menurut USDA 45.500 MT dan Indonesia berada di urutan pertama.
Data dari Kementrian Pertanian (Kementan), pada tahun 2022 luas lahan sawit nasional mencapai 15,98 juta hektar dan dikuasai oleh investor asing, yaitu investor dari Malaysia yang memiliki 3,7 juta hektar lahan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, investasi asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor pertanian pada periode 2015 sampai pertengahan 2021 masih didominasi investasi perkebunan sawit.
Pengamat politik ekonomi, Wiko Saputra, mengatakan bahwa maraknya kebun sawit Malaysia di Indonesia berawal saat krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Saat itu Indonesia menerima pinjaman dari Dana Moneter Internasional (DMI) dengan salah satu syarat harus membuka investasi asing di beberapa sektor, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Peluang tersebut dimiliki oleh Malaysia hingga saat ini, yang kemudian menjadi perusahaan yang menggurita. Meskipun ada kewajiban pajak, pungutan ekspor dan pembukaan lapangan pekerjaan, namun hal ini tidak sebanding dengan pengembangan sawit Malaysia di Indonesia. Salah satu kerugian yang telah ditimbulkannya ialah adanya pelanggaran lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan.
Mahalnya harga minyak goreng dalam negeri sangatlah wajar, karena saat ini lahan sawit telah dikuasai oleh swasta dan asing. Padahal sebagian besar lahan yang mereka gunakan untuk menanam kelapa sawit itu hanyalah Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan oleh pemerintah. Namun mereka dengan leluasa berbuat semaunya sehingga tidak ada kompensasi dari pemberian HGU tersebut.
Dengan keberlimpahan minyak sawit tidak membuat penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) rendah, justru malah menyulitkan konsumen. Hanya dilakukan atas dasar kepentingan penguasa bukan berdasarkan kepentingan rakyat sehingga menguntungkan bagi asing untuk merampas SDA. Melalui perjanjian GATT liberalisasi pertanian dan perdagangan makin kuat yang menjadikan negara menyerahkan urusan pangan kepada korporasi swasta dan asing mulai dari sektor hulu hingga hilir.
Rantai Distribusi yang Tidak Masuk Akal di Sistem Kapitalisme
Menurut Sahat Siagian selaku Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, para produsen enggan memproduksi MinyaKita karena tidak mendapatkan keuntungan. Malahan hanya mengeluarkan banyak biaya produksi apalagi harga yang ditentukan oleh pemerintah tidak sesuai dikarenakan perkebunan kelapa sawit bukanlah milik kita, namun milik asing.
Hal ini makin dipersulit dengan rantai distribusi pada tiap wilayah yang sangat rumit. Misalnya untuk wilayah Papua, Maluku dan Bali yang terkendala biaya distribusi yang mahal. Seperti inilah kebijakan yang ada dalam sistem kapitalisme. Kebijakan yang dikeluarkan tidak pro rakyat.
Selama ini negara kita mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme dalam mengatur urusan pemerintahan. Segala kebijakan pangan yang dikeluarkan penguasa seluruhnya lahir dari ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam kebutuhan pangan rakyatnya termasuk minyak goreng. Negara menyerahkan pengurusan berbagai sektor kepada swasta dan asing.
Sementara itu, negara hanya berperan sebagai regulator yang menjamin keberlangsungan bisnis yang dilindungi di bawah payung hukum, seperti UU Cipta Kerja. Sehingga negara sangat bergantung pada pihak swasta dan asing. Kondisi ini menjadi peluang untuk mengekspor CPO dengan harga yang tinggi. Minyak goreng yang murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat tidak akan pernah didapatkan di negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme.
Islam Sangat Memperhatikan Kebutuhan Rakyatnya
Tugas utama penguasa dalam Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan pangan, sandang dan papan, juga kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kebutuhan tersebut akan dipastikan dinikmati oleh tiap individu, baik muslim maupun non muslim; pria maupun wanita. Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu dengan menjamin tersedianya barang dan jasa dengan tidak membiarkan segelintir orang menguasainya.
Dengan demikian Islam melarang penimbunan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini akan menyulitkan orang yang membutuhkannya. Rasulullah Saw. bersabda, “Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).
Selain itu, dalam Islam penguasa tidak boleh mematok harga. Rasulullah Saw. bersabda dalam hadits riwayat Abu Dawud, “Sesungguhnya seorang laki-laki mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga!’ Beliau menjawab, ‘tidak, biarkan saja’ kemudian seorang laki-laki yang lain mendatangi beliau dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga!’ Beliau menjawab, ‘Allah yang berhak menurunkan dan menaikkan harga.”
Bahwa penetapan harga dalam Islam itu menggunakan mekanisme pasar, yakni keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang berjalan secara alami tanpa intervensi ataupun manipulasi pihak manapun.
Maka yang dapat dilakukan oleh penguasa untuk menjaga tersedianya bahan pangan yaitu dengan mengembalikan kepemilikan perkebunan sawit tersebut menjadi milik umum. Dengan demikian masyarakat dengan leluasa mengolah sendiri sesuai kebutuhan. Jika masyarakat kesulitan, penguasa bisa membantunya setelah panen dalam pengolahannya.
Kemudian dilanjutkan dengan mendistribusikannya dengan harga yang terjangkau. Prioritas utamanya bukan mencari keuntungan, namun menjamin kesejahteraan rakyat. Seperti itulah kesempurnaan Islam dengan sumber hukum mutlak dari Allah SWT melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah guna terpenuhinya kebutuhan masyarakat semata-mata untuk meraih ridha Allah.