| 163 Views
Minol Haram, Tidak Seharusnya Dilegalkan

Penulis : Ariefdhianty Vibie
Pegiat Literasi, Bandung
DPRD Kota Bandung telah menyusun Raperda tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Ketua Pansus 9 DPRD Kota Bandung Uung Tanuwidjaja mengatakan proses pembentukan raperda itu telah lebih dari 90 persen. Ia berharap, hasil dari raperda ini dapat mengakomodir semua kepentingan, sehingga Kota Bandung dapat kondusif dan tidak terjadi pelanggaran ataupun kerugian dari peredaran minuman beralkohol. Uung mengatakan, regulasi yang sedang digodoknya bakal lebih awas dengan produk-produk yang tidak memenuhi syarat distribusi dan penjualan.
Beberapa waktu lalu juga, Ketua Komisi B DPRD Kota Bandung, Nunung Nurasiah sempat memaparkan tahapan Raperda tersebut sebagai pembahasan utama di DPRD. Sebab, ia mengatakan, peredaran minol mulai meresahkan dan mempengaruhi tingginya angka kejahatan. Perda minol yang sedang digodok, kata Nunung, akan mempertimbangkan terkait sanksi yang tepat jika produsen maupun penjual melanggar aturan.Ia berharap, produsen dan pengusaha minol nantinya mampu mematuhi aturan demi memudahkan pengawasan dan pengendalian miras.
Kemudian Nunung juga meminta agar masyarakat bisa lebih bijak dalam mengkonsumsi minuman beralkohol. Menurutnya, di sinilah peran penting keluarga dan agama untuk menjaga agar generasi selanjutnya tak tercemar perilaku buruk seperti mabuk-mabukan (detik, 18/06/2024).
Menurut penulis, sungguh aneh jika pemerintah masih mencemaskan adanya korban berjatuhan akibat menenggak minuman beralkohol, serta tingginya angka kejahatan, tetapi di sisi lain mereka tetap meloloskan raperda ini sehingga melegalkan minol. Hal ini seperti dua sisi yang berlawanan, begitu kontradiktif satu sama lain. Sungguh, basis aturan yang diambil dari peraturan minol ini sangat abu-abu, tidak jelas standarnya.
Minuman beralkohol, dengan berbagai jenis dan kadarnya, selalu membuat peminumnya menjadi candu, sehingga produksi minuman keras itu cukup menjamur di berbagai negara, terutama negara liberal dan sekuler. Anehnya, di Indonesia sendiri, dengan populasi penduduk Muslim yang besar, minuman beralkohol mendapat pasar tersendiri, bahkan pemerintahnya pun melegalkan walau diatur dan dibatasi, seperti berita di atas.
Secara medis, mengutip Halodoc dari Journal of Neuroscience, alkohol memicu otak untuk melepaskan dopamin kimia reward-system. Halodoc menyebut, zat tersebut mengarahkan otak untuk menghubungkan perasaan positif dan memantik orang untuk minum lebih banyak. Maka dari itu, ketika peminumnya minum lebih banyak akan mengalami kesenangan dan gejala penarikan ketika mencoba berhenti minum (halodoc, 13/01/2024).
Kecanduan inilah yang membuat peluang cuan bagi para produsen dan pengedar minol di Indonesia. Pemerintah juga melihat peluang yang sama dari penjualan minol, sehingga terbitlah berbagai peraturan mengenai minuman beralkohol. Alih-alih ingin meminimalisir korban peminum alkohol dan pelaku kejahatan, pemerintah justru menginginkan keuntungan dari pajak minuman keras ini. Sekalipun mengkhawatirkan jatuhnya korban dan tingginya angka kejahatan, pemerintah tetap meloloskan perda ini. Ini bukti bahwasanya materi masih ada di atas segalanya, dan mengesampingkan aturan agama dan moral.
Inilah tantangan bagi kaum muslim di Indonesia. Undang-undang yang diterapkan saat ini tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Manfaat dan materi menjadi tujuan utama dan boleh untuk mengabaikan syariat. Bahkan, syariat harus dipinggirkan atas nama kepentingan ekonomi pemilik modal dan penguasa. Walhasil, masyarakat dan generasi menjadi rusak akibat penerapan aturan sekuler semacam ini.
Dalam Islam, sudah sangat jelas, bahwa khamar (minuman beralkohol) adalah haram. Kalau saja pemerintah menggunakan landasan hukum syariat dalam menetapkan regulasi khamar, masalahnya akan menjadi sangat sederhana dan solusinya mudah, yaitu bahwa khamar itu haram menurut syariat, merusak akal, dan induk segala kejahatan sehingga negara harus melarang peredarannya di tengah masyarakat secara mutlak dan tidak bisa ditawar. Negara yang melandaskan asasnya pada syariat Islam, tidak akan mempertimbangkan keuntungan materi sebagai basis peraturan. Karena sudah jelas, Allah telah mengharamkan khamar.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 10, Allah SWT. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Dari surat ini, perintah Allah untuk menjauhi minuman keras sifatnya sangat tegas dan jelas, sehingga seharusnya menjadi peraturan yang tidak bisa ditawar atau dipertanyakan lagi. Khamar adalah barang haram, sekalipun bernilai ekonomi. Produksi, promosi, dan distribusi khamar di tengah masyarakat dilarang dan ada sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar aturan ini. Tidak boleh ada pemilik usaha yang memproduksi dan mengedarkan khamar dalam kehidupan publik.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang dengan sebab khamar atau minuman beralkohol dengan dalil sebagai berikut, dari Anas bin Malik, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamar: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta diantarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” [HR. Tirmidzi, no. 1295].
Aturan dalam Islam begitu tegas dan tidak bisa ditawar. Masyarakatlah yang harus tunduk kepada syariat Islam. Jika ada yang melanggar ketentuan khamar ini, maka negara akan menindaknya melalui sistem uqubat atau sanksi yang tegas bagi pelakunya.
Dengan demikian, kehidupan harmonis, tentram, aman, dan damai, akan menyelimuti seluruh warga negara Islam. Masa depan generasi terjaga dan mereka bisa melejitkan potensi akal, jiwa, dan raga untuk berinovasi bagi kemaslahatan masyarakat dan negara ketika Islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh.
Wallahu’alam bishawab.