| 273 Views

Mimpi Berkedaulatan tapi Impor Makin Doyan

Oleh : Wahyuni Mulya 

Aliansi Penulis Rindu Islam

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan impor daging dan sapi hidup dalam waktu 2 - 3 minggu tiba. Ini merupakan bagi volume impor daging sapi yang sudah disetujui pada tahun ini sebanyak 145.250,60 ton.

Bapanas juga telah menetapkan besaran stok pangan yang harus dimiliki pemerintah sampai akhir tahun 2024 nanti. Hal itu ditetapkan dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 379.1/TS.03.03/K/11/2023 tentang Jumlah, Standar Mutu, dan Harga Pembelian Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) Tahun 2024.

Impor barang-barang konsumsi melonjak menjelang masa Ramadan dan Idul Fitri 2024. Kenaikannya terjadi baik secara bulanan atau month to month (mtm) maupun tahunan atau year on year (yoy). Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, nilai impor barang konsumsi per Februari 2024 sebesar US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% dibanding Januari 2023. Sedangkan dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,36 miliar naik 36,49%.

Perum Bulog memastikan sebanyak 450 ribu ton beras impor akan kembali masuk Indonesia di sisa Maret 2024 ini. Dengan begitu, beras yang dikuasai Bulog akan semakin bertambah. Diketahui, ada kewajiban pengamanan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di level 1,2 juta ton. Angka ini menjadi patokan amannya stok beras untuk stabilisasi.

Setidaknya ada 19 komoditas yang diimpor Indonesia, di antaranya aluminium, buah-buahan, sayuran, besi dan baja, tembaga, minyak bumi, tembakau, bahan bakar mineral, pupuk, garam, beras, jagung, kedelai, tepung terigu, gula, daging sapi, daging ayam, dan susu. Semua komoditas ini adalah komoditas penting, seperti bahan pangan dan bahan baku. Kalau sudah ketergantungan impor seperti ini, kapan negeri ini bisa mandiri?

 *Benarkah Impor sesuai Kebutuhan?* 

Menanggapi keputusan pemerintah ini, berbagai kalangan protes dan menolak kebijakan impor beras. Bahkan, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, pihaknya yang tersebar di berbagai wilayah akan berunjuk rasa menolak impor beras dalam 10 hari mendatang. (Ekonomi Bisnis, 9-1-2024).

Jika mengutip data dari BPS, pada 2022 produksi beras nasional 31, 54 juta ton, sedangkan konsumsi hanya 30,2 juta ton. Begitu pun 2023, produksi beras 30,9 juta ton, sedangkan konsumsi hanya 30 juta ton. Artinya, tahun-tahun sebelumnya pun, jika tidak impor, ketersediaan beras dalam negeri terpenuhi. Apalagi 2024 diprediksi produksi beras akan naik. Melihat stok beras yang mencukupi, sedangkan pada kenyataannya banyak warga yang kesulitan mengakses beras, bisa disimpulkan bahwa persoalan utamanya terletak pada manajemen stok dan distribusi, bukan produksi. Sudah jamak diketahui, 90% distribusi beras dikendalikan oleh swasta. Jika swasta yang mengendalikan, profit menjadi tujuan utamanya. Wajar saja orang miskin sulit untuk mengaksesnya.

Pemerintah selalu membangun narasi kemandirian dengan jargon “Bangga dengan produk Indonesia”. Namun, narasi ini hanya akan berujung basa basi jika negara masih impor sejumlah komoditas penting dan krusial. Apa kekurangan Indonesia? Jika kita melihat potensi SDA dan posisi geografisnya, Indonesia cukup memenuhi syarat menjadi negara mandiri dan adidaya. Bahkan dalam satu penggalan syair lama, Indonesia diibaratkan tanah surga. Apa pun yang ditanam pasti tumbuh subur. Sayangnya, tanah surga ini sekarang kering kerontang diserang impor dari luar.

Ini karena peran negara dalam sistem ekonomi kapitalisme hanya sebatas regulator, bukan pengurus rakyat. Negara hanya menjadi penyambung kepentingan korporasi terhadap rakyat, begitu pun sebaliknya. Rakyat membutuhkan sejumlah kebutuhan hidup, sedangkan pengusaha atau korporasi menyediakan fasilitas hidup rakyat.

Selain itu, sistem ekonomi kapitalistik akan makin mempercuram ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Ini karena akses modal terhadap si kaya makin lebar, sedangkan bagi si miskin kian sempit. Inilah yang menjadikan makin banyak warga yang tidak bisa mengakses pangan dengan layak.

 *Negara Harus Mandiri* 

Tata kelola negara yang bercorak kapitalistik mustahil mewujudkan swasembada pangan. Kepentingan pengusaha telah menjadi fokus utama dalam kerja para penguasanya. Inilah yang menjadikan kebijakan impor terus saja diambil walaupun dapat mencederai kedaulatan pangan negara.

Produksi tidak akan mungkin bisa masif sebab liberalisasi kepemilikan lahan menjadikan para petani kian tidak memiliki lahan untuk digarap. Begitu pun aspek distribusi yang menjadi pangkal persoalan, dalam sistem kapitalisme, swastalah yang menguasai sehingga aliran pangan tidak akan mungkin sampai pada setiap rakyat.

Untuk menjadi negara mandiri dan tangguh, kita tidak hanya membutuhkan pemimpin yang amanah, tetapi harus disokong sistem yang kuat. Indonesia sudah memiliki modal dan potensi menjadi negara adidaya. Hanya saja, sistem dan kepemimpinannya masih mengekor pada kapitalisme global. Inilah sejatinya yang menghambat negeri-negeri Islam tidak bisa tumbuh dan tangguh menjadi negara adidaya.

Seharusnya peningkatan kebutuhan sudah bisa diprediksi dan diantisipasi agar tetap terwujud ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Ketergantungan pada impor sejatinya mengancam kedaulatan negara. Negara harus mencari solusi agar menjadi negara mandiri.  Sistem kapitalisme yang diterapkan menghalangi terwujudnya negara mandiri.

Islam mewajibkan negara berdaulat dan mandiri termasuk dalam masalah pangan. Berbagai upaya akan dilakukan negara secara maksimal, termasuk dalam membangun infrastruktur berkualitas, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dan peternakan, juga dalam berinovasi meningkatkan teknologi tepat guna dan berkemampuan tinggi. Islam mewajibkan negara mewujudkan kesejahteraan, termasuk memerikan subsidi pada rakyat yang membutuhkan termasuk petani dan peternak yang kurang modal atau tidak memiliki modal.

Tingginya impor hanya bisa dihentikan dengan penerapan sistem Islam yang akan mengembalikan kepemilikan SDA kepada rakyat sebagai pemilik sesungguhnya kekayaan milik umum tersebut. Adapun negara bertugas mengelolanya dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Meski sistem Islam tidak melarang impor, kebijakan tersebut tidak akan menjadi solusi satu-satunya dalam menyelesaikan persoalan.


Share this article via

130 Shares

0 Comment