| 179 Views

Merayakan Kemerdekaan di Tengah Penjajahan Neo Imperalisme

Oleh : Ummu Aqilla
Aktivis Muslimah Ngaji

Indonesia baru saja merayakan Hari kemerdekaan pada Tanggal 17 Agustus 2024, tetapi apakah sebenarnya kita sesungguhnya sudah merdeka. Masyarakat cendrung memaknai kata" merdeka"sekedar fisik belaka. Padahal penjajahan gaya baru  justru lebih berbahaya, yakni penjajahan pemikiran dan budaya yang membuat bangsa ini kehilangan daya kritis dan daya tolak  atas penjajahan pemikiran barat.

Ada yang berbeda dalam pelaksanaan upacarJika tahun-tahun sebelumnya hanya diadakan di Istana Merdeka, Jakarta, maka tahun ini digelar di dua lokasi, yakni di Istana Merdeka dan di Ibu Kota Nusantara (IKN) baru di Kalimantan Timur. Jika tahun-tahun sebelumnya hanya diadakan di Istana Merdeka, Jakarta, maka tahun ini digelar di dua lokasi, yakni di Istana Merdeka dan di Ibu Kota Nusantara (IKN) baru di Kalimantan Timur. Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memajukan dan memperkenalkan IKN sebagai pusat pemerintahan baru Indonesia. Penyelenggaraan upacara di dua tempat ini juga menjadi simbol keberagaman dan persatuan bangsa, serta menandai awal era dengan mulai berfungsinya ibu kota yang baru. Tema peringatan Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, yaitu “Nusantara Baru Indonesia Maju”. Tema itu dipilih sebagai gambaran transisi kepindahan IKN baru dan menjelang pergantian kepala negara.

Dikutip dari cnbc indonesia, Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus di IKN mencapai Rp 87 miliar. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya yang menghabiskan Rp 53 miliar.

Kehadiran para konglomerat kelas naga pada upacara kemerdekaan di IKN, cukup mengundang perhatian warga. Terlebih ketika beredar video saat “para naga” disertai seorang politisi berbincang santai soal keterlibatan mereka dalam beberapa proyek pembangunan di IKN. Mereka tampak bangga bisa terlibat dalam proyek kolosal ini, lalu saling meng-endorse bahwa proyek ini akan membawa dampak besar pada masa depan Indonesia, serta tentu saja akan menguntungkan bisnis mereka.

Yang menjadi sorotan masyarakat adalah keberanian rezim hari ini untuk menunjukkan peran besar segelintir pemilik kapital di balik tegaknya kekuasaan. Padahal, pada rezim-rezim sebelumnya, peran “para naga” itu justru cenderung disembunyikan. Tujuannya adalah demi menghindari tudingan bahwa sudah terbangun oligarki kekuasaan sekaligus model pemerintahan korporatokrasi alias model pemerintahan yang diatur ala perusahaan.

Pada kombinasi dua model ini, para penguasa (elite politik) dan pengusaha (korporasi) saling bersimbiosis mutualisme. Keduanya berkolaborasi demi saling bertukar manfaat sebesar-besarnya. Di satu sisi penguasa mendapat support modal untuk sampai pada kursi kekuasaan, sekaligus support modal untuk menjaga kekuasaan demi mengejar rente proyek pembangunan. Di sisi yang lain, pengusaha mendapat privilese berupa lahirnya kebijakan yang memuluskan target perluasan bisnis dan akumulasi modal perusahaan, juga atas nama pembangunan.

Pada level yang lebih parah, pengusaha langsung terjun menjadi penguasa, atau sebaliknya, penguasa memerankan diri sebagai pengusaha. Negara dengan segala unsurnya, benar-benar diatur sebagaimana sebuah perusahaan. Lalu semuanya dilegalisasi dengan konsep reinventing government atau mewirausahakan birokrasi serta konsep public privat partnership alias kemitraan pemerintah bersama swasta atau entitas bisnis.

Pada faktanya, negeri ini belumlah merdeka secara hakiki, melainkan telah masuk dalam perangkap penjajahan gaya baru. Dimana penjajahan kini dilakukan secara non-fisik (non-militer). Yang tak mudah dirasakan oleh pihak terjajah. Artinya, sampai saat ini Indonesia sesungguhnya masih dalam keadaan terjajah dan belum sepenuhnya merdeka secara hakiki. Karena fakta yang ada, hegemoni bangsa lain saat ini masih ada di negeri kita. Penguasaannya melalui kontrol serta menanamkan pengaruh meliputi berbagai bidang. Dari bidang ekonomi, pendidikan, politik, pemikiran, hukum, pertahanan keamanan, hingga sosial budaya atas wilayah yang dijajah. Namun, tujuan akhirnya sama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah terjajah ke negara penjajah. Negeri ini masih dicengkram kuat oleh kekuasaan asing serta negara kita belum memiliki kedaulatan penuh.

Pertama, ormas rebutan mengolah tambang. Ada banyak komentar netizen, tapi yang paling membekas seperti ini, ”dipisahkan oleh qunut, disatukan oleh tambang”. Sebenarnya, tambang ini milik siapa? Padahal di dalam Pasal 33 ayat (2) tertulis bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Kedua, legalisasi zina dibalik pengesahan PP No.28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan. Dalam pasal 103 ayat (4) tertulis bahwa pelayanan kesehatan reproduksi, selain deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi, dan konseling, mencakup pula penyediaan alat kontrasepsi bagi warga usia sekolah dan remaja.

Ketiga, kehebohan sewa alphard 25 juta per unit demi perhelatan seremoni di IKN. Jumlah alphard yang ditaksir ada 1.000 unit. Menurut Moeldoko selaku Kepala Staff Kantor Kepresidenan, kalau untuk hari kemerdekaan tidak ada yang mahal. Tentu saja tidak mahal. Karena sumber dananya dari pajak rakyat! Siapapun tidak akan merasa mahal jika membayar sesuatu bukan dengan uangnya.

Selain itu, tersiar kabar bahwa Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang berjenis kelamin perempuan dilarang menggunakan kerudung. Pengurus pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) mencatat ada 18 anggota Paskibraka mengenakan kerudung saat latihan. Namun, tak ada yang terlihat berjilbab saat pengukuhan di IKN pada Hari Selasa (13/8) lalu. Ternyata, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menjadi pembina Paskibraka membuat surat pernyataan bermaterai yang menerangkan bahwa lepas kerudung hanya dilakukan saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran bendera merah putih pada upacara kenegaraan.

Maka dari sini, jelaslah bahwa sebagian rakyat memahami kemerdekaan sebatas terbebasnya penjajahan secara fisik saja. Tak menyadari bahwa sejatinya mereka dijajah dari segi pemikiran. Dimana bentuk kesejahteraan rakyat itu dipropagandakan dari segi pencapaian kepemilikan harta. Seiring dengan itu SDA banyak dikuasai asing dan segelintir orang yang dekat dengan asing yang justru itu pun merupakan bentuk penjajahan secara fisik berkedok kerjasama dan rakyat dibiarkan.

Kemerdekaan dapat menjadi beragam maknanya bila ditelaah dari berbagai aspek kehidupan. Merdeka bukan hanya sekedar terbebas dari ketertindasan, tetapi juga memberi kebebasan dan kelapangan hati, pikiran, dan perbuatan manusia untuk menyampaikan pendapat dan melakukan amal perbuatan secara terbuka tanpa ada rasa khawatir, takut dan tertekan.

Belum lagi kita bicara moral. Sebagaimana diketahui, salah satu cita-cita utama kemerdekaan—terutama yang dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional—adalah bagaimana melahirkan generasi yang beriman dan bertakwa. Faktanya, hari ini moralitas generasi muda makin merosot. Perilaku seks bebas makin liar. Bahkan banyak remaja terjerumus ke dalam perilaku “kaum sesama”. Banyak dari mereka yang terjerat narkoba. Kasus bullying (perundungan), khususnya di kalangan pelajar dan remaja, juga makin sering terjadi. Bahkan kasus kejahatan dengan pelaku pelajar dan mahasiswa sudah sering kita saksikan. Ragam kriminalitas pun makin hari makin beragam dan makin mengerikan.

Di sisi lain, kesenjangan ekonomi makin melebar. Kekayaan alam lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Mereka adalah para pengusaha dan korporasi asing dan aseng. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang (emas, perak, nikel, tembaga, bijih besi), energi (seperti batubara) dan migas (minyak dan gas). Mereka pun—yakni para oligarki—menguasai sebagian besar lahan, termasuk hutan, yang sebagiannya telah berubah menjadi perkebunan sawit. Total luas area lahan yang mereka kuasai ratusan ribu bahkan jutaan hektar.

Yang tak kalah memprihatinkan, utang negara makin bertumpuk. Korupsi makin menjadi-jadi. BUMN banyak yang merugi. Banyak proyek infrastruktur yang kemudian menjadi beban negara, seperti proyek kereta cepat dan IKN. Munculnya kebijakan lepas kerudung demi keseragaman tidak terlepas dari pemikiran sekuler kepala BPIP. Wujud nyata dari sekularisme adalah mengesampingkan peran agama dalam mengatur kehidupan.

Sebelumnya, BPIP mengeklaim tidak memaksa anggota paskibraka putri melepas kerudungnya. Menurut kepala BPIP Yudian Wahyudi, mereka tidak dipaksa melepas kerudung karena sudah menandatangani surat persetujuan mematuhi aturan yang berlaku.

Berdasarkan prinsip sekularisme, kerudung adalah hak asasi individu yang tidak boleh ada unsur pemaksaan dalam penggunaannya. Alhasil, masyarakat yang berpikir dengan cara pandang sekuler akan mempermasalahkan kewajiban berhijab yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an. Orang-orang yang berpikiran sekuler seperti kepala BPIP akan selalu ada selama negeri ini mengadopsi sekularisme sebagai falsafah dalam menjalankan kehidupan.


Nabi ﷺ juga bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan–Nya, tidaklah umat ini mendengar tentang kedatanganku sebagai Nabi dan Rasul, baik itu Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dalam keadaan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Al-Qur‘an) kecuali dia termasuk ahli neraka.” (HR Muslim)

Artinya, setiap muslim harus memahami bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan. Sayang, ketaatan dan ketundukan total kepada Allah Taala terhalang oleh sistem kehidupan sekuler yang berlaku hari ini. Mau taat secara total, dibilang fanatisme agama atau mabuk agama. Mau taat dalam kondisi apa pun dikatakan terlalu kaku dalam beragama. Bahkan, sangat sedikit generasi muda yang mau menjalankan ketaatannya di tengah gempuran pola dan gaya hidup sekuler-liberal.

Inilah efek domino penerapan sistem sekuler di negeri berpenduduk mayoritas muslim. Dampak lainnya yang bisa kita lihat dan rasakan dari hasil pendidikan dan kehidupan sekuler ialah identitas keislaman generasi muda makin terkikis habis. Perilaku maksiat dianggap biasa, perilaku taat menjadi fenomena langka dan luar biasa.

Sekularisme lahir dari ideologi kapitalisme yang menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Agama hanya terbatas pada pengaturan ibadah ritual antara individu dengan penciptanya. Ideologi ini beririsan dengan prinsip demokrasi yang mengagungkan nilai kebebasan. Terdapat empat pilar kebebasan yang diterapkan dalam sistem pemerintahan demokrasi, yaitu kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, berkumpul, dan pers. Korelasi demokrasi dengan sekularisme tampak pada pilar kebebasan dan pemisahan agama. Keduanya sama-sama berupaya menjauhkan agama mengatur kehidupan.

Pemerintahan demokrasi dan sistem kehidupan sekuler inilah sejatinya yang menjadi racun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Alhasil, lahirlah produk UU dan regulasi yang bertentangan dengan pandangan Islam

Dalam Islam, berislam kafah adalah perkara yang wajib dijalankan bagi siapa saja yang berstatus sebagai hamba Allah Taala. Kafah yang dimaksud ialah bukan hanya bermakna mengakui dan meyakini Allah Swt. sebagai pencipta manusia. Bukan pula sekadar menjalankan perintah-Nya dalam urusan salat, puasa, zakat, haji, dan membaca Al-Qur’an, sedangkan dalam urusan berpakaian, bergaul dengan lawan jenis, pendidikan, ekonomi, dan politik dikembalikan pada pilihan individu untuk menjalankannya sesuai Islam atau tidak. Tidak ada kebebasan mutlak dalam Islam sebagaimana demokrasi.

Kemerdekaan yang hakiki adalah saat kita mentauhidkan Allah, terbebas dari kesyirikan dan neraka kemudian menjejakkan kaki di syurga.⁣

فَمَن زُحْزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدْخِلَ ٱلْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ.⁣

"Barangsiapa dijauhkan dari⁣ neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."⁣
(QS Ali Imran : 185).⁣



Share this article via

82 Shares

0 Comment