| 368 Views
Menyoal Peringatan Hari Anak, Benarkah Menyelesaikan Problem Anak?

Oleh : Wa Ode Vivin
Aktivis Muslimah
Tanggal 23 Juli adalah peringatan hari anak se Indonesia. Alih-alih peringatan ini diadakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kalangan anak-anak. Tapi justru setiap tahun anak kehilangan peran keluarga dan pendidikan yang layak. Banyak yang tidak melanjutkan pendidikan karena biaya semester yang makin menyesakkan. Yang tidak kalah miris, anak dibawah umur harus terlibat dalam judi online.
Dilansir dari media online Kompas, bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), memberikan tema Hari Anak Nasional 2024 ini sama dengan tahun lalu yakni "Anak Terlindungi, Indonesia Maju". Tema yang dipilih agar peringatan ini bisa difokuskan ke sejumlah tujuan dan persoalan.
Peringatan seremonial, dari tahun ke tahun tapi tidak ada perubahan bermakna. Malah problem anak makin bertambah seperti banyak anak menjadi pelaku judol, juga pelaku dan menjadi korban kekerasan.
Fakta mengerikan saat kriminalitas tak lagi pandang bulu, siapapun bisa menjadi pelaku kejahatan, dan siapapun bisa menjadi korban kejahatan. Bahkan yang lebih parahnya, korban dan pelaku kejahatan bisa berasal dari orang terdekat. Sampai nyaris membunuh ayahnya sendiri.
Tidak berhenti disitu saja, segelintir fakta juga berhamburan di media anak-anak kecanduan toxic judol. mudahnya aksesibilitas dan keterpaparan anak dalam mengakses gadget (ponsel). Saat ini nyaris tak ada anak yang tidak memegang gadget. Sangat mudah bagi mereka untuk mengakses konten-konten di dalamnya termasuk aneka game berbau judol.
Disadari atau tidak, berbagai problem anak yang kian meningkat saat ini diakibatkan penerapan sistem kehidupan yang salah. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar, nyatanya negara ini menerapkan sistem kapitalisme sekuler, yakni sebuah sistem yang memiliki konsep memisahkan agama dari kehidupan.
Sistem kehidupan inilah yang akhirnya melahirkan masyarakat yang juga jauh dari pemahaman agama. Bahkan orientasi hidupnya sekadar mencari kepuasan jasmani dan materi semata. Maka wajar jika solusi yang dilakukan pemerintah tidak pernah menyentuh akar masalah, anak-anak sangat jauh dari jati dirinya. Peran keluarga dalam mendidik anak juga makin lemah. Sementara sistem Pendidikan hari ini justru membentuk generasi sekuler. Sistem pendidikan yang jauh dari agama tidak mendidik agar manusia memahami pentingnya memiliki ketakwaan, yakni menjalankan perintah Allah (salah satunya birrul walidain), dan menjauhi larangan-Nya. Alhasil, lahirlah generasi rusak di tengah masyarakat dan keluarga, rusak pula hubungannya dengan Allah.
Sangat berbeda jauh dengan islam. Islam memandang penting keberadaan anak sebagai generasi penerus peradaban, karena itu kewajiban negara menjamin pemenuhan kebutuhan anak, dalam berbagai aspek. Negara akan mewujudkan fungsi dan Peran keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Ketakwaan yang ada dalam diri setiap muslim akan mendorongnya untuk berusaha melakukan aktivitas birrul walidain atau berbakti kepada orang tua.
Di sisi lain, negara juga akan menerapkan sistem Pendidikan Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam, sehingga melahirkan generasi yang memiliki keimanan dan ketakwaan tinggi, yang berorientasi pada akhirat.
Demikianlah Tanggung jawab negara dalam mengatur problem yang menimpa anak-anak saat ini, bukan dengan mengadakan seremonial tiap tahun, sementara sistem atau aturan yang digunakan masih tetap sekularisme. Oleh karena itu, sudah seharusnya umat Islam menyadari bahwa hanya penerapan Islam dalam institusi Khilafah sajalah yang mampu memberikan solusi bagi segala permasalahan manusia.
Wallahu'alam bishowab