| 158 Views

Memutus Rantai Kepercayaan Pemuda Pada Demokrasi

Oleh : Anne
Pegiat Literasi

Kelompok masyarakat yang lahir dalam rentang tahun 1997 hingga 2012, dimana mereka tumbuh dalam era digital yang serba cepat, penuh dengan arus informasi, dan teknologi yang berkembang pesat, mereka dijuluki Generasi Z (Gen Z). Di dunia politik, generasi ini semakin menjadi sorotan, terutama di Indonesia, mengingat besarnya jumlah mereka dalam daftar pemilih untuk Pemilu 2024.

Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), total daftar pemilih tetap (DPT) sebesar 204.807.222, sebanyak 46.800.161 diantaranya adalah pemilih dari generasi Z, atau sekitar 22,85 persen dari keseluruhan pemilih. Oleh karena itu, muncul harapan agar kaum muda khususnya mahasiswa bisa menjadi agen perubahan demokrasi. Terlebih saat ini, ada pandangan bahwa di Indonesia ada fenomena Democratic Backsliding (kemunduran demokrasi.
(www.kumparan.com).

Muncul harapan, agar kaum muda khususnya mahasiswa bisa menjadi agen perubahan demokrasi. Sebab, Gen Z memiliki peluang untuk mengubah politik dengan cara mereka yang unik, dengan memanfaatkan platform- platform seperti Instagram, Twitter, YouTube, dan TikTok untuk menyuarakan pandangan politik mereka. Tak ayal lagi, para politisi baik di tingkat nasional maupun lokal, berlomba-lomba membangun citra mereka di platform digital. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan meme, video pendek, dan format konten yang viral untuk menarik perhatian pemilih muda. Strategi ini terlihat berhasil dalam beberapa kasus, namun tantangan utamanya adalah menjaga otentisitas. Gen Z dikenal sebagai generasi yang bisa dengan mudah mendeteksi manipulasi atau kepalsuan, sehingga politisi yang terlalu mencoba "keren" di media sosial bisa berakhir kehilangan kepercayaan.

Saat ini, beribu cara dilakukan para politisi demi merangkul suara politik Gen Z. Hal itu, terwujud dengan adanya reformasi di tubuh partai politik dengan adanya perubahan pola rekrutmen, kaderisasi dan distribusi kader. Sayangnya, demokrasi nyatanya hanya mengambil suara rakyat sebagai legitimasi atas kekuasaan para penguasa. Namun, ketika calon sudah terpilih dan menduduki kekuasaan, rakyat dilupakan. Penguasa yang seharusnya melayani kemaslahatan rakyat, justru berlepas tangan, bahkan membebani rakyat, salah satunya dengan berbagai pungutan pajak. Kebutuhan primer seperti listrik, air, pangan, dan transportasi yang mahal. Tempat tinggal pun makin tidak terjangkau. Semua kesusahan yang dirasakan rakyat ini, tidak lain karena kebijakan yang dibuat penguasa yang disahkan dengan undang- undang oleh lembaga legislatif (DPR/DPRD).

Demokrasi tidak menghendaki pemimpin (penguasa) yang cerdas dan cakap dalam memimpin. Demokrasi hanya membutuhkan penguasa yang mendapat legitimasi dukungan suara rakyat. Tidak heran jika penguasa yang bisa terpilih sesungguhnya tidak memiliki kemampuan memimpin, tidak visioner, dan tidak mengerti cara melayani urusan rakyat dengan baik. Pada akhirnya, negara tergadai kepada pihak asing yang mencengkeram negeri ini dengan berbagai utang dan investasi. Nampak wajah asli, bahwasanya politik demokrasi tidak berkorelasi dengan perbaikan kehidupan masyarakat.

Realitas inilah, juga yang membentuk para pemuda malas berpolitik dalam bingkai demokrasi, meskipun mereka tidak memahami kesalahan demokrasi secara konseptual. Pragmatisme berpikir jugalah yang membentuk generasi muda menjauh dari politik demokrasi, ketika politik demokrasi itu sendiri menampakkan berbagai kerusakan yang diindera pemuda. Sejatinya, itu bukanlah kemunduran demokrasi. Namun, lebih tepat disebut demokrasi sebagai sebuah sistem yang merusak, sehingga demokrasi memang layak ditinggalkan oleh pemuda. Tak bisa di pungkiri, memang para pemuda haruslah berpartisipasi dalam perubahan politik Indonesia. Dan untuk itu pemuda membutuhkan peran partai politik dan harus bergabung dengan parpol sahih untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan negara. Mewujudkan tata dunia baru yang berbeda dengan model politik demokrasi, yang jelas telah gagal sejak lama.

Maka dari itu, penting membangun narasi kepada pemuda, untuk menghentikan kepercayaan kepada partai-partai sekuler apapun basis massa yang dimiliki. Gen Z pun harus terpahamkan dengan kriteria papol sahih, dimana memiliki ciri- ciri yang diantaranya :
1. Memiliki ideologi sahih (Islam), yang mana ideologi tersebut, sekaligus menjadi ikatan yang menghimpun para anggotanya.
2. Memiliki konseptual politik yang dipilih untuk menjalankan perubahan (mengadopsi fikrah politik Islam).
3. Memiliki metode langkah perubahan yang relevan dengan problem sistem (metode perubahan yang teruji).
4. Memiliki para anggota yang memiliki kesadaran yang benar (bukan sekedar karena ketokohan, kepakaran, jabatan).

Pemahaman mengadakan Pendidikan politik seperti itu adalah tanggungjawab negara. Dalam sistem Islam, Khilafah akan melakukan Pendidikan politik Islam kepada para pemuda (Gen Z), karena politik dalam Islam adalah satu kebutuhan, sehingga umat Islam termasuk Gen Z wajib berpolitik sesuai dengan tuntunan Islam.

Alhasil, harus ada penyadaranserta edukasi  di tengah masyarakat tentang hakikat dan kepalsuan demokrasi agar umat paham dan meninggalkan sistem yang rusak dan merusak ini. Kemudian menggantinya dengan sistem Islam. Sistem kehidupan sempurna yang diturunkan oleh Allah SWT., Sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam juga, memiliki seperangkat aturan atau hukum tentang akidah, ibadah, akhlak, makanan dan minuman, pakaian, perekonomian, pendidikan, sosial masyarakat, pemerintahan, hingga politik luar negeri.

Hubungan rakyat dengan penguasa dalam Islam sangatlah indah. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariat. Sistem Islam, menghasilkan kesejahteraan dan kemuliaan yang luar biasa. Bahkan, Kesaksian seorang sejarawan Barat dalam buku yang ia tulis bersama istrinya, Ariel Durant, Story of Civilization, dinyatakan, "Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka."

Jika sistem Islam dalam bingkai Khilafah jauh lebih akuntabel dibanding sistem pemerintahan mana pun, lalu untuk apa masih mempertahankan demokrasi yang sudah terbukti membawa kerusakan, kemiskinan, dan kehinaan.
Wallahu a'lam bish showwab


Share this article via

69 Shares

0 Comment