| 179 Views
Masalah Klasik Menjelang Nataru

Oleh: Elly Ranty
Aktivis Muslimah
Sebentar lagi kita akan memasuki akhir 2024. Perkara yang khas setiap Desember sebagai bulan penutup tahun Masehi terkait tanggal 25 dan dilanjut tanggal 1 Januari sebagai awal tahun, sebagai tanggal istimewa bagi penduduk bumi di seluruh dunia. Sebuah keniscayaan setiap bulan Desember setiap tahun selalu muncul perdebatan yang cukup klasik. Perdebatan yang menyangkut perbedaan pandangan tentang perayaan hari besar umat Nasrani, Nataru (Natal dan tahun baru). Khususnya perayaan Natal sebagai kelahiran Yesus, yang dipercaya sebagai Tuhan oleh penganutnya.
Uniknya perdebatan selalu terjadi dalam internal umat Islam. Lebih terdengar gaungnya di kalangan petinggi negeri, baik tokoh agama atau pejabat negara. Sementara di tengah masyarakat pada umumnya berjalan normal saja. Seperti tidak ada masalah tidak mengucapkan setelah umat Islam memahami adanya larangan mengucapkan hari besar penganut agama Nasrani.
Hubungan antar sesama umat beragama baik-baik saja, baik dengan tetangga, dengan teman sepermainan atau dengan teman sekolah. Toleransi berjalan sebagaimana mestinya. Soalannya hanya perbedaan presepsi terhadap makna toleransi. Masalah sikap bertoleransi bagi umat Islam sudah khatam.
Dalam Islam, Allah Azza wa Jalla telah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bagaimana antar manusia dan umat beragama membangun sikap bertoleransi dengan tidak membedakan satu sama lain. Seperti firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 13 yang artinya, "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Firman Allah ini sangat jelas, di antara manusia tidak boleh membedakan-bedakan karena perbedaan ras dan status sosial. Sesungguhnya manusia itu sama, kecuali yang membedakan ada pada tingkat ketakwaanya yakni ta'at kepada perintah dan larangan Allah.
Kemudian dalam surah al-An'am ayat 108, Allah mendidik umat Islam agar tidak menghina agama orang lain. Sebagaimana firman-Nya, "Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan."
Bahkan Allah SWT dengan sangat tegas berfirman agar kepada setiap penganut agama jalankan saja kepercayaannya masing-masing. Terdapat dalam surah al-Kafirun ayat 6, yang artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Sudah seharusnya parat elite menghentikan perdebatan yang tidak akan pernah selesai jika selalu diangkat pada setiap tahun. Bagi para penganut agama yang sejati di tengah masyarakat sesungguhnya tidak ada masalah. Hanya para elite yang berbalut kepentingan politik saja menjadikan perbedaan mengucapkan atau tidak mengucapkan sebagai komoditas untuk memenuhi hasrat pengusung kapitalis-liberalis. Sehingga setiap tahun selalu ada pertikaian tentang diksi toleransi dengan maksud menjauhkan makna asli dari toleransi.
Padahal, menurut KBBI, makna toleransi itu adalah, bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Secara etimologi toleransi berasal dari bahasa latin, tolerare atau menahan diri bersikap sabar, membiarkan orang lain berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang berbeda pendapat.
Himbauan untuk para elite atau para petinggi negara ini, kembalilah kepada makna asli dari kata toleransi ini. Jangan dipolitisir untuk kepentingan yang tidak dibutuhkan oleh rakyat.