| 144 Views

Listrik Belum Merata, Ironi Negeri Penghasil Batubara

Oleh : Ummu Zhafran
Pegiat literasi

Siapa sangka di wilayah yang terbilang dekat dengan Ibukota negeri ini, listrik belum merata. Andai bukan karena janji salah satu Paslon di Pilkada Jabar, tentu tak banyak orang yang mengetahuinya. Kurang lebih terdapat 22000 KK (Kepala Keluarga) di sana ternyata masih menanti hadirnya penerang dalam gulita. (beritasatu.com, 23-11-2024). Mengherankan, tapi ini fakta.

Jika ditelusuri lebih lanjut, terungkap  pula data dari  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sampai triwulan I 2024 masih 112 desa/kelurahan yang belum dialiri listrik. (tirto.id, 10-6-2024).

Maka kembali soal janji di atas, tentu harus ditepati. Persoalannya, bagaimana nasib selain  22000 KK yang kurang beruntung karena tak mendapat janji? Di sinilah titik krusialnya ketika listrik  belum merata di seluruh penjuru negeri. Padahal listrik termasuk merupakan kemaslahatan publik yang urgen.

Tata Kelola Kapitalistik

Badan Geologi Kementerian ESDM merilis, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan sebanyak  26,2 miliar ton. Dengan produksi batu bara sebesar 461 juta ton hampir  setiap tahunnya, maka diprediksi usia cadangan batu bara   di perut Ibu Pertiwi masih sekitar 56 tahun ke depan. Dengan catatan jika  tidak ada temuan sumber tambang yang baru.

Sehingga wajar bila negeri ini menjadi  pengekspor batu bara termal terbanyak di dunia. Tapi agar kebutuhan dalam negeri akan batu bara tetap memadai, maka melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 255.K/30/MEM/2020 menetapkan para eksportir harus menyisihkan 25 persen dari hasil tambangnya untuk konsumsi domestik/domestik market obligation (DMO) alias pasar lokal.  Sayangnya alih-alih patuh, tak sedikit yang  mengabaikan ketentuan tersebut akibat  tergiur keuntungan yang lebih besar jika semua dijual ke luar negeri. Bagaimana tidak, dengan HBA (Harga Batu bara Acuan) terbaru  di Oktober 2024 senilai US$131,17 per ton misalnya, maka setara dengan 1.967.550 rupiah/ton batu bara (Asumsi Rp.15.000/US$)!.

Sungguh menggiurkan. Namun, justru di sinilah pangkal masalahnya. Karena harus diakui adanya perubahan UU Minerba 4/2009, Revisi ke-6 PP 23/2010, maupun Omnibus Law Cipta Kerja memang menggelar karpet merah bagi swasta dan oligarki yang notabene profit-oriented. Bahkan badan usaha milik negara yang menangani listrik seperti PLN pun harus membeli listrik dari swasta. Mengapa bisa? Karena sejak UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan berlaku,  terjadilah vertical unbundling (pemecahan secara fungsi, yaitu pembangkit, transmisi, dan distribusi) yang masing-masing unitnya  dapat diserahkan pengelolaan sepenuhnya oleh swasta.

Amboi, beginilah derita hidup diatur dengan aturan yang bersandar pada ideologi kapitalisme bercorak kapitalistik dan memihak pada oligarki. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.

Sebab sudah merupakan tabiat kapitalisme bahwa negara berlepas diri dari mengurusi urusan rakyat. Terbukti semakin kesini subsidi makin dikebiri. Berganti dengan bantuan tunai berupa BLT dan Bansos yang tak kunjung membuat masalah ekonomi selesai. Di sisi lain tarif pajak pada rakyat direncanakan naik jadi 12 persen, sementara pengampunan pajak (Tax Amnesty) buat oligarki akan diberlakukan kembali.

Taat Syariah Kafah, Konsekuensi Iman

Umat muslim pastinya yakin bahwa menaati perintah Allah dan larangan-Nya merupakan konsekuensi sebuah keimanan. Bukankah di sepanjang hari, pagi hingga malam lisan mengulang ikrar kepada Allah Swt. dan  Rasulullah saw. yang diutus membawa syariat?

Tepat sekali. Terlebih Islam memang dimaksudkan sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan. Bila diterapkan, niscaya mengantar pada keselamatan dunia hingga di akhirat. Firman Allah Swt.,
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An Nahl:89)

Dari Ibnu Mas’ud ra. menjelaskan bahwa sesungguhnya Al-Qur'an itu mencakup semua perkara halal dan haram, dan segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia dalam urusan dunia dan akhiratnya.(Tafsir Ibnu Katsir).
Soal listrik, Islam menetapkannya tergolong api seperti yang disebut Rasulullah saw. dalam sabdanya,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Maka listrik dan semua yang terkait dengannya merupakan milik umum. Negaralah satu-satunya pihak yang berhak mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat seluruhnya. Terlarang untuk menyerahkan kepada swasta, apalagi pribadi.
Dengan sendirinya negara bertanggung jawab mengelola dari hulu hingga hilir dan memastikan kebutuhan listrik setiap individu rakyat terpenuhi, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Tak cukup sampai di situ, harganya pun harus dijamin terjangkau bahkan gratis tersedia bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.

Sampai di sini jelas patut dipertanyakan jika masih ada yang enggan bahkan menolak syariah yang rahmatan lil alamin ini.

Wallahua’lam.


Share this article via

103 Shares

0 Comment