| 376 Views
Label Halal pada "Tuak, Beer dan Wine", Membidik Cuan dari Industri Halal

Oleh : Sukey
Aktivis Muslimah Ngaji
Baru-baru ini masyarakat media sosial tengah diramaikan dengan adanya pemberian sertifikasi halal terhadap yang bermerek "Tuyul", "Tuak", "Beer", dan "Wine". Diketahui hal ini merupakan ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah wewenang Kementerian Agama (Kemenag), bukan MUI. Hal ini tentunya menimbulkan banyak komentar dari masyarakat, mengingat nama dari produk tersebut bertentangan dengan ketentuan syarat suatu produk mendapatkan label halal.
Mengenai kejadian ini, Ketua MUI memberikan pernyataan, "Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," kata Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh, selaku ketua MUI Bidang Fatwa (dilansir dari situs MUI) (kompasiana.com; 8/10/2024).
Persoalan penamaan, sebenarnya sudah ada aturannya dalam SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, serta dalam Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Produk yang tidak dapat disertifikasi adalah nama produk yang mengandung nama minuman keras, mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, mengandung nama setan, yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan serta mengandung kata-kata berkonotasi erotis, vulgar dan/atau porno.
Sebagai contoh, nama-nama produk berikut tidak dapat diproses sertifikasi halalnya: rootbeer, es krim rasa rhum raisin, bir 0% alkohol, rasa babi panggang, beef bacon, hamburger, hotdog, rawon setan, es pocong, mi ayam kuntilanak, coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai, dan sebagainya meskipun makanan tersebut menggunakan ingredient yang halal. Namun, ketentuan tersebut mengecualikan untuk produk yang telah mentradisi (`urf), dikenal secara luas, dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bir pletok, bakso, bakmi, bakwan, bakpia, dan bakpao (halalmui.org, 15-10-2019).
Besarnya potensi industri halal juga didukung oleh demografi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Menariknya, peluang besar itu tidak berasal dari konsumsi muslim saja, tetapi juga nonmuslim karena makin banyak konsumen yang mencari produk berkualitas tinggi, aman, dan halal. Seperti yang selama ini terjadi. Demi meraih target menjadi yang nomor satu dalam industri halal, persyaratan untuk meraih sertifikat halal dipermudah.
Misalnya melalui mekanisme self declare. Akibat mudahnya memperoleh sertifikat halal, ada produk-produk yang lolos mendapatkan sertifikat halal, padahal ternyata tidak halal. Kasus “wine halal” baru-baru ini menjadi contoh nyata. Pengusaha sering kali mengupayakan sertifikasi bagi produknya hanya untuk mendongkrak pembelian oleh masyarakat yang notabene mayoritas muslim.
Kondisi ini memungkinkan pengusaha melakukan semacam “manipulasi” terhadap kehalalan produk, seperti melakukan sertifikasi hanya untuk satu periode dan selanjutnya tidak memperpanjang, yang penting masyarakat sudah menganggapnya halal. Ada juga yang mengganti bahan baku setelah sertifikasi selesai dan sebagainya.
Dalam sistem kapitalisme yang hari ini diterapkan di Indonesia, tujuan industri adalah keuntungan materi. Didukung dengan asas sekularisme, akhirnya segala cara ditempuh oleh pemerintah dan pengusaha untuk meraih tujuan tersebut. Oleh karenanya, kehalalan yang sebenarnya merupakan sebuah nilai yang agung karena berdasarkan wahyu, menjadi terkapitalisasi.
Hidup di tengah sistem kapitalisme membuat kaum muslim sulit membedakan mana yang haram dan halal. Setiap orang bebas menjual apa pun, begitu pula para pembeli. Asas materialisme yang menempel pada pengusaha kapitalis membuat mereka mau melakukan apa saja untuk mendapat laba, termasuk mencampur makanan atau minuman dengan barang haram. Akhirnya, umat Islam perlu ekstra hati-hati memilih makanan dan minuman.
Inilah realitas industri halal di Indonesia yang masih terpaku pada menggencarkan sertifikasi demi mengejar target pasar. Namun, basis ekonomi kita sebenarnya tidak mendukung hal tersebut. Ekonomi kita adalah ekonomi sekuler kapitalisme. Akibatnya, industri halal hanya menjadi salah satu lini di dalam industri. Adapun industri secara keseluruhan tetaplah sekuler.
Namun, yang paling utama untuk mewujudkan industri halal adalah basis sistem ekonomi yang ada. Jika sistem ekonominya kapitalisme, industri halal hanya akan menjadi opsi (pilihan), bukan kewajiban. Akhirnya, pelaksanaannya hanya menjadi sebuah lini di dalam industri, bukan industri itu secara keseluruhan.
Wajar saja industri halal akan tetap kecil dalam kapitalisme karena lingkupnya hanya makanan dan minuman, fesyen, wisata, dan perbankan. Seharusnya, industri halal juga meliputi farmasi, properti, dan bahkan energi, intinya semua. Jika semua lini industri dibangun dengan konsep halal, hasilnya pasti besar dan berkah.
Kondisi ini memungkinkan pengusaha melakukan semacam “manipulasi” terhadap kehalalan produk, seperti mengganti bahan baku setelah sertifikasi selesai, menyembunyikan bahan-bahan yang memiliki titik kritis keharaman, dan sebagainya. Sedangkan dalam Islam, pengusaha wajib disadarkan bahwa ia mempertanggungjawabkan kehalalan produknya bukan hanya pada umat, tetapi kepada Allah Taala, tuhannya umat.
Mekanisme seperti ini hanya bisa diwujudkankan oleh negara yang menerapkan sistem Islam. Negara Islam memiliki berbagai sumber pendapatan terutama dari pemanfaatan sumber daya alam yang tidak boleh diprivatisasi, melainkan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang hanya mengandalkan pajak sehingga tidak mampu menanggung biaya-biaya besar pengurusan urusan umat.