| 236 Views

Krisis Air Butuh Solusi Nyata

Oleh : Ummu Muthia

Air sebagai sumber kehidupan, merupakan kebutuhan pokok yang setiap hari diperlukan bagi setiap orang, mulai dari untuk minum, masak, mencuci dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri setiap tahun pasti terjadi kekeringan terutama  dimusim kemarau. Hal ini terus berulang setiap tahunnya di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagaimana di ungkapkan oleh kepala BMKG Dwikorita Karnawati, menyebutkan ada 13 wilayah yang sudah memasuki awal musim kemarau pada Juni 2024 ini, di antaranya sebagian pulau Sumatra, daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan sebagainya.

Di Jawa tengah, diberitakan kekeringan sudah mulai melanda di sebelas daerah dan di khawatirkan akan makin meluas, meskipun sebagian daerahnya masih mengalami hujan dengan intensitas ringan hingga lebat.
Dampak kekeringan juga sudah mulai terasa. Selain kesulitan air bersih untuk konsumsi dan kebutuhan harian, sejumlah lahan pertanian juga sudah mulai mengering. Ribuan hektar area persawahan di sejumlah daerah di pantura sudah mengalami kekeringan pada musim kemarau ini. Dampak lainnya dari hasil monitoring hotspot melalui satelit juga telah menunjukan munculnya beberapa titik hotspot di daerah yang rawan mengalami kebakaran.

Upaya mitigasi pemerintah untuk kekeringan air antara lain : penyemaian awan, serta menurunkan hujan melalui teknologi modifikasi caca. Selain itu juga pemerintah bekerjasama dengan badan swasta lainnya untuk penanggulangan krisis air bersih terutama untuk wilayah kering kritis. Seperti yang telah dilakukan oleh Dompet Dhuafa.
“Tim telah melakukan dropping sebanyak 67.400 liter air bersih di Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Sebanyak 580 kepala keluarga menjadi pemetik manfaat,” kata Direktur Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, Asep Beny, dalam siaran pers yang diterima Antaranews di Jakarta, Minggu.

Sejumlah strategi jangka menengah juga dirancang Dompet Dhuafa dalam penanganan bencana kekeringan. Strategi tersebut berupa pembuatan tandon atau bak penampungan air berbasis fasilitas publik seperti masjid di wilayah yang mengalami kekeringan. Pembuatan tandon air memudahkan saat penyaluran air dilakukan. Selain untuk kebutuhan memasak, tandon air juga bisa dimanfaatkan sebagai cadangan air. Tandon air ini dibuat permanen.
Hingga saat ini program Air untuk Kehidupan berjalan di 34 titik seluruh Indonesia. Dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 40.885 jiwa.

Bukan Solusi :
Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si., Sabtu (8-6-2024), menilai upaya mitigasi tersebut bukan solusi. Menurutnya, hal ini tampak dari berulangnya dan makin meluasnya dampak yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrem. Climate change atau perubahan iklim dunia hari ini dominannya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan alam dan lingkungan sehingga terjadi kerusakan yang makin parah dan masif. Sedangkan penyebab utamanya tidak lain adalah tingginya laju deforestasi di seluruh dunia dan masifnya aktivitas industrialisasi yang dilakukan korporasi.
Hal tersebut makin mendapatkan ruang yang subur akibat penerapan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik, khususnya dengan diterapkannya sistem ekonomi dan sistem politik demokrasi. Tuntutan untuk terus meningkatkan produksi dan konsumsi, telah mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya alam secara besar besaran. Demi menekan biaya produksi dan memenangkan persaingan, berbagai korporasi biasanya tidak segan mengorbankan kerusakan lingkungan. Ditambah lagi, secara politik, rezim di dalam sistem pemerintahan yang demokratis justru mendukung kerusakan tersebut, bahkan mereka menjadi fasilitator bagi kerusakan ini dengan melahirkan berbagai regulasi yang makin mempermudah eksploitasi para korporasi.

Solusi Nyata :
Sebenarnya upaya penanggulangan krisis air dan kekeringan ini akan terjadi jika diupayakan secara mendasar dan berkesinambungan, serta upaya yang sungguh-sungguh dan massif oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Hal ini sudah pernah dilakukan pada masa kejayaan islam, dimana saat itu telah diupayakan sedemikian rupa, meskipun saat itu teknologi belum berkembang seperti sekarang ini.

Islam memiliki perhatian khusus mengenai air. Sebagai salah satu alat untuk bersuci ketika hendak beribadah, Islam menjadikan air sebagai salah satu pembahasan penting dalam literatur ilmu Islam. Demikian juga untuk mewujudkan lingkungan sehat dan bermanfaat yang merupakan tanggung jawab bersama. Ini membutuhkan kolaborasi antara individu, masyarakat dan negara. Artinya, untuk memperoleh segala manfaat dari alam, butuh partisipasi dari berbagai elemen yang ada.

Sungguh, Islam telah menggariskan sejumlah hal mendasar yang mengarahkan individu untuk menjaga lingkungan. Banyak hal yang manusia butuhkan dari lingkungan, salah satunya air. Tanggung jawab dan kepedulian individu terhadap lingkungan di antaranya tercermin dari sabda Rasulullah SAW,

“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang diam yaitu air yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.” (HR Bukhari).

Di sisi lain, masyarakat berperan dalam melaksanakan fungsi kontrol ketika ada individu yang merusak lingkungan. Ini sebagaimana firman Allah Swt,

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya.” (QS Al-A’raf [7]: 56).

Hal terpenting tidak lain adalah peran negara. Negara berkewajiban memastikan ketersediaan air dan memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya. Negara juga wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, individu per individu. Rasulullah SAW bersabda,

“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Ini semua menuntut negara untuk menerapkan sejumlah kebijakan sebagai berikut :

*Pertama*, larangan monopoli air oleh sejumlah individu. Rasulullah SAW bersabda,

“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).

Hal ini mengindikasikan larangan korporasi yang melakukan eksploitasi dan eksplorasi air untuk mengeruk keuntungan besar dari bisnis air untuk masyarakat. Adapun pedagang air eceran dalam jumlah kecil merupakan pengecualian.

Ini berbeda dengan sejumlah perusahaan besar yang sengaja menguasai lahan dan menghalangi masyarakat dengan memagari satu tempat yang nyata-nyata merupakan sumber air yang masyarakat butuhkan. Rasulullah saw. bersabda,

“Tidak ada siapapun yang berhak memproteksi (barang atau lahan), kecuali hak Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad).

Jika terjadi praktik proteksi seperti ini, negara wajib bertindak. Sebagaimana tindakan Rasulullah SAW dalam kasus Abyad bin Hammal, yang pernah meminta kepada Nabi SAW untuk diberi tanah (yang ia gunakan untuk tambak) garam, yang ada di Ma’rib. Beliau hendak memberikan tanah itu, kemudian ada seorang lelaki yang berkata bahwa itu seperti air yang tidak terputus sumbernya. Walhasil, Rasulullah SAW menarik kembali tanah yang telah di beli.

Dari kisah tersebut tampak bahwa Nabi SAW semula hendak memberikan sebidang tanah yang berupa tambak garam. Namun, setelah mengetahui di dalamnya ada sumber yang berlimpah, beliau batal melepas tanah tersebut. Kehendak Nabi SAW untuk memberikan tanah tersebut menjadi dalil, bahwa hukum asalnya boleh. Lalu menjadi tidak boleh karena ada ‘illat yang melarangnya, yaitu “al-‘idd” (sifat keberlimpahan).

*Kedua* , negara wajib memastikan ketersediaan air di tengah masyarakat. Untuk mewujudkannya, negara wajib melakukan inovasi dan teknologi dengan memanfaatkan riset para ahli. Negara juga akan meminta pendapat mereka untuk melakukan mitigasi jika sewaktu-waktu terjadi kelangkaan air. Di masa kejayaan Islam, upaya untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat terlihat dari bangunan irigasi dan kanal-kanal air.

Jejak Sejarah Islam
Keberhasilan pemimpin Islam dalam memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya air dapat kita saksikan dalam sejumlah peninggalan peradaban Islam. Di Iran, misalnya, masih terdapat sistem saluran air bernama Qanat yang merupakan terowongan atau saluran bawah tanah yang membawa air segar dari sumbernya yaitu di wilayah pegunungan menuju kawasan lebih rendah untuk tujuan irigasi.

Di masa kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi, didirikan sebuah kanal untuk mengalirkan air ke tempat yang lebih tinggi melalui serangkaian kincir air dari salah satu sumur. Air mengalir melalui kanal, untuk masyarakat konsumsi juga untuk irigasi ladang di sekitarnya.

Demikian juga peninggalan kejayaan Islam di Istana Al-Hambra, di Granada, Spanyol. Sistem hidraulik atau perairan yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun itu membuat para insinyur modern terkesan. Bukan hanya arsitekturnya yang menawan melainkan juga kemajuan teknologi perairan pada masanya.

Selain membangun kanal-kanal yang dapat diakses masyarakat dengan mudah, pemimpin Islam juga membangun tangki air untuk menampung air hujan.

Semua upaya ini jelas berlandaskan pada paradigma pelayanan penguasa kepada rakyatnya. Para pemimpin Islam memahami bahwa amanah yang mereka emban membutuhkan kerja serius dan bertanggung jawab. Inilah yang seharusnya menjadi role model sistem pemerintahan dan para pemimpin hari ini. Tentu kita tidak sekadar menapaki sejarah peradaban Islam, tetapi juga berjuang untuk mengembalikannya agar tidak ada lagi pemimpin yang abai dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Wallahualam


Share this article via

76 Shares

0 Comment