| 62 Views

Krisis Air Akibat Sistem Kapitalisme Sekuler

Oleh : Tuti Rostika

Air merupakan kebutuhan mendasar manusia. Manfaatnya tidak hanya penting bagi kesehatan, tetapi juga menyokong kebutuhan hidup manusia. Sayang, krisis air mengancam kehidupan manusia belakangan ini. Indonesia sendiri diperkirakan akan mengalami krisis air bersih pada 2040.

Kondisi krisis terjadi ketika air bersih sangat sulit dijangkau dan biaya untuk membeli air bersih menjadi mahal. Belum lagi kualitas air bersih masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah cenderung mengonsumsi air apa adanya tanpa memerhatikan aspek kesehatan.

Dunia hari ini pun mengalami krisis air. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa ada 2,2 miliar orang masih kekurangan air minum. Sementara itu, ada 4,2 miliar orang yang tidak memiliki layanan sanitasi yang aman dan ada 3 miliar orang yang tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar.

Penyebab krisis air adalah kerusakan lingkungan ,hutan, sungai, sampah dan pencemaran lainya. Pada dasarnya, terdapat sejumlah mitigasi yang dapat pemerintah tempuh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Diantaranya dengan Gerakan Memanen Air Hujan Indonesia dan Gerakan Restorasi Sungai Indonesia.

Hanya saja, ikhtiar-ikhtiar akademis seperti ini belum mendapat respons berarti. Untuk menjalankan usulan-usulan itu pemerintah kerap berdalih bahwa eksekusinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kebijakan minimalis seperti menyuarakan pesan penghematan air dan menggalakkan gerakan sosial lainnya, justru menjadi pilihan .Hal ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi kondisi masyarakat hari ini membutuhkan langkah strategis mengingat ancaman krisis air sudah di depan mata.

Pada saat yang sama, maraknya bisnis air kemasan menunjukkan bahwa ketika negara abai, para pebisnislah yang akhirnya menyediakannya. Tentu saja, untuk memperoleh air berkualitas masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya. Wajar jika akhirnya pengeluaran rumah tangga bertambah.

Air merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang sangat vital. Setiap aktivitas manusia membutuhkan air. Sejatinya air tersedia melimpah di alam secara gratis. Akan tetapi, di alam kapitalisme, air menjadi komoditas yang diperdagangkan. Jika punya uang, rakyat bisa mengakses air bersih. Jika tidak punya uang, rakyat terpaksa harus menggunakan air tanah yang telah banyak tercemar limbah.

Jika kita melihat realitas problem krisis air di Indonesia,  tampak bahwa paradigma yang ada pada adalah paradigma pedagang alias paradigma kapitalisme. Sudahlah gagal mencukupi kebutuhan air bagi rakyatnya, negara justru menjadikan kegagalan itu sebagai lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan.

Seolah berlepas tangan dari kewajiban menyediakan air layak bagi rakyat. Mengundang investor menjadi “jalan ninja” pemerintah untuk menyelesaikan krisis air layak. Inilah praktik swastanisasi atau privatisasi air. Air yang seharusnya barang publik diposisikan sebagai barang ekonomi.

Privatisasi air juga merugikan masyarakat. Tarif air dipatok mahal dan tampak jelas bahwa privatisasi air merupakan kebijakan yang buruk karena merugikan negara dan rakyat.

Kebijakan Politik Air Dalam Islam.

Islam memiliki perhatian khusus mengenai air. Sebagai salah satu alat untuk bersuci ketika hendak beribadah, Islam menjadikan air sebagai salah satu pembahasan penting dalam literatur ilmu Islam. Untuk mewujudkan lingkungan sehat dan bermanfaat yang merupakan tanggung jawab bersama. Ini membutuhkan kolaborasi antara individu, masyarakat dan negara. Artinya, untuk memperoleh segala manfaat dari alam, butuh partisipasi dari berbagai elemen yang ada.

Islam telah menggariskan sejumlah hal mendasar yang mengarahkan individu untuk menjaga lingkungan. Tanggung jawab dan kepedulian individu terhadap lingkungan di antaranya tecermin dari sabda Rasulullah saw.,

“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang diam yaitu air yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.” (HR Bukhari).

Masyarakat berperan dalam melaksanakan fungsi kontrol ketika ada individu yang merusak lingkungan. Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam ayat,

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya.” (QS Al-A’raf [7]: 56).

Negara berkewajiban memastikan ketersediaan air dan memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya. Negara juga wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, individu per individu. Rasulullah saw. bersabda,

“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Ini semua menuntut negara untuk menerapkan sejumlah kebijakan sebagai berikut.

Pertama, larangan monopoli air oleh sejumlah individu. Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).

Hal ini mengindikasikan larangan korporasi yang melakukan eksploitasi dan eksplorasi air untuk mengeruk keuntungan besar dari bisnis air untuk masyarakat.

Rasulullah saw. bersabda,

“Tidak ada siapapun yang berhak memproteksi (barang atau lahan), kecuali hak Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad).

Jika terjadi praktik proteksi seperti ini, negara wajib bertindak. Sebagaimana tindakan Rasulullah saw. dalam kasus Abyad bin Hammal. Abyad bin Hammal, pernah meminta kepada Nabi saw. untuk diberi tanah (yang ia gunakan untuk tambak) garam, yang ada di Ma’rib. Beliau hendak memberikan tanah itu, kemudian ada seorang lelaki yang berkata bahwa itu seperti air yang tidak terputus sumbernya. Walhasil, Rasulullah saw. menarik kembali tanah yang telah beliau berikan itu.

Kehendak Nabi saw. untuk memberikan tanah tersebut menjadi dalil, bahwa hukum asalnya boleh. Lalu menjadi tidak boleh karena ada ‘illat yang melarangnya, yaitu “al-‘idd” (sifat keberlimpahan).

Kedua, negara wajib memastikan ketersediaan air di tengah masyarakat. Untuk mewujudkannya, negara wajib melakukan inovasi dan teknologi dengan memanfaatkan riset para ahli. Akan minta pendapat mereka untuk melakukan mitigasi jika sewaktu-waktu terjadi kelangkaan air.
Keberhasilan pemimpin Islam dalam memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya air dapat kita saksikan dalam sejumlah peninggalan peradaban Islam. Di Iran, misalnya, masih terdapat sistem saluran air bernama qanat yang merupakan terowongan atau saluran bawah tanah yang membawa air segar dari sumbernya yaitu di wilayah pegunungan menuju kawasan lebih rendah untuk tujuan irigasi.

Di masa kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi, didirikan sebuah kanal untuk mengalirkan air ke tempat yang lebih tinggi melalui serangkaian kincir air dari salah satu sumur.

Peninggalan kejayaan Islam di Istana Al-Hambra, di Granada, Spanyol. Sistem hidraulik atau perairan yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun itu membuat para insinyur modern terkesan. Bukan hanya arsitekturnya yang menawan melainkan juga kemajuan teknologi perairan pada masanya.

Para pemimpin Islam memahami bahwa amanah yang mereka emban membutuhkan kerja serius dan bertanggung jawabi. Tentu kita tidak sekadar menapaki sejarah peradaban Islam, tetapi juga berjuang untuk mengembalikannya agar tidak ada lagi pemimpin yang abai dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Wallahualam bissawab.


Share this article via

37 Shares

0 Comment