| 13 Views
Kisruh Penyelenggaraan Haji: Kesalahan Paradigmatik dalam Pengurusan Ibadah

Oleh : Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari
Kisruh penyelenggaraan haji tahun ini menjadi bukti nyata bahwa pengurusan ibadah belum sepenuhnya menjadi perhatian utama negara. Puncak kekacauan terjadi di fase Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina) saat jamaah harus menjalani prosesi paling krusial dalam rangkaian haji. Banyak persoalan muncul, mulai dari kurangnya fasilitas, pengaturan tenda yang semrawut, hingga layanan transportasi dan konsumsi yang tidak tertata.
Banyak pihak menuding kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi sebagai biang kerok kekacauan ini. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, masalah ini tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan teknis ataupun tanggung jawab pihak luar. Justru, akar permasalahan sesungguhnya terletak pada paradigma pengurusan haji di Indonesia. Masalah ini bersifat sistemik, bahkan paradigmatis.
Salah satu sumber utama persoalan adalah kapitalisasi ibadah haji. Ketika haji diposisikan sebagai lahan bisnis, maka aspek pelayanan berubah menjadi komoditas. Jamaah bukan lagi tamu Allah yang harus dilayani secara optimal, melainkan pelanggan yang dihitung dari sisi keuntungan. Akibatnya, tanggung jawab negara sebagai pengurus urusan umat menjadi lepas.
Dalam Islam, haji adalah rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Kewajiban ini menuntut kemudahan, bukan kerumitan. Negara, sebagai raain (pengurus), seharusnya menjadi pihak utama yang menjamin kelancaran pelaksanaan ibadah haji—mulai dari proses pendaftaran, bimbingan manasik, hingga layanan saat pelaksanaan seperti penginapan, tenda di Armuzna, transportasi, dan konsumsi.
Islam menetapkan bahwa penguasa adalah pelayan umat. Dalam konteks haji, negara berkewajiban menyediakan birokrasi terbaik, mekanisme pelayanan yang efisien, serta fasilitas premium bagi para jamaah. Bahkan, jika pengurusan teknis dilakukan oleh otoritas Haramain (Arab Saudi), tetap harus ada koordinasi dan pengawasan dari otoritas Islam yang menaungi seluruh kaum muslimin, yakni Khilafah.
Khilafah adalah institusi pemerintahan Islam yang mempersatukan seluruh negeri kaum muslimin di bawah satu kepemimpinan. Dalam sistem ini, pengurusan haji dilakukan secara terpusat dan terintegrasi, berdasarkan hukum syariah, dengan orientasi pelayanan bukan keuntungan.
Layanan paripurna ini tentu hanya bisa diwujudkan dengan dukungan sistem keuangan yang kuat. Dalam sistem Islam, Baitulmal (kas negara) mendapatkan pemasukan dari berbagai sumber sah seperti zakat, fai’, kharaj, jizyah, dan kepemilikan umum yang dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang benar, negara mampu menyediakan pembiayaan cukup untuk pelayanan haji yang optimal—tanpa membebani rakyat dengan biaya tinggi.
Permasalahan dalam penyelenggaraan haji tidak dapat diselesaikan dengan tambal sulam kebijakan teknis. Diperlukan perubahan paradigma dalam memandang ibadah sebagai bagian dari tanggung jawab negara terhadap rakyat. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, termasuk dalam pengurusan ibadah haji, umat akan mendapatkan pelayanan terbaik sebagai tamu-tamu Allah yang dimuliakan.