| 11 Views

Ketimpangan Akses Pendidikan Terjadi, Islam Solusi Hakiki

Oleh: Siti Rodiah

Pendidikan merupakan salah satu pilar yang menentukan kemajuan peradaban suatu bangsa. Namun di Indonesia ketimpangan dalam akses pendidikan masih cukup tinggi. Kondisi ini banyak terjadi di wilayah pedesaan, rumah tangga dengan kondisi ekonomi rendah, dan kelompok penyandang disabilitas menjadi yang paling rentan tertinggal dalam hal pendidikan. Hal ini berdampak langsung pada angka partisipasi sekolah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP). Temuan ini menjadi cerminan bahwa Pendidikan Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama, dan banyak penduduk belum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2023 (9,13 tahun), capaian ini baru sedikit melampaui target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun. "Rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun telah menempuh pendidikan selama 9,22 tahun atau lulus kelas 9 SMP atau sederajat," ujar Amalia, dikutip dari YouTube TVR Parlemen, Jumat (2/5/2025). (Beritasatu.com, 2/5/2025)

Amalia kembali mengungkapkan bahwa rata-rata ini mengalami disparitas atau perbedaan yang cukup tinggi jika dilihat dari rata-rata tertinggi serta terendahnya. "Untuk DKI Jakarta yang paling tinggi, rata-rata lama sekolahnya adalah 11,5 tahun, artinya ini SMA belum lulus,” kata dia. Sementara, rata-rata yang paling rendah ada di Provinsi Papua Pegunungan yang hanya mencapai 5,1 tahun atau jenjang SD saja tidak lulus. Ketimpangan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, terlebih jika dibandingkan dengan data harapan lama sekolah yang diungkap oleh anak-anak berumur 7 tahun. (Kompas.com, 4/3/2025)

Terjadi nya ketimpangan akses pendidikan di Indonesia sejatinya adalah akibat sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini. Sehingga menyebabkan rata-rata lama sekolah yang bisa ditempuh anak-anak kita hanya sebatas tingkat SMP. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan hanya dijadikan barang komoditas, sehingga akses nya bergantung pada kemampuan ekonomi. Ditambah dengan angka kemiskinan yang tinggi maka semakin sulit lah rakyat dalam mengakses sarana pendidikan bahkan pendidikan dasar sekalipun.

Negara memang sudah berupaya dengan memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi terkait masalah pendidikan tersebut, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar), PIP (Program Indonesia Pintar), sekolah gratis dan lain sebagainya. Namun realitanya belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan. Apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas. Tidak mengherankan jika muncul kecemburuan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat akibat program bantuan pendidikan yang tidak merata.

Belum lagi keberadaan layanan pendidikan yang belum tersedia secara merata di semua wilayah, khususnya daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Daerah 3T sendiri merupakan wilayah Indonesia yang memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya yang kurang berkembang dibandingkan daerah lain secara nasional. Daerah 3T juga merupakan gerbang batas Indonesia dengan negara tetangga.

Swastanisasi yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan menyebabkan semakin bertambah mahalnya biaya pendidikan sehingga menciptakan jurang ketimpangan akses yang nyata terlihat didepan mata. Kurikulum pasar pun terus dipaksakan di dunia pendidikan guna mencetak generasi dengan tenaga kerja murah. Pendidikan tidak lagi dijadikan hak dasar rakyat yang harus dipenuhi demi kemajuan sebuah bangsa. Ditambah lagi dengan adanya efisiensi anggaran pendidikan bisa dipastikan akan memperburuk kondisi yang ada.

Dalam sistem Khilafah, pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa serta berketerampilan tinggi. Adapun pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam (Khilafah) untuk seluruh tingkatan (tidak hanya SD dan SMP) sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara dalam semua jenjang.

Islam memandang ilmu bagaikan jiwa dalam manusia. Ilmu ibarat air bagi kehidupan. Pendidikan merupakan perkara sangat vital, memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh karenanya, negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan segenap kemampuan. Berapa pun biayanya akan diupayakan pemenuhannya oleh negara.

Khilafah mempunyai dua sumber pendapatan yang mumpuni dari Baitul mal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos fai dan kharaj, yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah dan lain sebagainya. Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta dengan memanfaatkan sumber pendapatan yang ada tersebut.

Dengan demikian, solusi hakiki atas ketimpangan akses belajar yang terjadi di dunia pendidikan sejatinya adalah kembali kepada penerapan syari'at Islam secara kaffah dalam bingkai sistem Islam (Khilafah). Tidak lagi berharap pada sistem sekuler kapitalisme yang tidak akan mampu memberi kebaikan bagi umat dan generasi.

Rasulullah saw. bersabda,

فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).

Wallahu a'lam bisshawab


Share this article via

5 Shares

0 Comment