| 392 Views
Ketika Anak Menjadi Pelaku Kriminal

Oleh : Sri Setyowati
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam
Seorang bocah berinisial MA (6 tahun) yang sempat dikabarkan hilang sejak Sabtu, 16 Maret 2024, ternyata ditemukan sudah menjadi mayat yang terbaring di jurang perkebunan dekat rumah neneknya di Kampung Cijarian Kaler RT 26 RW 08 Desa Cipetir Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi pada hari Minggu, 17 Maret 2024 sekitar pukul 05.30 WIB. Setelah dilakukan serangkaian penyelidikan terhadap korban, Polres Sukabumi Kota mengungkapkan bahwa pelaku utama pembunuhan dan sodomi tersebut dilakukan oleh seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berusia 14 tahun.
Polisi kemudian menetapkan pelaku sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Kemudian pasal yang disangkakan kepada pelaku yaitu pasal 82 ayat 1 dan atau pasal 82 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2016 tentang Perppu Republik Indonesia nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan penjara minimal 6 tahun maksimal adalah 15 tahun dan juga kita jerat dengan pasal 338 KUHPidana tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun kemudian pasal 351 ayat 3 KUHPidana tentang penganiayaan mengakibatkan meninggal dunia dengan pidana penjara 7 tahun. (sukabumiku.id, 02/05/2024)
Sementara itu, Airul Harahap (13 tahun)), santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi dibunuh oleh AR (15 tahun) dan RD (14 tahun) yang merupakan senior korban di Ponpes tersebut. Selanjutnya terdakwa AR divonis dengan hukuman 7 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan RD divonis lebih ringan dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara. (metrojambi.com, 02/05/2024)
Anak-anak menjadi pelaku kejahatan dari berbagai wilayah Indonesia sudah sering terjadi berulang. Hal ini menunjukkan fenomena rusaknya anak-anak Indonesia dan mengindikasikan bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ini juga merupakan fenomena gunung es karena tidak semua kasus yang terjadi dilaporkan. Hal ini menunjukkan adanya problem serius pada keluarga, lingkungan dan negara
Keluarga adalah lingkungan terdekat dan sekolah pertama bagi di anak-anak. Karena dari keluarga akan menentukan sifat dan karakter anak pada masa yang akan datang. Namun saat ini peran tersebut tidak bisa berjalan optimal. Anak-anak tidak mendapat pendidikan yang benar di dalam rumah. Disamping itu, lingkungan saat ini, baik sekolah maupun masyarakat, banyak memberikan contoh yang tidak baik bagi anak-anak. Demikian juga dengan media yang banyak menayangkan konten berisi kejahatan dan berbagai kemaksiatan, yang dengan mudah diakses anak-anak melalui gadgetnya. Ini jelas memberikan dampak kurang baik pada anak.
Juga karena kesibukan orang tua, dimana ibu sibuk mencari nafkah karena faktor kemiskinan atau faktor kesetaraan gender bagi ibu, maka hilanglah fungsi ibu sebagai pendidik utama anak, sehingga pendidikan pada anak menjadi terabaikan. Selain itu kurang harmonisnya keluarga yang mengakibatkan tingginya perceraian. Hal ini juga dapat mengakibatkan anak terjerumus kedalam hal-hal yang negatif. Selain itu sistem sanksi yang diterapkan tidak dapat memberikan efek jera karena jika pelaku kejahatan berusia kurang dari dari 18 tahun, mereka diadili dalam peradilan anak yang tidak membuat jera. Akibatnya, anak-anak pelaku kejahatan semakin marak.
Pembuatan kebijakan negara yang berasaskan sistem kapitalisme sekularisme saat ini mengakibatkan rakyat hidup miskin. Kurikulum pendidikan berorientasi materi dan pendidikan agama hanya menjadi formalitas sehingga membuat anak jauh dari kepribadian yang luhur. Ditambah lagi, sistem informasi liberal yang memuat berbagai tayangan kekerasan, pornografi, dan hiburan mudah diakses oleh anak-anak di bawah umur. Demikian juga sistem sanksinya yang lemah membuat kemaksiatan merajalela dan perilaku buruk menjadi tuntunan untuk anak-anak yang belum utuh cara berpikirnya. Apalagi negara juga membiarkan masuknya gaya hidup barat seperti hedonisme, permisifisme, liberalisasi pergaulan, dan lainnya telah meracuni pikiran masyarakat.
Belum lagi berbagai pemikiran yang jauh dari agama namun seolah-olah benar senantiasa diaruskan secara global seperti HAM, kesetaraan gender, dan moderasi beragama yang diadopsi negara telah nyata merusak tatanan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Fitrah anak yang bersih dan polos telah rusak. Anak mencontoh segala yang dilihat dan didengar sehingga anak menjadi dewasa sebelum waktunya. Anak menjadi sulit untuk bisa memahami standar baik dan buruk, terpuji dan tercela.
Fenomena rusak ini tidak akan terjadi ketika kehidupan diatur dengan sistem Islam. Asas kehidupan yang berlandaskan pada akidah Islam akan mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam, yaitu berpola pikir dan berpola sikap Islam. Sehingga mendorong anak untuk senantiasa dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dengan demikian perilaku keji seperti yang terjadi di Sukabumi maupun di Jambi tidak terjadi.
Ketakwaan akan tercermin pada keluarga, sekolah, masyarakat, juga negara. Pendidikan anak menjadi hal penting dan harus diperhatikan karena anak adalah generasi masa depan yang akan membangun dan menjaga peradaban mulia. Kebijakan negara dalam sistem Islam akan selalu menjaga fitrah anak sehingga tumbuh kembangnya optimal dan memiliki kepribadian Islam yang mulia.
Negara akan mewujudkan kesejahteraan rakyat sehingga ibu bisa optimal menjalankan perannya sebagai madrasah utama dan pertama. Negara juga tidak akan menghalangi peran perempuan di masyarakat selama tidak melanggar hukum syara'. Sekolah dan masyarakat akan menjadi lingkungan yang kondusif membangun kepribadian mulia. Negara akan mewujudkan sistem informasi yang aman dan menjamin kebersihan pemikiran generasi dan masyarakat. Selain itu, negara juga akan membentengi masyarakat dari masuknya pemikiran yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Sistem sanksi Islam yang tegas akan menimbulkan efek zawajir (sebagai pencegah) dan efek jawabir (sebagai penebus dosa pelaku) akan diterapkan negara untuk mencegah terjadinya kemaksiatan dan kejahatan. Pelaku kejahatan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar. Islam tidak mengenal pembatasan usia seperti usia dibawah 18 tahun dikategorikan anak-anak dan usia diatas 18 tahun dikategorikan dewasa. Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh. Jika anak-anak belum baligh, maka mereka dihukumi anak-anak. Sedangkan jika anak-anak sudah baligh, maka mereka dihukumi mukalaf. Karena itu sekalipun usia mereka masih 15 tahun, ketika mereka sudah baligh, maka uqubat Islam berlaku bagi mereka. Penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan mendapat sanksi qishash. Pelaku sodomi akan mendapatkan had liwath yaitu dijatuhkan dari tebing atau tempat yang tinggi di daerah tersebut.
Peradaban Islam telah terbukti melahirkan banyak generasi berkualitas yang banyak berkarya untuk kepentingan Islam seperti Shalahuddin al-Ayyubi pembebas Masjidilaqsa, Sultan Muhammad al-Fatih penakluk Konstantinopel pada usia 22 tahun, Imam Syafi'i yang mendapat julukan Nashih al-Hadits (pembela Sunah Nabi) dan masih banyak lagi generasi mulia yang dilahirkan dari penerapan sistem Islam. Tentu kita semua merindukan kembalinya generasi mulia dari peradaban yang mulia juga.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.