| 524 Views

Kerusakan Moral Generasi, Buah Buruk dari Sistem Pendidikan Sekuler

Oleh : Dwi Putri Ayu R.A.L.
Praktisi Pendidikan

Maraknya kasus kekerasan di dunia pendidikan sungguh memprihatinkan. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia-manusia beradab, sungguh berubah menjadi niradab. Sederet kasus penganiayaan yang berujung maut mewarnai dunia pendidikan. Kasus perundungan (bullying) contohnya. Pelakunya pun makin muda dan tindakannya makin brutal.

Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), terdapat 30 kasus bullying alias perundungan di sekolah sepanjang 2023. Angka tersebut terus meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 21 kasus. Sebanyak 80 persen kasus perundungan pada 2023 terjadi di sekolah yang dinaungi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan 20 persen di sekolah yang dinaungi Kementerian Agama.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menemukan belasan ribu kasus bullying atau perundungan di sekolah-sekolah di Indonesia sepanjang tahun 2023. “Kami telah mengunjungi ribuan sekolah. Awal tahun 2024 ini kasus perundungan kembali terjadi di sekolah, diantaranya perundungan yang terjadi di Binus School Serpong, Tangerang, menjadi perbincangan publik setelah video perundungan siswanya beredar viral di media sosial. Kasus perundungan tersebut sudah masuk ke tahap penyidikan. Polisi telah memeriksa delapan saksi yang terlibat dalam perundungan. Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan AKP Alvino Cahyadi menjelaskan, penyelidikan dimulai saat pihak korban membuat laporan atas dugaan kekerasan yang diduga dilakukan belasan siswa senior di Binus School Serpong. Dari pengakuan korban, kejadian perundungan itu terjadi dua kali, yakni pada 2 Februari dan 13 Februari 2024. Korban mendapat perlakuan kekerasan dari para seniornya yang tergabung dalam sebuah geng di sekolah.

Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada Bintang Balqis Maulana. Remaja 14 tahun yang tengah menuntut ilmu di Ponpes Tartilul Quran (PPTQ) Al-Hanifiyyah, Mojo, Kediri ini tewas dengan kondisi mengenaskan pada Jumat (23-2-2024). Atas kejadian ini, Kepolisian menetapkan empat orang tersangka yang merupakan senior korban di pesantren. Pada saat pemeriksaan, para pelaku mengaku melakukan penganiayaan karena Bintang susah diatur, susah disuruh salat jemaah dan mengaji. Korban semoat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawa korban tidak tertolong (Detik, 28-2-2024). 

Sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan, pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan Permendikbud 46/2023. Hanya saja, implementasi aturan ini baru di beberapa sekolah saja. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyatakan, masih banyak sekolah yang tidak memahami, bahkan tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai aturan baru tersebut. Permendikbud tersebut memuat bahwa setiap sekolah wajib memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga wajib membuat dan membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan. Sekolah juga diharuskan memiliki fasilitas sarana prasarana yang menunjang bagi terciptanya keamanan, ketertiban, dan kesehatan. Terkhusus untuk mencegah kekerasan, sekolah diminta untuk memasang CCTV di sejumlah titik rawan yang jarang terawasi oleh tenaga pendidik atau orang dewasa di satuan pendidikan. 

Namun demikian, berbagai program antiperundungan maupun aturan resmi dari pemerintah sebagaimana Permendikbud 46/2023, nyatanya belum efektif mengurangi, alih-alih mengatasi kasus perundungan di satuan pendidikan secara tuntas. Masifnya tindak perundungan sekaligus menegaskan bahwa solusi yang sudah ada tidaklah mampu menyentuh akar persoalannya. Realitasnya, perundungan bahkan tidak cukup disolusi dengan aturan pemerintah sekalipun, kendati lemahnya implementasi masih menjadi alasannya. Ini karena tindak perundungan bukan sekadar berupa lontaran verbal maupun perundungan fisik yang ringan, melainkan sudah mencapai tingkat sadistis (tindak kejahatan/kriminal) yang tidak jarang bisa menghilangkan nyawa korban.

Perundungan (Bullying) hanya satu dari sekian banyak kenakalan remaja yang kian hari kian meresahkan. Selanjutnya, geng motor, begal, dan berbagai jenis kekerasan yang dilakukan remaja yang berujung pada nyawa melayang, menjadi tontonan sehari-hari bangsa ini. Belum lagi narkoba, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), terdapat 49 jaringan narkotika internasional dan nasional yang telah menyebar di desa dan kota di Indonesia. Prevalensi pengguna narkoba meningkat mencapai 4,8 juta dan kebanyakan dari mereka adalah remaja. Begitu pun dengan pergaulan bebas anak remaja yang kian hari kian dianggap biasa. Sedangkan pergaulan bebas menjadikan pelakunya bermasa depan suram dan menjadi pintu terbukanya problematik lainnya, seperti tingginya aborsi, angka kematian ibu, stunting, remaja putus sekolah, dll. 

Kegagalan Sistem Pendidikan Sekular

Setidaknya ada tiga poin yang menjadi titik kritis sistem pendidikan saat ini. Pertama, fokus pendidikan saat ini hanya kepada inteligensi. Alhasil, kurikulum dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi capaian akademik. Adapun pembentukan kepribadian menjadi sekadar pelengkap. Apalagi pendidikan agama, kian dijauhkan akibat tertancapnya islamofobia.

Kedua, komersialisasi pendidikan menjadikan hak pendidikan tidak bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Kendati sudah ada program gratis SPP dari beberapa jenjang pendidikan, tidak bisa dimungkiri biaya pendidikan lainnya masih menjadi beban besar bagi banyak keluarga. Alhasil, banyak anak putus sekolah hanya gara-gara tidak biaya. Belum lagi jika bicara sebaran fasilitas pendidikan dan tenaga pendidik yang tidak merata. Di kota-kota besar, fasilitasnya cenderung komplit dan gurunya berkualitas. Sebaliknya di desa, apalagi di pelosok negeri, fasilitasnya yang buruk dan minimnya insentif bagi pengajar menjadikan kualitas pendidikan benar-benar seadanya. Akhirnya, yang bisa menikmati pendidikan berkualitas sangat terbatas, sisanya hanya yang penting datang ke sekolah dan mendapat ijazah. 

Ketiga, pendidikan vokasi, program pendidikan link and match dengan industri benar-benar harus dievaluasi sebab sistem ini menjadikan pendidikan mengikuti keinginan korporasi. Jadilah kompetisi lulusannya hanya seputar buruh, baik buruh kerah putih ataupun kerah biru. Mental menjadi pekerja telah ditanamkan sehingga daya kreatif dan inovatif tidak terbangun dalam diri mereka.

Jika melihat kompleksitas dari persoalan kenakalan remaja, sejatinya kita akan menemukan bahwa bukan hanya sistem pendidikan yang harus dievaluasi, tetapi juga sistem kehidupan yang sekuler. Sistem ini telah terbukti menjadi pangkal dari banyak persoalan, termasuk kenakalan remaja. Setidaknya ada tiga poin yang bisa dibahas. 

Pertama, sistem kehidupan sekuler menjauhkan agama dari negara. Tata kelola negara bukan berdasarkan pada syariat, melainkan pada maslahat standar manusia. Akal manusia yang lemah tentu akan menimbulkan pertentangan dan perselisihan dalam merumuskan satu aturan. Jadilah banyak kebijakan ditetapkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Kedua, kehidupan yang jauh dari agama akan melahirkan kebebasan bertingkah laku. Inilah liberalisme, kebebasan bertingkah laku diperjuangkan dan dijunjung tinggi. 

Ketiga, kehidupan yang jauh dari agama makin menyambut kapitalisasi di berbagai bidang. Misalnya saja industri hiburan yang kental dengan budaya hedonisme dan pornografi, semua itu telah mengalihkan kesenangan kawula muda, dari giat menuntut ilmu menjadi tersibukkan dengan pemenuhan keinginan yang diciptakan oleh industri tersebut. Belum lagi industri game yang digemari oleh remaja, khususnya remaja putra. Menjadikan kehidupan mereka individualistis dan penuh dengan khayalan kekerasan. Banyak dari permainan tersebut isinya hanya seputar perkelahian dan korbannya adalah perempuan. Ini pula yang bisa menyebabkan tingginya tawuran, begal, dan kekerasan seksual oleh remaja. 

Islam Mewujudkan Generasi Cemerlang

Dalam catatan sejarah, peradaban Islam banyak melahirkan cendekiawan dan ilmuwan yang ahli berbagai bidang. Al-Khawarizmi, misalnya, seorang ahli matematika yang dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. Dengan kecerdasannya, beliau merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol ketika kala itu peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari.

Seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan, atau dikenal dengan nama Ibnu Geber, membuat rumusan yang menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Ada pula Al-Idrisi sang penemu globe, juga Ibnu Batutah, seorang penjelajah dunia sekaligus penemu 300 jalur laut. Kehebatannya tidak kalah dari penjelajah Barat seperti Marco Polo atau Christopher Columbus. Ini menjadi bukti bahwa pada masa peradaban Islam tidak semata lihai dalam ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu umum, sains, dan teknologi.
Kegemilangan Islam dan peradabannya di pentas dunia membuat Barat segan terhadapnya. Ini karena faktor keberhasilan mereka adalah keimanan dan keilmuannya. Negara melaksanakan sistem pendidikan berbasis Islam, ditopang sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam.

Pendidikan tidak boleh dipandang secara ekonomi, penghasil materi, apalagi diperuntukkan bagi kelangsungan peradaban merusak, yakni kapitalisme. Pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan manusia. Melalui pendidikanlah seseorang memahami hakikat kehidupan, selanjutnya menjalani kehidupannya sesuai aturan sahih bagi manusia (syariat Islam). 
Kurikulum pendidikan hendaknya seragam, sejalan dengan strategi dan tujuan pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan wajib berdasarkan akidah Islam.

Adapun strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami (aqliyah islamyiah) dan pola sikap islami (nafsiyah islamiyah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Dari sini, akan tercapai tujuan pendidikan, yakni membentuk kepribadian islami (syakhsiah islamiyah) dan membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut akan dilarang. Membentuk kepribadian islam adalah membentuk pola tingkah laku anak didik berdasarkan pada akidah Islam dan tingkah lakunya senantiasa mengikuti Al-Qur’an. (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyyah juz I).

Seorang muslim yang berkepribadian islam tentu akan merasa senantiasa diawasi Allah sehingga mengharuskan dirinya senantiasa bertingkah laku sesuai ajaran Islam. Bersyahsiah Islam atau bertingkah laku islami merupakan konsekuensi seorang muslim. Seseorang harus memegang erat identitasnya dan jati dirinya sebagai seorang muslim, yaitu senantiasa bertingkah laku yang islami di mana pun, kapan pun, dan dalam aspek apa pun ia beraktivitas. Identitas ini akan menjadi kepribadian yang tampak pada pola pikir dan sikapnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dengan demikian, setiap tingkah lakunya diukur dengan standar ajaran Islam, yaitu halal dan haram.

Adapun negara, ia harus menjadi ujung tombak keberhasilan proses pendidikan. Negaralah yang bertanggung jawab mengelola pendidikan formal, baik sekolah maupun perguruan tinggi. Negara tidak boleh menjadi regulator. Ia harus berperan sebagai operator, yakni menyediakan semua kebutuhan pendidikan, termasuk menerapkan sistem pendidikan yang mencakup penyediaan kurikulum, tenaga pendidik, sarana prasarana, dan sebagainya. Masyarakat harus dipastikan mampu mengakses pendidikan dengan biaya semurah mungkin, bahkan gratis.

Revolusi atau perubahan fundamental menuju kebijakan pendidikan sahih hanya dapat dilaksanakan dengan kepemimpinan syar’i (Khilafah). Tanggung jawab umat untuk menghadirkan kepemimpinan syar’i ini menjadi sangat urgen. Semoga umat terus berjuang bagi penerapan syariat Islam kafah. Inilah jalan menuju kepemimpinan syar’i yang akan menerapkan kebijakan pendidikan sahih yang mampu mencetak generasi cemerlang di masa depan.

Wallahu ‘alam bi ash shawwab.


Share this article via

155 Shares

0 Comment