| 129 Views

Kenaikan Pajak dalam Sistem Kapitalisme ini

Oleh : Khantynetta

Menjelang akhir tahun 2024 kabar kenaikan pajak menghebohkan seluruh kalangan masyarakat. Bahkan aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM seluruh Indonesia turun ke jalan melakukan demo sebagai penolakan kenaikan pajak tersebut. Selain itu, petisi penolakan kenaikan pajak oleh masyarakat juga semakin menguat. Pasalnya, sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi itu. Petisi ini dilakukan sebagai bentuk protes masyarakat terhadap kenaikan pajak 12%. Menurut inisiator petisi, kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat karena kebijakan yang diterapkan tidak melihat kondisi masyarakat yang tengah mengalami keterpurukan ekonomi. (cnnindonesia.com 28/12/2024)

Di pihak lain, para pengusaha juga ikut menyayangkan kenaikan pajak ini. Walaupun, para pengusaha memang tidak secara langsung terkena dampaknya. Karena modal produksi akan diganti dengan harga jual produk yang dibebankan kepada konsumen. Namun, pengusaha skala besar ini pasti memiliki pinjaman bank dengan bunga bank yang tinggi. Lain halnya dengan para buruh yang mengancam menggelar aksi mogok kerja nasional jika pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12%. Karena dengan naiknya pajak akan berdampak pada naiknya biaya produksi termasuk upah buruh. Sehingga untuk menguranginya, perusahaan melakukan PHK. (cnbcindonesia.com 25/11/2024)

Di negeri yang sistem ekonomi kapitalisme ini, pajak merupakan sumber penerimaan utama. Merujuk pada data  BPS (2023),
kontribusi pajak dalam pendapatan negara mencapai 80,32%. Ini merupakan  angka yang sangat besar. Lebih besar dibanding pajak di Singapura dengab kepemilikan  sumberdaya alam yang sedikit ketimbamg  Indonesia. Indonesia dengan  kekayaan alam melimpah justru penerimaan dari sektor nonpajaknya hanya 20%.

Alasan kenaikan pajak ini untuk memperkuat penerimaan negara sangat tak logis, mengingat  saat ini persentase pendapatan dari pajak sudah sangat besar. Lalu ke mana SDA yang melimpah ,seperti kekayaan barang tambang, hutan, hasil laut yang jumlahnya menduduki peringkat dunia? Siapa yang menikmati kekayaan alam Indonesia? Jika kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak menjadi pos terbesar penerimaan negara, wajar jika rakyat akan terus-menerus ditekan untuk meningkatkan pendapatan negara.

Dalih pemerintah tersebut sebenarnya hal yang biasa dilakukan selama ini. Seolah telah melakukan berbagai hal tetapi faktanya tidak. Mirisnya masyarakat juga tampak tidak peduli atau enggan peduli. Hal ini karena hubungan penguasa dengan rakyat tidak lain hanyalah hubungan penjual dan pembeli. Rakyat hanya diperas sumber dayanya untuk keuntungan penguasa dan pengusaha sebagai rekan bisnis monopoli kekuasaan. Rakyat akhirnya berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Karena percuma menyampaikan keresahannya. Antara tidak didengar atau mendapat kecaman, kriminalisasi, bahkan dipenjara atas tuduhan mencemarkan nama baik penguasa.

Hal ini wajar karena negara menerapkan sistem kapitalis sekuler yang asasnya menjauhkan aturan agama dengan kehidupan. Sehingga semua aturan hidup dibuat oleh akal manusia yang terbatas. Otomatis aturan yang dibuat akan sesuai dengan kepentingan orang-orang yang membuatnya, termasuk penerapan pajak. Karena dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara. Maka niscaya negara kapitalis akan memungut beragam jenis pajak dan menaikkan besarannya.

Jika masyarakat mulai menelaah dan sadar untuk peduli dengan kebijakan negara, maka akan didapati bahwa pajak benar-benar menyengsarakan kehidupannya. Pasalnya, membayar pajak berarti membiayai seluruh kebutuhan hidup rakyat itu sendiri. Negara sama sekali tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Negara hanya menampung pungutan pajak tersebut. Parahnya negara menggunakan pajak tersebut bukan untuk rakyat tetapi untuk melayani kepentingan para pemilik modal. Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Penguasa pun akan dengan mudah menetapkan kebijakan tanpa mempedulikan rakyat.

Rakyatlah yang diwajibkan membayar pajak karena posisinya sebagai rakyat. Maka wajar banyak yang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi penguasa. Karena penguasa dalam sistem kapitalis akan selamanya menikmati berbagai fasilitas kesenangan hidup asalkan terus melayani para pemilik modal. Salah satunya memberi keluwesan aturan untuk membuka investasi. Dalihnya kepada rakyat untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Dan lagi-lagi rakyat pun meyakininya. Padahal jelas bukan seperti itu.

Pajak dalam Sistem Islam

Syariat Islam menetapkan bahwa setiap pungutan apa pun dari rakyat harus legal. Artinya, pungutan ini harus benar-benar diizinkan oleh syariat  sebagai pemilik legalitas. Ukuran kekuatan legalitas ini berdasarkan kepada dalil.

Dalam Islam, rakyat adalah pemilik kekuasaan, sementara pemilik kadaulatan adalah Allah. Negara yang menjadi wakil rakyat dalam pelaksanaan syariat Islam  mendapatkan amanah untuk mengelola semua kekayaan alam yang dimiliki  kaum muslimin.

Negara bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat sesuai rambu-rambu syariat. Artinya, mulai dari sumber-sumber pendapatan, termasuk jenis pengeluarannya harus bersandar kepada dalil syarak, tidak diambil dari pendapat akal. Penguasa yang telah diserahi wewenang mengatir oleh rakyat dianggap melanggar syariat jika melakukan pungutan yang tidak sesuai dengan ayuran pembuat syariat.

Islam telah menetapkan pos- pos penerimaan negara secara terperinci, sementara negara tinggal menerapkannya. Dalam kitab Al-Amwal karya Syekh Abdul Qadim Zallum dijelaskan bahwa di antara pos penerimaan negara adalah pos anfal, ganimah, fai, dan khumus; kharaj, jizyah; harta kepemilikan umum; harta milik negara; harta usyur; harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara; khumus, harta orang yang tidak memiliki harta waris, harta orang murtad, pajak, dan zakat. Terdapat dua belas pos penerimaan negara, sementara pajak tidak menjadi komponen utama apalagi andalan.

Dengan pengelolaan APBN berbasis baitulmal, negara memiliki pos penerimaan dengan akumulasi jumlah yang  sangat banyak. Pemanfaatan pos harta kepemilikan umum misalnya,  jika kekayaan alam dikelola sendiri oleh negara, tanpa tergantung pihak  swasta, tentu hasilnya dapat digunakan secara optimal, bahkan berlebih. Apalagi nusantara ini memiliki kekayaan alam yang jumlahnya terbesar di dunia, seperti hutan terluas, gas alam, batu bara, emas, nikel, dan tambang berharga lainnya.

Data menunjukkan bahwa 60% lahan sawit yang menjadikan Indonesia sebagai pengekspor terbesar di dunia dikuasakan kepada swasta melalui Hak Guna Usaha (HGU). Sementara negara cukup puas mendapat 7,5% saja dari harga CPO yang diekspor.

Padahal nilai ekspor CPO Indonesia 2023 sebesar US$23,97 miliar atau setara Rp389.632 triliun (kurs Rp16.260). Dari nilai tersebut, negara hanya memperoleh Rp27,3 triliun dan bagian besarnya untuk swasta. Bayangkan betapa banyak  harta rakyat tang digondol swasta akibat ijin investasi oleh negara. Andai potensi ini dikelola negara, betapa banyaknya pemasukan negara.

Belum lagi pemasukan negara dari sektor tambang, Indonesia menjadi pengekspor batu bara terbesar di dunia dengan nilai ekspor sebesar US$34.592.077.000, sebuah angka yang sangat besar.

Sayangnya, sistem kapitalisme yang ada  membiarkan  kekayaan alam yang seharusnya menjadi kepemilikan umum  diserahkan pada swasta. Jelas  manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, melainkan hanya sebatar individu-individu tertentu. Padahal, jika diterapkan pengaturan ekonomi Islam, kepemilikan itu tidak hanya kepemilikan individu dan negara, tetapi ada juga kepemilikan umum.


Share this article via

41 Shares

0 Comment