| 276 Views
Kemiskinan Menurun, Hoaks atau Fakta?

Oleh : Jumilah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Kemiskinan dan ketimpangan adalah persoalan krusial yang melanda banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Namun Pejabat mengeklaim kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia menurun. Padahal marak PHK di mana-mana, mahalnya barang-barang, daya beli menurun dan masih banyak yang lainnya. Pemerintah pun terus berupaya untuk mengecilkan angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi demi tercapainya kesejahteraan. Oleh karenanya, kemiskinan menurun itu hoaks atau fakta?
Sebagaimana yang dikutip laman BPS, 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka penduduk miskin pada Maret 2024 mengalami penurunan sebesar 0,33% poin dibandingkan dengan Maret 2023, yakni menjadi 9,03% dari sebelumnya 9,36%. Begitu pun gini ratio yang biasa dijadikan alat ukur ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia mengalami penurunan dari 0,388 pada 2023 menjadi 0,379 pada 2024.
Menurut pemerintah, menurunnya angka kemiskinan pada Maret 2024 ditopang oleh solidnya aktivitas ekonomi domestik dan berbagai program bantuan sosial pemerintah, khususnya dalam merespons kenaikan inflasi pangan pada awal 2024, Membangun sanitasi dan membantu rusun, dan pemberian bantuan kredit dan pelatihan usaha. Sehingga makro ekonomi dan politik yang semakin baik, aman, dan stabil. Hal itu berdampak pada investor yang menanamkan modalnya di Indonesia meningkat tingkat kepercayaannya (rri.co.id).
Namun pada faktanya tidak sesuai dengan hitung-hitungan pemerintah yang katanya angka kemiskinan sudah menurun, masih banyak rakyat yang menganggur, PHK besar-besaran, UMKM gulung tikar. Hal tersebut menunjukkan sejatinya negara tidak sungguh-sungguh mengeliminasi kemiskinan dengan kebijakan nyata, tapi hanya sekedar bermain angka-angka.
Sistem kapitalisme memang meniscayakan adanya kemiskinan apalagi dengan peran negara hanya sebagai regulator bukan pengurus urusan rakyat, menjadikan rakyat diabaikan sementara pengusaha dianakemaskan. Ini dibuktikan dengan pengelolaan SDA yang sejatinya milik rakyat diserahkan kepada swasta. Demikian juga fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan yang lainnya juga melibatkan peran swasta yang cukup besar dan pada akhirnya rakyat harus membeli mahal segala kebutuhan hidupnya karena pihak swasta hanya berorientasi pada keuntungannya saja bukan pelayanan.
Padahal, dalam Islam negara memiliki peran sebagai raa’in yang wajib menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu melalui berbagai kebijakannya, sehingga tidak ada lagi rakyat yang kesulitan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Dalam sistem Islam, negara akan menjamin kebutuhan primer bagi rakyatnya dengan membuka lapangan pekerjaan untuk memudahkan laki-laki sebagai kepala keluarga dalam mencari pekerjaan. Jika laki-laki tersebut tidak sanggup untuk bekerja karena cacat misalnya maka kerabat dekatnya wajib membantu, jika keduanya tadi tidak dapat memenuhi maka negara wajib menafkahi. Adapun pembiayaannya akan diambil dari kas negara, yakni baitul mal. Baitul mal akan memberikan santunan kepada keluarga tersebut hingga ia bisa terbebas dari kemiskinannya.
Itulah salah satu kebijakan yang akan dilakukan negara agar rakyatnya bisa sejahtera secara nyata, bukan bermain dengan angka-angka.[]