| 260 Views

Keliru Urus Kekayaan Alam, Rakyat Jadi Korban

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

Warga negara asing (WNA) asal China berinisial YH berhasil menggasak emas sebanyak 774,27 kg melalui aktivitas penambangan ilegal di Ketapang. Tak hanya emas, ia juga berhasil mengeruk cadangan perak di lokasi tersebut seberat 937,7 kg. Akibatnya, Indonesia rugi 1,02 Triliun Rupiah imbas aktivitas tersebut. Aktivitas penambangan emas ilegal juga terjadi di Nagari Sungai Abu, kecamatan Hiliran Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat. Nahas, aksi penambangan ilegal ini memakan korban sebab terjadi longsor di tanah galian. Sebanyak 13 orang meninggal dunia, dan 25 masih tertimbun serta 3 orang lagi mengalami luka (cnnindonesia.com, 27/09/2024).

Peristiwa ini menunjukkan pengelolaan tambang yang begitu carut marut. Hal tersebut disebabkan karena gagalnya negara dalam memetakan kekayaan alam, yang mengakibatkan terjadinya berbagai hal buruk seperti longsor di lokasi penambangan dan akhirnya memakan korban jiwa. Tak hanya itu, kegagalan ini juga berimbas pada hilangnya emas karena ditambang oknum tertentu.

Negara seharusnya memiliki big data kekayaan atau potensi alam di wilayah tanah air, dan juga memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Sehingga baik tambang dalam skala besar atau kecil dapat dimanfaatkan dengan baik. Negara pun seharusnya memiliki kewaspadaan tinggi  atas pihak asing atau pihak lainnya yang ingin merugikan Indonesia. Sayangnya, negeri kita saat ini diatur oleh sistem kapitalisme yang membuat penguasa cuci tangan atas persoalan pengurusan sumber daya alam, dengan mengatasnamakan penambangan illegal.

Kapitalisme yang berorientasi materi, membuat negara di bawah sistem kapitalisme setengah hati mengurus rakyat. Kasus tambang ilegal dibiarkan berulang sekalipun ada undang-undang yang mengaturnya. Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan negara yang diatur oleh sistem Islam, karena dalam mengelola tambang, Islam mengatur secara jelas dan rinci.

Islam pun mengatur peran negara dengan jelas, yakni menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Kesadaran negara terhadap dua peran ini, akan menuntun negara dalam mengatur potensi kekayaan alam yang sesuai dengan ketentuan Allah, dan selaras dengan keberadaan kekayaan alamnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memberi contoh terbaik dalam tata cara mengelola harta tambang. Contoh tersebut merupakan hukum syariat yang wajib diambil oleh negara dalam mengelola tambang. Dari Abu Hurairah, secara marfu’, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga hal yang tidak boleh dilarang (orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya) : rerumputan, air, dan api.” (HR. Ibnu Majah). Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan meminta beliau Shallallahu Alaihi Wasallam agar memberikan tambang garam kepadanya. Rasulullah pun memberikan tambang itu kepadanya. Lalu, ketika Abyad bin Hammal R.A telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah anda berikan kepadanya? Sesungguhnya anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu Al Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Melalui dalil-dalil tersebut, mekanisme pengaturan tambang dalam Islam yakni barang tambang yang jumlahnya melimpah, haram dimiliki oleh individu, karena harta tersebut milik umum. Al-‘Allamah Syaikh Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah Khilafah halaman 54, menjelaskan konsep kepemimpinan dan pengelolaan tambang dalam Islam, berkaitan dengan konsep kepemilikan.

Yang pertama yaitu milik individu, yakni harta tambang yang jumlahnya sedikit. Kedua ialah milik umum (milkiyah ‘ammah) yakni harta tambang yang depositnya melimpah. Lalu yang ketiga ialah milik negara, yaitu sumber daya alam yang dikonservasi (himma). Dengan syariah ini, negara mengatur pengelolaan tambang dan memetakan wilayah tambang. Banyak sedikitnya barang tambang ditentukan oleh para ahli terkait. Sementara himma, diperuntukkan kebutuhan negara untuk menjaga fungsi ekologi lingkungan.

Jika jumlahnya melimpah, maka negara sebagai wakil umat akan mengelola tambang tersebut secara mandiri tanpa campur tangan individu atau swasta. Karena memonopoli tambang hukumnya haram. Dengan konsep ini, negara sanggup menutup celah perampokan tambang oleh pihak asing. Hasil pengelolaan tambang ini, akan dikembalikan kepada umat. Distribusinya bisa diberikan secara langsung dalam bentuk subsidi energi dan sejenisnya, atau secara tidak langsung dalam bentuk jaminan gratis kebutuhan publik yang dibiayai oleh pos kepemilikan umum Baitul Maal. 

Sementara itu, jika jumlahnya sedikit dan wilayah tersebut tidak membahayakan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi, negara mengizinkan individu atau swasta mengelola tambang tersebut dengan syarat mulai dari prosedur, alat-alat yang digunakan, dan para pekerjanya harus disesuaikan dengan kualifikasi yang ditentukan oleh negara. Agar kebijakan ini tidak diremehkan, negara memerintahkan qadhi hisbah untuk mengontrol kualitas pengelolaan tambang individu secara berkala. Sehingga dalam kebijakan ini negara tetapi bisa memastikan jaminan keselamatan rakyat.

Negara juga bisa mencegah terjadinya bencana longsor di tanah tambang. Alhasil, pengelolaan tambang yang dilakukan oleh negara ataupun individu tetap dapat dimanfaatkan secara optimal, dan mampu memberi kesejahteraan. Terlebih negara di bawah kepemimpinan Islam juga memastikan individu dan masyarakat memiliki kepribadian Islam melalui sistem pendidikan Islam. Sehingga individu yang ada bukanlah individu yang mudah membahayakan diri dengan ikut tambang illegal, dan minim safety demi mengejar keuntungan.

Masyarakat yang dipimpin oleh kepemimpinan Islam juga bukan masyarakat yang apatis jika ada kemungkaran. Mereka akan aktif melakukan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap seksama. Demikianlah pengelolaan tambang dalam Islam yang diatur secara rinci dan mengutamakan keselamatan rakyat juga bumi. Tidakkah kita menyadari betapa berkah dan amannya urusan, manakala hidup diatur oleh syariat Islam secara menyeluruh?


Share this article via

70 Shares

0 Comment