| 116 Views
Kebijakan Pajak Dalam Sistem Kapitalis Adalah Kebijakan Zholim

Oleh : Sumarni Ummu Suci
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%.Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah di atur dalam pasal 7 ayat 1 huruf B Undang - Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)(sumber : www.mediaindonesia.com)
Meski pun kenaikan PPN 12% di katakan tidak menyasar semua barang dan jasa, hanya berlaku pada barang mewah saja.Namun masyarakat masih mempertanyakan defenisi barang mewah yang di maksud.(sumber : www.ekonomi.bisnis.com)
Sebab pada akhirnya kenaikan pajak 12% menyasar hampir semua barang dan jasa yang kena pajak. Ekonomi senior Institute for Development of Ekonomis and Finance (Indef) Faisal Basri mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.(sumber : www.tajdid.id).
Menurutnya kenaikan itu hanya menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara. Faisal menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12% juga tidak adil. Sebab pemerintah masih Jor - joran memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi besar.
Dalam perhitungan Faisal tambahan pendapatan yang bisa di dapat tidak lebih dari Rp 100 triliun. Pada hal pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak ekspor batubara yang bisa mencapai Rp 200 triliun. (sumber : www.tajdid.id).
Kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu penarikan pajak dengan segala konsekwensinya adalah satu keniscayaan dalam sistem ini. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara untuk dana pembangunan.
Pajak ini diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat,baik rakyat kaya maupun miskin. Meskipun begitu kapitalisme sering tidak berlaku adil kepada rakyat. Pasalnya negara memberikan amnesti (pengampunan) pajak kepada para penguasa raksasa, sedangkan pada rakyat miskin tidak.
Hal ini terkait dengan peran negara dalam kapitalisme.
Negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang condong pada kepentingan para pengusaha, namun abai pada kepentingan rakyat.
Pengusaha mendapatkan kebijakan keringanan pajak, sementara rakyat dibebani berbagai pajak yang makin memberatkan hidup rakyat. Kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme ini sungguh menyengsarakan rakyat.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara khilafah. Sistem ekonomi Islam menetapkan negara sebagai raa'in yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan mensejahterakan rakyat serta membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tentram.
Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus) rakyat dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.(HR. Al Bukhori)
Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syariat.
Mengelolaan SDA ini adalah salah satu sumber pemasukan negara dalam jumlah besar dan memampukan negara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Negara Islam dengan penerapan sistem ekonomi Islam memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat individu per individu. Pajak merupakan alternatif terakhir pemasukan negara yang dipungut oleh negara dalam kondisi kas negara kosong. Peraturan mengenai perpajakan didalam sistem kapitalisme berbeda dengan Islam. Sistem kapitalisme dibangun berdasarkan hukum buatan manusia melalui lembaga legislatif.
Kesepakatan yang tercermin dalam UU tersebut menjadi sangat subjektif dan sangat cair sebab ditentukan oleh manusia yang sangat bias pada kepentingan berbagai pihak. Sebaliknya dalam sistem Islam seluruh peraturan negara Islam wajib bersumber dari Aqidah Islam yang melahirkan berbagai aturan - aturan cabang termasuk dalam aspek ekonomi.
Pajak atau dharibah dalam ekonomi Islam di defenisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslim untuk menunaikan belanja pada kebutuhan - kebutuhan dan pos - pos yang diwajibkan atas mereka ketika tidak ada harta di Baitul maal untuk memenuhi belanja tersebut.
Belanja tersebut adalah untuk jihad fi sabilillah, industri militer dan industri yang mendukung jihad fisabilillah, santunan fakir , miskin dan Ibnu Sabil ,untuk gaji tentang, pegawai Negara, hakim , guru dan orang - orang yang memberikan pelayanan kepada kaum muslim.
Kebutuhan pelayanan umum seperti infrastruktur jalan, sekolah, dan rumah sakit yang dapat menyebabkan bahaya ketika jalan dan kualitasnya kurang dan penanganan bencana alam seperti kelaparan, gempa, dan topan. Oleh karena itu pajak di dalam Islam merupakan sumber penerimaan insidental.
Pajak hanya di pungut ketika sumber - sumber penerimaan negara seperti zakat, kharaj, jizyah dan pendapatan dari harta milik umum tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib di tunaikan oleh kaum muslim.
Kemudian jumlah pajak yang di tarik di dalam Islam hanya di batasi berdasarkan jumlah yang di butuhkan untuk membiayai belanja yang wajib di tanggung oleh kaum muslim, namun tidak di cover oleh Baitul maal.
Oleh karena itu penarikan tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan. Sebab itu adalah bentuk kezhaliman atas kaum muslim yang akan di mintai pertanggungjawaban pada hari kiamat kelak. Sungguh hanya sistem Islam yang mampu menyejahterakan rakyatnya secara merata tanpa beban pajak.
Wallahua'lam bissawab.