| 75 Views
Kebijakan Efesiensi Ugal-ugalan Watak Kepemimpinan Sekularisme

Oleh: Santika
Aktivis Dakwah
Kado pahit di awal tahun 2025, di era 100 hari kerja Prabowo - Gibran adalah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Rakyat serasa dibawa naik ombak banyu membuat jantung kerjanya lebih kencang tentunya. Betapa tidak, dengan efisiensi disegala lini kehidupan dari bidang pendidikan sampai pada subsidi yang akan dikurangi bahkan ditiadakan. Ujung-ujungnya berdampak pada rakyat. Beban hidup rakyat yang sudah berat maka akan semakin berat.
Mulanya, isu efisiensi menyeruak saat Prabowo memangkas aneka belanja di kementerian/lembaga (K/L) hingga Rp306,69 triliun. Namun, dalam paparan itu muncul angka baru, yakni US$44 miliar atau berkisar Rp750 triliun.Anggaran efesiensi itu akan dialihkan oleh Prabowo untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar U$$ 24 Miliar dan sisanya untuk Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Efesiensi yang akan dilakukan di era kepemimoinan Prabowo akan berlangsung dalam tiga tahapan.
1. Penghematan yang memang sudah dilakukan ditahun-tahun sebelumnya. Yang mana dana tersebut telah masuk di Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN), ean sudah diamankan sebesar Rp. 300 Triliun.
2. Kedua, penghematan senilai Rp306,69 triliun sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD 2025. Meski demikian Prabowo meyampaikan nilainya naik menjadi Rp308 triliun.
3. Ketiga, akan berasal dari dividen BUMN pada 2025 senilai Rp300 triliun. Perlu dicatat bahwa pemerintah dan DPR sebelumnya menyepakati bahwa target dividen BUMN 2025 adalah Rp90 triliun, tidak mencapai Rp300 triliun seperti yang Prabowo rencanakan dalam tiga tahap efisiensi anggaran.
Ironisnya efesiensi di segala bidang termasuk bidang pendidikan, berdampak pada beasiswa para mahasiswa, keluhan soal KIP Kuliah dan beasiswa yang terdampak efisiensi anggaran ini justru mulanya disampaikan sendiri oleh Mendikti Saintek Satryo Soemantri Brodjonegoro kepada DPR RI. Ia menjelaskan total pagu awal mereka adalah Rp57,6 triliun, tetapi harus dipotong Rp14,3 triliun dalam rangka efisiensi. Akhirnya para mahasiswa tumbang tidak meneruskan pendidikannya disebabkan tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Walhasil ini akan mengancam kualitas generasi muda kita. Belum lagi PHK masal yang terjadi ditengah genacarnya efesiensi guna mendukung program MBG menambah pelik kehidupan rakyat.
Sungguh, program efesiensi telah menghancurkan segala lini kehidupan. Dengan harapan menunjang program MGB yang pada faktanya banyak terjadi kekacauan. Mulai dari tidak meratanya MBG, makanan yang justru membuat anak anak keracunan dan membuka peluang korupsi anggaran dan masih banyak lagi problem lainnya. Program MBG pun bukan menjadi solusi dalam pemenuhan gizi anak anak sekolah karena pemenuhan gizi itu bukan hanya di sekolah saja tapi justru bagaimana dengan kehidupan di rumahnya, jika keadaan ekonomi di keluarganya semakin terhimpit dan sulit disebabkan kepala keluarganya di PHK akibat program efesiensi. Sungguh program esfesiensi ini adalah program yang salah “resep”.
Di sisi lain justru ada anggaran lain yang harusnya bisa dipangkas malah tidak dipangkas. Misalnya anggaran kemenhan untuk alustitas. Sehingga jelaslah anggaran itu lebih memihak pada para pemilik kepentingan. Bahkan menguatkan koporatokrasi. Sistem kapitalisme-sekularisme telah menghilangkan fungsi negara, yang seharusnya negara adalah pelindung dan pihak yang wajib dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya justru malah makin mencekik kehidupan rakyatnya sudah menjadi watak kepemimpinan sekuler menghasilkan kebijakan – kebijakan abal-abal.
Sistem Islam satu-satunya harapan yang mampu menghasilkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyatnya. Seorang penguasa selain harus memenuhi syarat sah kepemimpinan harus memiliki ketakwaan yang tinggi sekaligus sifat lemah lembut yang mencegahnya dari berbuat sewenang-wenang dan zalim. Adapun dalam tanggung jawab umumnya sebagai seorang pemimpin, ia pun harus memiliki kepribadian Islam yang kuat, yakni memiliki akliah hukmin dan nafsiah haakim. Sehingga hubungan pemimpin dengan rakyat itu akan terjalin harmonis.
Wallahu’alam bisshawab.