| 151 Views

Kasus Jual Beli Bayi, Mengapa Berulang ?

Oleh : Lilis Tri Harsanti, S.Pd
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam

Mempunyai anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah Taala. Pada orang tua ada kewajiban pengasuhan dan pendidikan yang baik dan benar sesuai syariat-Nya. Memiliki anak adalah salah satu bentuk penampakan dari adanya gharizah al-nau‘, yakni naluri melestarikan keturunan yang telah Allah anugerahkan pada setiap manusia. Naluri ini merupakan fitrah yang menyertai penciptaan manusia. Tapi tidak demikian bagi seorang pria berinisial RA (36) yang diketahui menjual anak kandungnya yang masih berusia 11 seharga Rp15 juta.

David Yunior Kompol Kanitero Kasat Reskrim Polres Metro Tangerang Kota dalam keterangannya mengatakan bahwa pelaku beralasan menjual anaknya yang masih bayi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sementara ibu kandung korban bekerja di Kalimantan. Dilansir dari Antara, Rabu (9/10/2024).

Sementara di tempat lain, terbongkarnya  jual-beli bayi di Yogyakarta. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta meringkus dua oknum bidan berinisial JE (44 tahun) dan DM (77). Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pelaku jual-beli bayi melalui sebuah rumah bersalin di Kota Yogyakarta.

"Para tersangka ini telah melakukan penjualan ataupun berkegiatan sejak tahun 2010," kata Direktur Ditreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi saat konferensi pers di Mapolda DIY, Sleman, DI Yogyakarta. (Republika.co.id, 12-12-2024)

Sungguh miris, impitan ekonomi telah membuat sebagian orang tua bahkan ibu  kehilangan akal sehat dan naluri keibuannya. Mereka rela menjual bayi yang dikandungnya demi mendapatkan sejumlah uang, padahal bayi itu merupakan buah hati yang telah bersemayam di rahimnya selama sembilan bulan. Setelah lahir, bukannya dirawat dengan penuh kasih sayang, mereka justru menjual bayinya. Tidak ada rasa kasihan maupun kekhawatiran atas nasib bayi tak berdosa tersebut.

Kondisi ekonomi yang sulit menjadi alasan para ibu itu tega menjual bayinya. Umumnya mereka kesulitan ekonomi dan harus menghadapinya sendirian karena tidak ada sistem pendukung (supporting system) berupa keberadaan suami, keluarga, dan kerabat. Selain itu, tidak ada pula yang membantu perekonomian mereka sekaligus mencegahnya untuk berbuat nekat.

Di antara sebabnya, bisa jadi karena keluarganya sama-sama miskin atau bersikap individualis, sibuk memikirkan urusan masing-masing. Namun, karena tidak ada dukungan dari siapa pun, para ibu itu gelap mata dan nekat menjual bayinya.

Berulangnya kasus ibu menjual bayi, tampak bahwa penyebabnya bukan semata faktor individu, melainkan kondisi lingkungan masyarakat kita memang memperburuk kondisi para ibu sehingga mereka kehilangan naluri keibuannya.

Saat ini kita hidup di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan negara lepas tangan dari peran mengurusi warganya. Sebaliknya, para penguasa malah sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroninya. Mereka juga begitu ambisius melakukan manuver politik demi syahwat kekuasaan. Akibatnya mereka abai terhadap kesejahteraan rakyat.

Lihat saja, harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan terus naik hingga rakyat kesulitan membelinya. Begitu juga dengan kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, BBM, listrik, dan gas. Semuanya sulit dijangkau karena dipatok dengan harga mahal oleh pemerintah.

Sementara itu, pungutan terhadap rakyat makin banyak. Aneka macam pajak menggerogoti penghasilan rakyat yang tidak seberapa. Ada PPh, PPN, PBB, PKB, pajak air, dan lain-lain. Selain itu juga ada potongan BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (JKK & JKm), BPJS Jaminan Pensiun dan lain lain

Kondisi masyarakat yang tidak sejahtera ini pun mendorong terjadinya tindakan-tindakan nekat seperti menjual bayi semata demi mendapatkan uang yang sebenarnya jumlahnya tidak seberapa. Ini logis, karena manusia ketika kelaparan, pikirannya akan terfokus hanya pada upaya menghilangkan kelaparan itu. Apa pun caranya akan ia tempuh agar bisa makan. Meski harus melakukan hal-hal “gila” seperti menjual bayi, mereka akan menerjangnya, yang penting perutnya tidak keroncongan.

Banyaknya kasus ibu menjual bayinya tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Hal ini karena Islam menetapkan peran negara sebagai ra’in, yaitu pengurus urusan rakyat dan bertanggung jawab atas urusan tersebut. Rasulullah saw. bersabda,

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari). 

Dengan posisi negara sebagai ra’in, penguasa akan menjamin kesejahteraan tiap-tiap rakyat. Negara (Khilafah) akan menerapkan politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Negara juga mewujudkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.

Khilafah memiliki mekanisme untuk mewujudkan jaminan kesejahteraan tersebut, yaitu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan melakukan industrialisasi sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Negara juga memberikan bantuan modal dan keterampilan bagi rakyat yang ingin membuka usaha. Pada kondisi yang lain, negara akan memberikan tanah yang menganggur pada rakyat untuk dikelola sehingga produktif dan menjadi sumber mata pencarian.

Khilafah juga menerapkan sistem pengupahan yang adil sehingga pekerja mendapatkan upah yang layak, sesuai dengan manfaat yang mereka berikan. Upah tersebut utuh diterima oleh pekerja tanpa ada pungutan, potongan pajak, maupun iuran ini-itu karena pendidikan dan kesehatan sudah dijamin negara.

Khilafah memastikan setiap laki-laki dewasa yang sehat untuk bekerja menafkahi diri dan keluarganya. Dengan nafkah yang cukup dan jaminan negara, perempuan tidak wajib bekerja dan tidak dalam kondisi terpaksa bekerja. Perempuan bisa fokus menjadi istri dan ibu yang mengurusi anak-anaknya tanpa pusing memikirkan nafkah, biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Jika perempuan tersebut tidak memiliki suami, nafkahnya dipenuhi oleh walinya. Jika walinya dan kerabatnya tidak ada atau tidak mampu, kewajiban nafkah jatuh ke negara. Khilafah akan memberikan santunan bagi para janda dan duafa. Masyarakat juga akan memberikan bantuan kepada kalangan duafa karena sistem Islam mewujudkan masyarakat yang memiliki kepekaan sosial tinggi dan gemar tolong-menolong.

Khilafah bahkan mendorong para ibu untuk memiliki anak. Khilafah akan menyubsidi bahkan menggratiskan layanan kesehatan, termasuk untuk ibu hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan demikian, orang tua tidak stres memikirkan biaya periksa kehamilan, persalinan, dan pengobatan anak.

Bahkan Khilafah bisa memberikan santunan bagi ibu yang melahirkan. Hal ini sebagaimana yang diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau memberikan santunan bagi para ibu yang diberikan segera setelah mereka melahirkan sehingga makin membahagiakan para ibu.

Tidak hanya bagi sang ibu, Khilafah juga akan memperhatikan gizi para bayi dan balita sehingga tidak ada kasus kurang gizi ataupun stunting. Orang tua tidak perlu khawatir akan masa depan anak karena negara menjamin kesehatan dan pendidikan anak hingga ia bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Dengan dukungan sistem yaitu suami, wali, kerabat, masyarakat, dan negara Khilafah, para ibu akan berada dalam kondisi lingkungan yang kondusif untuk menjaga, mengurus, dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang. Selain itu, Khilafah juga menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan menghasilkan output SDM berkepribadian Islam.

Dengan demikian, masyarakat terbentuk dari individu-individu yang bertakwa. Setiap amal perbuatan anggota masyarakat akan ditimbang berdasarkan syariat Islam. Ketika hendak berperilaku, akan selalu dipikirkan balasan dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Halal dan haram menjadi tolok ukur perbuatan, bukan menurut asas kebebasan dan prinsip materialistis.

Khilafah juga mewujudkan suasana ketakwaan di tengah masyarakat dengan pengaturan media massa sesuai prinsip syariat. Tidak ada kebebasan berpendapat, berperilaku, atau pun berekspresi. Setiap ucapan, tulisan, dan tayangan harus sesuai dengan ajaran Islam. Konten-konten yang bertentangan dengan Islam akan dilarang tayang di media massa ataupun media sosial. Dengan demikian, opini umum di masyarakat akan tersuasanakan menjadi islami.

Di bawah penerapan sistem Islam kafah, tidak menutup kemungkinan ada segelintir orang yang berniat jahat. Untuk itu negara akan melakukan pengawasan dan menjamin keamanan warganya, termasuk bayi dan anak-anak agar tidak menjadi korban kejahatan.


Share this article via

38 Shares

0 Comment