| 229 Views

Karut-marut Pilkada, Wajah Asli Demokrasi yang Buruk Rupa

Oleh : Diana Nofalia, S.P
Aktivis Muslimah

Pengamat Politik Adi Prayitno mengunggah komentar, terkait panas-dingin hubungan PKS dan Anies yang tampak pecah kongsi di Pilgub Jakarta 2024. Hal itu terlihat dari foto headline sejumlah portal berita yang ditampilkan di Instagram pribadinya.

“Demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri. Semua demi keuntungan politik,” tutur Adi.

Sebagai Dosen Ilmu Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi mempertanyakan soal letak idealisme berpolitik, menurut dia hal itu tempatnya hanyalah di ruang kelas dan keranjang sampah. Adi mengungkap, apa yang terjadi di Pilkada hari ini adalah fenomena demokrasi elit. Sebab, yang bisa menentukan seseorang bisa maju adalah murni kehendak elit partai.
(https://www.liputan6.com/pemilu/read/5669902/soal-pilkada-2024-adi-prayitno-berbohong-dan-ingkar-janji-perkara-biasa)

Fenomena berburu kekuasan ini tak lagi asing bagi kita, bahkan kita juga tau dalam praktiknya terdapat berbagai macam kecurangan yang dilakukan demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Suara rakyat diburu dengan berbagai cara, janji manis dan popularitas. Padahal sejatinya, kontestasi ini bukanlah untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki

Dalam sistem demokrasi, Kekuasaan menjadi tujuan. Segala macam cara, akan dilakukan bahkan bisa menghalalkan segala macam cara demi meraih kekuasaan. Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan. Koalisi dibentuk dengan pertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ‘ideologi’, berbeda pandangan politik pada masa lalu dsb. Demikian pula pemilihan figur semata dengan perhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itu politik uang menjadi keniscayaan.

Kalau kita coba amati lebih dalam, berbagai kebijakan pemerintah cenderung lebih memihak pasar yang diikuasai para pemilik modal daripada memihak kepentingan rakyat. Contohnya adalah kebijakan menaikan BBM. Alasannya adalah standarisasi minyak dunia, juga menghapus subsidi barang sekaligus mengalihkannya ke subsidi orang. Padahal yang dilakukan adalah untuk mengundang masuknya investor asing dalam sektor ini.

Mengapa penguasa yang ada lebih memilih memuaskan kepentingan pengusaha (korporasi) daripada rakyat? Sudah rahasia umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana yang besar. Biaya besar ini dibutuhkan untuk kampanye legal sampai yang ilegal, suap menyuap,_money politics_, lobi, bakti sosial atas nama partai dan lain-lain. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun menjadi pilar penting sistem demokrasi. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu, paling tidak, jaminan terhadap bisnisnya; bisa juga berharap ditunjuk untuk proyek bisnis pemerintah. Jadilah elit politik kemudian didikte untuk kepentingan pengusaha.

Inilah satu keniscayaan dalam demokrasi, berburu kedudukan sebagai penguasa. Kekuasaan menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan/prestise. Kekuasaan adalah alat untuk mengokohkan kepentingan oligarki. Jadi kekuasaan yang ingin diraih notabenenya bukan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat

Dalam Islam kekuasaan adalah amanah, dan berkonsekuensi riayah (mengurus, yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Maka dalam hal ini, dalam proses pemilihan pemimpin sampai terpilihlah seorang pemimpin, Islam memiliki mekanisme tertentu. Bahkan pemimpin yang dipilih harus memiliki standar yang sudah ada dalam ketetapan Syara' yaitu Siddiq, amanah, tabligh dan fathonah.

Pemilihan kepala daerah dalam islam sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien, karena kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh Khalifah (pemimpin negara). Mereka adalah perpanjangan tangan khalifah dalam me-riayah rakyat, bukan penguasa tunggal daerah. Tegaknya kekuasaan, tidak ada  kepentingan selain menerapkan hukum syara.

Dalam pemilihan pemimpin saja sudah tampak jelas antara demokrasi dan Islam sangatlah berbeda. Berbeda dengan Demokrasi, Islam sangat mengutamakan kepentingan rakyat. Dalam tataran individu, syariah Islam mendidik individu agar bertakwa. Keinginan untuk melakukan pelanggaran syariah akan diminimalkan dengan nilai-nilai ketakwaan yang ditanamkan. Dengan begitu akan terbentuk pribadi-pribadi yang shalih yang orientasinya akhirat bukan semata-mata duniawi, sehingga menjadikan kekuasaan sebagai ajang untuk menguntungkan diri sendiri, karena memahami bahwa segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. kelak.

Jika bicara dalam tataran sistem, Islam sebagai risalah illahi yang sempurna akan menjamin kemaslahatan (rahmat) bagi semua pihak, bahkan bagi seluruh alam. Bahkan kesejahteraan itu telah diceritakan dalam berbagai sejarah kegemilangan Islam sebelumnya.

Demikian pandangan Islam mengatur mekanisme pemilihan penguasa tak lain untuk menerapkan aturan Allah dalam kehidupan. Begitupun orang-orang yang dipilih tentunya adalah orang yang mampu dan bersedia dengan segenap jiwa dan raganya demi tujuan tersebut, bukan orang-orang yang haus kekuasaan dan jabatan yang melakukan segala cara demi mendapatkan suara.

Wallahu a'lam.


Share this article via

93 Shares

0 Comment