| 237 Views

Kapitalisme Tak Mampu Menangani Produk Halal Ala Syariat

Oleh : Nofri Hutasoit
Aktifis: Pengemban Dakwah

Sebagai seorang muslim penting bagi kita untuk memastikan produk pangan adalah  kehalalannya. Tapi di sistem saat ini untuk mendapatkan halal yang sebenarnya itu sangatlah sulit, walaupun sudah melalui badan hukum. Tahun  ke tahun masalah halal ini sepertinya tidak bisa dituntaskan oleh negeri kita. Baru- baru ini berita temuan mengejutkan terkait produk pangan yang dilabeli hhalal padahal komposisinya terbuat dari yang haram seperti produk minuman beer, tuak, tuyul dan Wine mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama (Wartabanjar.com, jakarta, Selasa,1/10/24).

Pemasukan dari label sertifikasi halal saat ini dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) menjadi bagian dari pendapatan negara dari produk domestik bruto (BDB). Seolah-olah mereka yang dipercayakan oleh masyarakat untuk menentukan halal-haram sebuah pangan tidaklah serius dalam menanganinya bahkan bisa dilihat, mereka yang bekerja di sana bukan untuk kemaslahatan ummat tetapi untuk kepentingan pribadi untuk mendapatkan cuan, tidak perduli produk pangan yang dikonsumsi masyarakat terlebih masyarakat muslim itu halal sesuai syara' atau tidak, mereka telah dibutakan oleh hawa nafsu dan kepentingan duniawi semata. Ribuan bahkan jutaan manusia yang telah dirugikan karena perbuatan mereka-mereka ini yaitu mereka yang dipercayakan untuk memberikan label halal kepada sebuah produk pangan tidak meneliti secara benar. Akibat BPJPH mewajibkan seluruh pelaku usaha atau produsen untuk menyertifikasi halal produknya mereka pun berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikasi label halal tersebut, ditengah kesadaran ummat juga sudah semakin meningkat untuk mengonsumsi yg halal.

Tidak tahunya para produsen standar halal hanya untuk menaikkan penjualan produknya, yang penting cepat dan mudah bukan sesuai syara'. Saat ini kehalalan produk bukan berdasarkan iman melainkan sekedar formalisasi dan labelisasi demi merebut ceruk Pasar umat Islam yang sangat besar.

Walaupun di Indonesia kita lihat industri halal telah digalakkan tapi tampaknya bukan untuk taat kepada Allah ta'ala tetapi untuk mendapatkan keuntungan Semata. Label halal belum tentu produk halal, sangat rumit produk yang tidak bersertifikat dikatakan produk haram padahal bisa jadi ia produk halal tetapi hanya saja tidak punya sertifikat. Di tengah sistem kapitalisme saat ini jaminan halal Yang hakikatnya menjadi tugas negara justru menjadi lahan Mendulang cuan.

Persoalan penggunaan label Halal kepada produk yang haram tidak dapat dianggap sepele karena akan menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan produk halal yang diterapkan di Indonesia, ini adalah tanggung jawab negara seharusnya, tetapi di sistem saat ini kita tidak bisa mengharapkan lebih kepada negara di mana kewajiban negara itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk saat ini.

Maraknya klaim dengan label "No Pork No Lard" yg dipakai oleh pelaku usaha tidak dapat menjamin produk tersebut halal, muncul sebelum diturunkannya sertifikasi halal oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah nomor 39 tahun 2021, tentang jaminan produk halal. Label ini digunakan pelaku usaha untuk menegaskan bahwa usahanya tidak mengandung Babi atau turunannya.

Sebagaimana kita ketahui, halal tidak hanya berkaitan dengan bahan baku seperti daging dan sejenisnya, tetapi meliputi seluruh proses sejak distribusi, penyimpanan, pengolahan, hingga mencakup alat-alat penunjang produksi. seluruh proses sehingga makanan disajikan kepada konsumen harus benar-benar halal sesuai syariah islam. 

Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah populasi penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi pasar yang sangat menjanjikan untuk pertumbuhan ekonomi syariah dan industri halal. Dari sinilah para korporasi memandang industri ini merupakan sumber mesin pertumbuhan ekonomi baru bagi indonesia. Ini dikarenakan ekonomi syariah memiliki andil terbesardalam perekonomian nasional  0,79 persen dari total pertumbuhan ekonomi, 5,05 persen industri halal juga semakin hari menunjukkan kinerja yang baik dan positif dibuktikan dengan pertumbuhan sektor halal value chain (HVC) yang tumbuh 1,94 persen (YoY) dengan sektor makanan dan minuman serta model fashion yang masing-masing tumbuh sebesar 5,87 persen hingga 3,81persen. 

Dari pernyataan di atas bisa kita simpulkan bahwa sertifikasi halal dijadikan sebagai ladang meraup cuan.
Berita yang sangat menghebohkan akhir ini tentang penggunaan kata beer, wine,tuyul dalam produk lain tidak layak di sertifikasi halal benarkah demikian?

Aturan main soal penamaan produk yang sejalan dengan hukum halal haram menurut Islam sudah diatur dalam fatwa MUI nomor 44/2020 tentang penggunaan nama bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat di sertifikasi halal salah satunya adalah produk yang menggunakan nama atau simbol- simbol ke kufuran, kemaksiatan dan atau berkonotasi negatif. 
Seharusnya kata beer,wine,tuyul misalnya masuk dalam kriteria di atas sehingga pengajuan sertifikasi halal pemilik produk dengan nama tersebut bisa saja ditolak, jangan sampai sesuatu yang telah diharamkan oleh ulama itu menimbulkan hal yang tidak diharamkan atau dalam bahasa usufiknya itu menjaga agar orang tidak terjerumus pada sesuatu yang dilarang, diharamkan
Contoh usulan nama produk kopi wine nama kopi wine dikhawatirkan menyesatkan persepsi publik sehingga pengajuan sertifikasi nya harus ditolak. Kalau kita halalkan kopi wine dengan nama kopi wine itu imbasnya di masyarakat. Wah.. wine sudah di halal kan oleh MUI berarti sah untuk kita minum dan kita konsumsi. Nah ini jangan sampai.

Tahun-tahun sebelumnya juga penyebutan minuman soju yang katanya di halal kan oleh MUI sangat bertolak belakang dengan pemahaman masyarakat, pemahaman masyarakat selama ini bahwa minuman soju jelas keharamannya di sebabkan zat nya, tetapi penamaan ini digunakan oleh produsen untuk menarik perhatian konsumen.
Adapun Kriteria penamaan dan desain kemasan produk yang tidak dapat di sertifikasi halal. Berdasarkan fatwa MUI nomor 44/2020 berikut adalah kriteria produk yang tidak layak di sertifikasi halal:

1. Produk yang menggunakan nama dan atau simbol simbol kekufuran,kemaksiatan dan atau berkonotasi negatif.

2. Produk yang menggunakan nama benda atau hewan yang diharamkan kecuali;
Yang telah mentradisi ('urf) dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan, yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut dan mempunyai makna lain yang relevan dan secara empiris telah digunakan secara umum.

3. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya.

4. Produk yang menggunakan kemasan bergambar Babi dan anjing sebagai fokus utama.

5. Produk yang memiliki rasa atau aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan.

6. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan atau bergambar erotis dan porno.

BPJPH lempar tanggung jawab pada pihak lain yang terkait dalam rantai proses pengeluaran sertifikasi halal yakni komisi fatwa MUI dan lembaga pemeriksa halal (LPH) seperti (LPPOM). Akhirnya rakyat bingung dibuatnya.

Di dalam islam, Islam menjamin pangan halal. Ini disebabkan negara bertanggung jawab atas pangan rakyatnya. Semua ini karena landasan negaranya adalah akidah Islam bukan kemanfaatan. Aqidah islam menjadikan para pemimpin dalam negara Islam ber hukum dengan syariat secara kaffah (menyeluruh).
Negara berkewajiban untuk menjaga rakyatnya agar terus dalam suasana ketakwaan mencegah kemaksiatan, pengawasan pangan yang ketat karena apa-apa yang dikonsumsi oleh individu akan menjadi darah daging dan membentuk ketakwaan individu terhadap sang pencipta. Standar halal-haram suatu produk itu bersandar pada Al-qur'an dan As-sunnah baik dari sisi zatnya, prosesnya hingga penamaan nya tidak boleh melanggar syariat.

Rasullullah SAW bersabda ''sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu maka dia juga mengharamkan nilai harganya'' (HR. Ahmad).

Di dalam islam baik pelaku atau penyalur pangan haram dikenakan sanksi oleh khalifah bisa berupa cambuk, denda atau penjara.
Di dalam Islam secara tegas Allah dalam Quran Surah al-baqarah Ayat 168 memerintahkan manusia untuk makan dan mengonsumsi produk halal. Negara bisa melakukan uji produk halal secara gratis dan pengawasan secara berkala. Jika ada ketentuan dan persyaratan yang tidak gratis negara akan memberikan kemudahan administrasi yang cepat murah dan mudah ini hanya bisa diwujudkan di dalam penerapan sistem Islam secara kaffah.

Wallahu'alam bisshowab. ‎<Pesan ini diedit>


Share this article via

72 Shares

0 Comment