| 11 Views

Kapitalisme, Biang Keladi Perang Dagang AS

Oleh : Ingke
Aktivis Muslimah

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain, terutama Cina, menjadi salah satu isu paling hangat dalam perekonomian global beberapa tahun terakhir. Salah satu faktor utama yang mendasarinya adalah kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Donald Trump. Kebijakan ini tidak hanya mempengaruhi hubungan dagang antara kedua negara, tapi memicu reaksi dari negara-negara lain di seluruh dunia serta mengungkapkan karakteristik dasar dari sistem kapitalisme.

Kebijakan tarif impor yang diterapkan pemerintahan Trump baru-baru ini dimulai pada 2018 ketika ia memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang yang diimpor dari Cina, dengan alasan Cina melakukan praktik perdagangan yang tidak adil dan mencuri teknologi AS. Sebagai contoh, tarif sebesar 25% dikenakan pada lebih dari 800 produk, termasuk produk-produk elektronik dan barang konsumer.

Cina, sebagai salah satu mitra dagang terbesar AS, merespons dengan menerapkan tarif balasan terhadap produk-produk AS, termasuk kedelai dan mobil. Reaksi ini menimbulkan ketegangan di pasar internasional dan memengaruhi ekonomi global. Negara-negara lain juga mulai merasakan dampak dari perang dagang ini, terutama negara-negara yang bergantung pada ekspor dan impor antara AS dan Cina. Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko juga mengambil langkah-langkah untuk melindungi industri mereka dari tarif yang dianggap diskriminatif.

Sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia dalam konteks perang dagang ini cukup unik. Indonesia dapat memanfaatkan ketegangan ini untuk meningkatkan daya saing produk lokal di pasar global. Di satu sisi, perang dagang dapat membuka peluang bagi produk Indonesia untuk memasuki pasar AS sebagai alternatif dari produk yang dikenakan tarif dari Cina. Namun, di sisi lain, sektor-sektor tertentu di Indonesia, seperti komoditas berbasis ekspor yang terkait dengan Cina, mungkin terkena dampak negatif akibat kontraksi permintaan dari Cina.

Ternyata, biang keladi terjadinya perang dagang tersebut karena penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme sudah gagal menciptakan kesejahteraan secara menyeluruh, malah menciptakan kesenjangan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, sehingga terjadi ketidakseimbangan dan penumpukan kekayaan di tangan segelintir kelompok. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat.

Penyebab ketidakseimbangan tersebut akibat kegagalan asumsi-asumsi yang digunakan pakar ekonomi kapitalisme dalam pembangunan ekonomi berdasarkan sistem kapitalisme itu sendiri. Karena diabaikannya nilai-nilai moral dan etika yang bersumber dari ajaran agama dalam aktivitas perekonomian.

Dalam bukunya Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, cet. ke-1, hlm. 29), Zainuddin Ali, menegaskan, asumsi yang dibangun kapitalisme dan ketidaksesuaiannya dengan realitas yang menunjukkan bahwa kapitalisme telah gagal. Pertama, dalam sistem kapitalisme tercipta keselarasan antara kepentingan individu (individual interest) dengan kepentingan-kepentingan itu. Pada praktiknya, sistem ekonomi kapitalisme lebih mengagungkan pemenuhan hak dan kepentingan individu dari kepentingan masyarakat. Dengan mengatasnamakan hak asasi, setiap individu berhak mengeksploitasi segala sumber daya negara tidak memiliki hak untuk mengekang setiap individu di dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Keadaan ini diperparah oleh tidak adanya nilai moral yang mengarahkan aktivitas ekonomi dari setiap individu.

Kedua, dalam sistem kapitalisme, preferensi individual merupakan cerminan dari prioritas sosial. Setiap kejadian dalam sistem sekuler terjadi berdasarkan nilai-nilai kegunaan/manfaat, sehingga pemanfaatan sumber daya yang ada hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Asumsi ini mengalami kegagalan karena penggunaan segala SDA yang terbatas itu tidak mencerminkan kebutuhan sosial secara umum, melainkan hanya mencerminkan pemenuhan kebutuhan kelompok bagi yang kaya saja, yang terkadang hanya mencerminkan nilai prestasinya.

Ketiga, terwujudnya distribusi pendapatan dan kekayaan secara merata. Tapi nyatanya, pendapatan dan kekayaan tidak terdistribusikan secara adil dan merata.

Keempat, tingkat harga yang terjadi mencerminkan urgency of wants. Hal itu dilandaskan kepada anggapan bahwa kesediaan konsumen tanpa memandang kaya dan miskin untuk membayar harga pasar mencerminkan kepentingan kebutuhannya. Tapi, asumsi ini pun tidak sesuai, karena walaupun setiap anak sama-sama membutuhkan susu, namun kemampuan keluarga kaya berbeda dengan keluarga miskin.

Kelima, adanya struktur pasar persaingan sempurna, yaitu setiap individu/perusahaan bebas keluar masuk pasar tanpa adanya rintangan. Asumsi ini pun gagal, nyatanya struktur pasar yang terbentuk adalah pasar yang dikuasai oleh industri besar ataupun perusahaan-perusahaan multinasional. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan market strategy dan membuktikan ketidakmampuan sistem tersebut dalam memperlihatkan perubahan struktural radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi berdasarkan prinsip keadilan dan stabilitas.


Share this article via

12 Shares

0 Comment