| 324 Views

Jelang KUKERTA, Satu Posko Masih Dianggap Hal Biasa

Oleh : Uswatun Hasanah, S. Pd. 
Pegiat literasi dan Alumnus UIN SMH Banten

KUKERTA atau Kuliah Kerja Nyata adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh para mahasiswa semester akhir sebagai syarat untuk menyandang gelar sarjana dan sebagai bentuk abdi  terhadap masyarakat. Kukerta diselenggarakan kampus-kampus guna menjadikan mahasiswanya mampu bekerja nyata di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk pengamalan dari ilmu-ilmu yang diterima mahasiswa selama masa kuliah. 

Di duga sebanyak ribuan mahasiswa akan disebar di beberapa daerah yang ada di Banten pada tahun 2024 ini. Di antaranya UIN SMH Banten yang akan menyebar 2.356 mahasiswa di beberapa kabupaten dan kota yang ada di Banten. https://uinbanten.ac.id. 
Sedangkan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di KKM gelombang II tahun 2024 ini juga akan menyebar 100 kelompok mahasiswa untuk mengikuti kegiatan Kukerta tersebut. https://lppm.untirta.ac.id/


KUKERTA, Kesempatan Berdakwahku

Agen of Change begitulah orang menyebutnya mahasiswa. Ya, mahasiswa yang senantiasa disematkan namanya kepada para pemuda, menjadikanya sebagai fase emas untuk melakukan perubahan terhadap masyarakat. 

Rasulullah pada dasarnya telah menunjukan bukti ini kepada umatnya, hal ini dibuktikan dengan pengutusan Mush'ab bin Umair untuk menjadi duta Islam di Madinah. Mush'ab dikirim Rasulullah ke Madinah adalah untuk melakukan perubahan terhadap masyarakat Madinah dengan mengenalkan Allah swt. kepada penduduk Madinah. 

Bagi masyarakat, mahasiswa adalah harapan mereka untuk menyalurkan aspirasi, suara, serta ide-ide yang bisa membangkitkan masyarakat dari keterpurukan. 
Sedangkan sebagai mahasiswa, tentu ini menjadi kesempatan bagi kita untuk mengamalkan ilmu yang kita peroleh selama masa kuliah (belajar). Sehingga kita akan menyambut kegiatan tersebut dengan penuh senang hati dan semangat yang tinggi. Hingga menyiapkan segala hal yang perlu dibawa, mulai dari perlengkapan pribadi sampai perlengkapan yang mungkin akan dibutuhkan ketika terjun ke masyarakat. Tak lupa pula berbagai proker disusun sedemikian rapi dan didiskusikan dengan teman sekelompok, maka kita akan sangat senang ketika kelompok lain memuji wah kelompok mereka kompak, yah.

Pun dengan mahasiswa muslim yang notabenya aktivis dakwah, banyak dari mereka yang memanfaatkan agenda Kukerta sebagai kesempatan untuk berdakwah kepada masyarakat. Mulai dari kalangan anak-anak seperti mengajarkan mereka mengaji (baca : belajar membaca Al-quran), merangkul pemuda untuk bekerja sama dengan mereka dalam menjalani proker-proker yang telah disusun, hingga berinteraksi dengan para tokoh masyarakat. Aktivitas-aktivitas tersebut kita lakukan adalah semata demi mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh dan mengharapkan diri kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainya.  


Agar KUKERTA Berbuah Pahala

Dengan alasan menjaga kekompakan banyak dari mahasiswa yang pada akhirnya memilih untuk tinggal bersama dalam satu posko alias campur antara laki-laki dan perempuan atau sesama teman sekelompok mereka.  Mereka menyewa sebuah rumah sebagai tempat tinggal selama kukerta di daerah tertentu untuk beberapa hari tergantung kurun waktu yang ditetapkan oleh pihak kampus. Padahal Islam melarang campur baur antara lawan jenis yang bukan mahrom tanpa adanya alasan yang syar'i.

Sebagai seorang muslim tentu kita perlu berhati-hati dari hal-hal yang dapat mengantarkan kita pada murkanya Allah swt. Allah swt tidak suka jika syari'atnya dilanggar apalagi oleh hamba yang mengaku mencintaiNYA. Namun sepertinya masih banyak dari kita yang kurang memperhatikan keterlibatan Ridho Allah dalam setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan termasuk Kukerta ini. Padahal kita seharusnya senantiasa mengharapkan ridho Allah dalam segala aktivitas dan memperhatikan hukum syara'nya agar apapun yang kita lakukan mampu membuahkan pahala bagi kita. 


Lalu bolehkah tinggal dalam satu atap dengan yang bukan mahrom ketika KUKERTA?

Sesungguhnya Islam telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam islam, sejatinya kehidupan pria dan wanita terpisah. Ketentuan tersebut berlaku dalam kehidupan khusus seperti di rumah-rumah atau sejenisya atau dalam kehidupan yang sifatnya umum, seperti di pasar, jalanan umum, dan yang sejenisnya. Pengaturan tersebut semata diambil dari dalil Al-quran dan dalam bentuk pengamalan dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Islam pada masa Rasulullah dan seluruh kurun sejarah Islam. 
Allah swt. berfirman : 

وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّابِمِينَ وَالصَّبِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ
لهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

"...laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar..." (QS al-Ahzab [33]: 35)

Allah melarang kaum wanita untuk pergi haji atau bepergian keluar rumah tanpa disertai mahrom. Allah juga melarang seseorang memasuki rumah orang lain tanpa izin dari penghuninya (baca : Q.S An-Nur ayat 27). 


Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?" Beliau menjawab, "Tentu saja." Laki-laki itu kemudian berkata lagi, "Sesungguhnya ibuku tidak memiliki pembantu selain diriku. Lalu, apakah setiap kali aku masuk (rumah) harus meminta izin? "Rasulullah SAW balik bertanya, "Apakah kamu senang melihat ibumu telanjang?" Laki-laki itu pun berkata, "Tentu tidak." Selanjutnya, Rasulullah SAW bersabda, "Karena itu mintalah izin kepadanya."


Rasulullah SAW juga mencontohkanya dalam kondisi lain, yaitu ketika sedang berada di dalam masjid. Bahwa Rasulullah SAW telah memisahkan shaf-shaf kaum wanita dan menjadikanya berada di belakang shaf-shaf kaum pria. Dan pada saat keluar masjid, Rasulullah memerintahkan kaum wanita untuk keluar lebih dulu kemudian disusul kaum pria sehingga kaum wanita terpisah dari kaum pria. Hingga pada akhirnya Rasulullah membuat dua pintu, satu pintu khusus untuk wanita yang pada pintu tersebut kaum pria tidak boleh melewatinya, melainkan kaum pria harus lewat melalui pintu yang lain. 


Imam Bukhari meriwayatkan dari Hindun binti Al-Harits dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW:

أَنَّ النِّسَاءَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَمَنْ صَلَّى مِنْ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَامَ الرِّجَالُ

"Bahwa kaum wanita pada masa Rasulullah SAW jika telah mengucapkan salam dari shalat wajib, mereka berdiri. Rasulullah SAW dan kaum pria diam di tempat selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka jika Rasulullah SAW berdiri, berdirilah kaum pria."

Seluruh fakta di atas menunjukan tentang bagaimana pengaturan kehidupan wanita dan pria dalam Islam.
Hal demikian adalah semata untuk menjaga kehormatan wanita dan meredam syahwat kaum laki-laki. 
Allah memerintahkan kepada para wanita untuk menjaga kehormatan, dan melarang menampakan anggota tubuh yang menjadi tempat perhiasanya kepada laki-laki asing serta memerintahkan mereka untuk menundukkan pandangan mereka (baca : Q.S An-Nur ayat 31).  

Jika Allah membolehkan adanya interaksi diantara keduanya, baik dalam kehidupan khusus maupun umum. Seperti diperbolehkanya kaum wanita untuk melakukan jual beli, akad tenaga kerja, belajar, paramedis, dan pertanian. Namun, jika dalam pelaksanaan aktivitas tersebut tidak menuntut adanya interaksi seperti tidak berjalan bersama di tempat umum, pergi bersama ke masjid, mengunjungi kerabat, dan lain sebagainya, maka tidak boleh seorang wanita melakukan interaksi dengan pria. 

Karena itulah, interaksi antara kaum pria dan wanita dalam perkara-perkara demikian merupakan  suatu dosa, meskipun dilakukan dalam kehidupan umum. Maka dalam islam, pemisahan kaum pria dan wanita dalam kehidupan hukumnya wajib, kecuali dalam perkara-perkara yang dibolehkan oleh syari'ah , dimana syariah telah membolehkan, mewajibkan atau menyunnahkan suatu aktivitas kepada wanita dan pelaksanaanya menuntut adanya interaksi terhadap kaum pria. Pun pelaksanaanya harus tetap ada pemisahan, seperti di dalam masjid, atau adanya ikhtilath (campur baur) seperti dalam pelaksanaan ibadah haji atau jual-beli. 

Kesimpulanya, memilih untuk satu atap dengan seseorang yang bukan mahrom kita hukumnya adalah haram, karena bisa menimbulkan kemudhorotan dan mendekatkan kapada jatuhnya kehormatan bagi wanita. Serta akan sulit bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan mereka dari sesuatu yang haram. Apalagi kita masih bisa mengambil alternatif yang membuat kita jauh lebih aman dari dosa yaitu memilih dipisahkanya tempat tinggal (rumah) bagi wanita terhadap laki-laki yang bukan mahromnya. 
Wallahua'lambisshowaab.


Share this article via

113 Shares

0 Comment