| 13 Views

Isu Penambangan Nikel di Raja Ampat, Skandal pengusaha Kapital

Oleh: Gien Rizuka

Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat, telah menjadi sorotan publik, terutama setelah aksi damai yang dilakukan oleh aktivis Greenpeace Indonesia pada 3 Juni 2025 di Hotel Pullman, Jakarta. Mereka  mengemukakan rasa kekhawatiran mereka terhadap lingkungan dan kehidupan setempat dari dampak buruk aktivitas tambang nikel di kepulauan Raja Ampat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menindaklanjuti laporan terkait aktivitas tambang nikel di Kabupaten tersebut. KLHK atau BPLH menyebut bahwa Deputi Gakkum telah menindaklanjuti laporan tersebut, sementara di sisi lain Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berencana bakal mengevaluasi sejumlah tambang nikel yang beroperasi di wilayah tersebut serta akan segera memanggil para pemilik perusahaan tambang untuk membahas masalah ini.

Dampak Lingkungan dan Sosial

Kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menyatakan bahwa penambangan nikel di Papua dapat mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat, terutama di Raja Ampat. Kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam yang luar biasa, termasuk 75 persen spesies terumbu karang dunia, 1.400 jenis ikan karang, dan 700 invertebrata jenis moluska. Namun, aktivitas tambang dapat merusak ekosistem ini.(binus.ac.id)

Selain itu, penambangan nikel juga dapat mengancam satwa khas Papua, seperti cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), yang merupakan spesies endemik dan hanya ditemukan di wilayah Raja Ampat. Burung eksotis ini menjadi daya tarik utama bagi para pengamat burung dari mancanegara dan turut mendukung sektor ekowisata yang memberikan kontribusi ekonomi signifikan bagi masyarakat lokal.

Namun, keberlangsungan hidup sektor ekowisata kini terancam akibat aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manura, ketiganya bagian dari kepulauan Raja Ampat. Padahal jelas berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, bahwasanya terdapat pelarangan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Greenpeace sendiri telah mencatat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di ketiga pulau itu telah dibabat untuk aktivitas pertambangan. Selain kerusakan daratan, pun terdapat kewas-wasan atas kerusakan terumbu karang yang diakibatkan lalu lalangnya kapal tongkang pengangkut nikel yang melintasi wilayah perairan Raja Ampat.

Tanggapan Masyarakat dan Pemerintah

Masyarakat adat di Raja Ampat jelas menolak ekspansi pertambangan ini, yang merusak ekologi dan memicu konflik sosial. Mereka senantiasa meminta terhadap pemerintah kabupaten Raja Ampat untuk mengevaluasi perizinan pertambangan di wilayah tersebut serta mendorong untuk berfokus pada pembangunan industri yang ramah lingkungan seperti pariwisata atau perikanan.(suarapapua.com, liputan6.com)

Pemerintah kabupaten Raja Ampat diminta untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan pemerintahan sebelumnya, yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis dibandingkan hak masyarakat adat dan pelestarian lingkungan. Jika kebijakan ekstraktif terus berlanjut, maka Raja Ampat yang kaya akan biodiversitas akan berubah menjadi kawasan bisnis pertambangan yang hanya menguntungkan oligarki.(suarapapua.com)

Nikel di Raja Ampat, jadi Incaran para kapital

Raja Ampat dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk nikel, tentu perusahaan besar akan tertarik terhadapnya. Nikel adalah logam yang sangat berharga dan banyak digunakan dalam industri, seperti pembuatan stainless steel dan baterai.

Penambangan nikel dapat memberikan pendapatan yang signifikan bagi siapa yang mampu mengenduknya. Hal ini akan bisa meningkatkan pundi-pundi rupiah untuk si pengelola nikel tersebut.

Apalagi permintaan nikel terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan industri serta nikel di Raja Ampat telah menjadi salah satu sumber penghasil SDA yang penting untuk memenuhi kebutuhan global. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi yang mendengar, terutama pengusaha-penguasaha para kapital.

Ketambah, penambangan nikel dapat menarik investasi asing dan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Hal ini dapat membawa teknologi dan keahlian baru ke daerah tersebut. Jadi wajar saja kedua perusahaan besar lokal (PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining), betah di sana karena bisa jadi penyambung kekuatan ekonomi perusahaan tersebut.

Klo sudah begini tentu saja bukan rakyat yang akan menikmati hasilnya, sebaliknya rakyat hanya gigit jari dan mendapatkan dampak negatifnya.

Kemudian, sistem kapitalismelah yang menjadi biang tercetaknya pemikiran pemerintah nire empati. Buktinya negara masih saja ceroboh memberi perizinan penambangan kepada perusahaan yang jelas akan merusak lingkungan.

Karena bagi penguasaha kapitalis, mereka hanya fokus pada bagaimana menghasilkan keuntungan dan manfaat baginya serta kelompoknya. Mereka bukan lagi mengelola, tapi lebih mengekplotasi. Maka tak heran perusahaan penambangan nikel di Raja ampat menimbulkan kerusakan biota alam.

Oleh karena itu, penting untuk melakukan penambangan nikel dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan memperhatikan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal.

Trik Islam Mengelola SDA

Islam adalah agama yang sempurna. Bagi Islam, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan olehnya secara adil dan bijak, termasuk dalam mengelola sumber daya alam (SDA).

Tatkala mengelola sumber daya alam, Islam mengedepankan prinsip keadilan, dengan memastikan bahwa manfaat sumber daya alam dapat dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang.

Islam mengatur bahwa mengelola sumber daya alam harus secara transparan, yaitu mempublikasikan informasi tentang pengelolaan sumber daya alam, sehingga rakyat mampu mengawasi dan memantau pengelolaan tersebut.

Saking apiknya, dalam mengelola sumber daya alam pun dengan cara akuntabel, yakni memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Kemudian negara memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip berkelanjutan, yaitu dengan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak hanya mempertimbangkan kepentingan saat ini, tetapi juga kepentingan generasi mendatang.

Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai salah satu contoh Khalifah yang mengelola sumber daya alam dengan baik dan adil. Beliau memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan berkelanjutan, serta memperhatikan kepentingan rakyat. Mereka hanya fokus merumuskan bagaimana cara menghasilkan keuntungan.

Dalam pengelolaannya pun, Khalifah juga harus mampu mempertimbangkan beberapa hal, seperti: mengutamakan kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan pribadi atau golongan,  menghindari kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam, serta negara mesti mengembangkan ekonomi daulah hingga rakyat dapat merasakan manslahat dan meningkatnya kesejahteraan dari pengelolaan negara atas harta berkepemilikan umum.


Share this article via

0 Shares

0 Comment