| 144 Views
Hunian Yang Layak, Akankah Didapatkan Oleh Masyarakat Miskin Dalam Era Kapitalis?

Oleh : Ummi Yourin
"Menurut statistik pemerintah, kurang lebih ada hampir 11 juta keluarga yang antrean dapat rumah yang layak, hampir 11 juta," kata Hashim di Jakarta, Rabu (4/12/2024). Berdasarkan sumber yang sama, Hashim juga menyebut ada sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. "Dengan kata lain, mereka tinggal di rumah-rumah berupa gubuk dan sebagainya," ujar adik kandung Presiden Prabowo Subianto ini.
Kondisi rumah yang tidak layak huni rentan menimbulkan persoalan stunting. Rumah yang tidak layak huni, memiliki tingkat kesehatan yang rendah, tutur Hashim. Dengan lantai yang berupa tanah, air yang tidak bersih, air yang penuh dengan kuman, bakteri, virus, dan sebagainya itu yang menyebabkan stunting juga," terang Hashim yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi.
Kondisi tersebut menjadi tantangan besar bagi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Sebab, seiring dengan membangun 3 juta rumah layak huni, Dikutip dari Antara, dari total tiga juta rumah yang direncanakan, sekitar 20 persen akan dialokasikan sebagai rumah bersubsidi, sementara sisanya dikembangkan untuk hunian komersial. Pembangunan ini mencakup dua jenis hunian, yaitu rumah tapak yang direncanakan untuk wilayah dengan ketersediaan lahan luas dan rumah vertikal, seperti apartemen serta rumah susun, yang difokuskan untuk wilayah perkotaan. Proyek ini juga akan mencakup wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Kota Bekala di Medan, Talang Keramat di Palembang, dan Bontoa di Makassar.
Di Kota Bekala, Perumnas bekerja sama dengan PTPN untuk memanfaatkan lahan seluas 241 hektare dari total 800 hektare tanah yang tersedia. Di Talang Keramat, area pengembangan mencakup sekitar 100 hektare, sementara di Bontoa sekitar 90 hektare.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan standar hidup layak (SHL) di Indonesia pada 2024 sebesar Rp12,34 juta per tahun atau Rp1,02 juta per bulan. SHL direpresentasikan dengan pengeluaran riil per kapita per tahun. Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pada Jumat (15-11-2024) menyatakan bahwa pengeluaran riil per kapita per tahun yang disesuaikan pada 2024 meningkat Rp442 ribu atau 3,71% dibandingkan 2023 yang hanya Rp11,89 juta per tahun atau Rp990,9 ribu per bulan. BPS menyampaikan meski namanya standar, SHL bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia, melainkan salah satu dimensi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut BPS, SHL mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Makin tinggi angka SHL berarti standar hidup rakyat lebih baik. SHL adalah pengeluaran riil per kapita per tahun yang disesuaikan dengan paritas daya beli. Konsep ini diadopsi dari United Nations Development Programme (UNDP). SHL memperhitungkan pengeluaran untuk makanan dan nonmakanan.
Penetapan SHL yang tidak realistis terkait erat dengan ukuran kesejahteraan dalam sistem hari ini. Sistem kapitalisme mengukur kesejahteraan rakyat dari pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap individu dalam suatu negara pada kurun waktu tertentu. Pendapatan per kapita dihitung dengan membagi pendapatan nasional bruto dengan jumlah penduduk.
Karena berupa “rata-rata”, pendapatan per kapita tidak menunjukkan secara riil pendapatan tiap orang. Pendapatan orang-orang miskin akan dijumlahkan dengan orang-orang kaya sehingga menghasilkan rata-rata yang tinggi karena terdongkrak oleh pendapatan si kaya, padahal aslinya penduduk yang miskin banyak dan yang kaya hanya segelintir.
Namun, kemiskinan itu tidak terlihat karena tertutupi oleh tingginya pendapatan orang kaya. Seolah-olah semua penduduk memiliki pendapatan yang tinggi, padahal realitasnya tidak demikian. Tampak bahwa ukuran pendapatan per kapita ini bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin.
Akankan hunian yang diperuntukan oleh pemerintah bagi orang-orang yang miskin tersalurkan pada yang membutuhkan ? melihat dari standar ukuran kesejahteraan berdasarkan pendapatan per kapita merupakan ukuran yang semu dan menyesatkan. Seolah-olah semua rakyat berpenghasilan tinggi, padahal banyak sekali individu yang miskin, bahkan miskin ekstrem (untuk makan saja sudah kesulitan).
Pendapatan per kapita tidak menggambarkan kondisi hidup tiap-tiap orang, melainkan hanya angka di atas kertas yang jauh dari realitas.
Dampak dari ukuran yang salah ini, kebijakan pemerintah akan memposisikan rakyat berdasarkan pendapatan per kapita tersebut, seolah-olah setiap rakyat berpenghasilan sebesar itu. Akibatnya, tidak ada upaya serius pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan karena menganggap rakyatnya sudah kaya. Kalaupun ada yang mendapatkan bantuan, itu hanya sebagian kecil dari rakyat miskin. Bantuannya pun sangat minim dan sekadarnya, tidak dalam rangka menyelesaikan kemiskinan yang ia derita. Walhasil si miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya
Dalam Islam, penguasa wajib memenuhi kebutuhan asasi rakyat berupa sandang, pangan, dan papan. Demikian halnya dengan pendidikan, kesehatan, keamanan dan transportasi. Dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat, negara hendaknya menciptakan sistem pendukung (support system) sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhannya, salah satunya dengan memiliki tempat tinggal yang layak.
Semua ini harus dimulai dari sistem politik negara yang tersentralisasi dengan peran negara sebagai pemain utama dalam memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Di sisi lain, negara juga menerapkan sistem ekonomi, sistem keuangan, termasuk sistem pendidikan dalam bingkai syariat Islam yang penerapannya senantiasa berasas pada spirit politik Islam yakni ri’ayatus syu’unil ummah (mengurus urusan umat).
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, negara dapat memberikan lahan kepada mereka yang belum memiliki tanah. Bagi individu rakyat yang sudah memiliki tanah atau yang enggan mengolahnya, negara akan mengevaluasinya jika sudah mencapai tiga tahun. Jika dalam masa itu pemilik tidak mengelolanya, tanah tersebut akan ditarik oleh negara dan diserahkan kepada rakyat yang siap mengelola.
Negara juga memberi dukungan finansial kepada mereka yang ingin mendirikan rumah tetapi kekurangan biaya. Adapun sumber keuangan negara berasal dari dana yang ada di baitulmal.
Sumber-sumber utama penerimaan negara di baitulmal seluruhnya terstandardisasi oleh syariat Islam. Setidaknya terdapat tiga sumber utama pendapatan negara yakni pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas, hasil hutan, laut, dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai, dan usyur. Jika kas baitulmal kurang atau bahkan kosong, pada saat itulah kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim baik dalam bentuk pajak ataupun pinjaman yang akan negara kembalikan jika kondisi keuangan negara telah stabil.
Tanggung jawab ini berjalan atas kesadaran bahwa penguasa adalah raa’in (pengurus) dalam sistem yang menerapkan Islam secara kafah. Hanya sistem Islam yang mau dan mampu memenuhi kebutuhan secara paripurna, bukan yang lain.
Wallahualam bissawwab.