| 150 Views
Hari Anak Global, Realita Pahit Anak Palestina yang Belum Merdeka

Oleh: Dila
Aktivis Muslimah
Hari Anak Global atau Hari Anak Sedunia (World Children's Day), atau diperingati setiap 20 November, dengan tujuan mengingatkan kita akan hak-hak dasar yang harus dimiliki setiap anak, seperti hak hidup, hak mendapatkan pendidikan, hak bermain, dan hak hidup dalam kedamaian. Namun, di balik perayaan ini, ada sebuah realita yang tidak bisa kita abaikan, realita pahit yang dihadapi anak-anak Palestina, hingga hari ini mereka belum mendapatkan hak-hak dasar yang dimiliki setiap anak, sehingga belum merasakan kemerdekaan sejati.
Anak-anak Palestina tumbuh di tengah wilayah yang terus bergejolak, terperangkap dalam konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun. Mereka terpaksa menjalani hidup di bawah bayang-bayang kekerasan, penindasan, dan penyiksaan yang sangat berat. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat berbeda di bawah pendudukan militer, seringkali terserang serangan udara, pembatasan pergerakan, serta ancaman setiap hari. Ditambah pula banyak anak-anak yang dibunuh juga. Namun, anak-anak Palestina memiliki ketahanan dan kekuatan di tengah penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Seharusnya, Hari Anak Global menjadi momen untuk merayakan keberhasilan anak-anak di seluruh dunia, namun bagi anak-anak Palestina, itu pengingat betapa jauh mereka dari kenyataan tersebut. Mereka tidak hanya menghadapi kesulitan fisik—seperti kekurangan makanan dan fasilitas medis—tapi juga tekanan psikologis yang luar biasa. Laporan-laporan menunjukkan, banyak anak Palestina yang mengalami trauma berat akibat konflik yang mereka saksikan, baik itu kehancuran rumah, kehilangan orang tua, atau bahkan kehilangan teman-teman mereka.
Padahal, hukum internasional menjamin hak anak untuk hidup dalam kedamaian dan aman, tapi nyatanya, anak-anak Palestina tidak merasakan itu. Mereka hidup dalam situasi yang menghalangi mereka untuk mengejar pendidikan, bermain dengan bebas, dan merasakan kebahagiaan masa kecil mereka. Setiap kali mereka keluar rumah, mereka harus menghadapi risiko, baik itu berupa serangan militer, penahanan, atau bahkan kematian. Di bawah pendudukan, akses mereka terhadap layanan kesehatan dan pendidikan sering kali terbatas, sementara hidup dalam kemiskinan dan kekurangan menjadi bagian dari kenyataan sehari-hari.
Mengapa itu bisa terjadi? Karena saat ini kita hidup dalam sistem kufur buatan manusia yakni sistem kapitalisme yang menganut paham nasionalisme. Paham nasionalisme sendiri adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Sehingga dampak buruk nasionalisme adalah egois atau tidak peduli dengan negara lain mau ada masalah atau tidak, selama negara sendiri aman ya tidak jadi masalah.
Makanya, kenapa Palestina masih tidak merdeka? Karena yang menolong hanya individu saja bukan sebuah negara. Pasalnya, negara bisa mengerahkan pasukannya untuk menolong saudara kita di sana. Namun kendalanya karena negeri-negeri kaum Muslim yang banyak tidak bisa berkutik karena sudah tercekoki dengan paham nasionalisme yang menganggap derita kaum Muslim di Palestina bukan derita mereka.
Padahal, dalam Islam sudah jelas bahwa kita sesama Muslim itu bersaudara. Sesama saudara harus saling membantu dan tolong menolong tanpa ada sekat-sekat negara. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits, dari Abu Hurairah ra berkata, telah bersabda Rasulullah SAW yang artinya, “Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya” (HR Muslim).
Oleh karenanya, solusi agar anak-anak Palestina bisa menikmati hidupnya dengan aman dan damai, yakni harus diterapkanya sistem Islam di muka bumi ini. Karena dalam sistem Islam, diwajibkan bagi kaum Muslim untuk membantu Muslim lainnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
Ketika ada yang terzalimi, maka Muslim lainnya akan menolong dan menjaganya. Jadi, selama sistem Islam belum diterapkan, maka anak-anak Palestina akan terus sengsara dan tidak merdeka. Agar anak-anak merdeka, yuk kita sama-sama menyuarakan sistem Islam kaffah sebagai solusi kemerdekaan Palestina, termasuk anak-anak.