| 312 Views
Haji 2025 kisruh, Salah Siapa?

Oleh: Imas Ummu Hilya
Aktivis Muslimah
Tahun ini sebanyak 221.000 warga Indonesia mendapatkan undangan istimewa untuk menjadi tamu Allah dan berkesempatan juga untuk masuk ke rumahnya Rasulullah SAW (Masjid Nabawi).
Bagi setiap Muslim , ini adalah salah satu hal yang sangat didambakan. Sehingga mereka rela mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk biayanya. Selain itu mereka juga harus menyiapkan stok sabar yang sangat banyak, mengapa demikian? Sebab kesabaran setiap Muslim di Indonesia yang ingin berhaji itu diuji sejak daftar. Mereka harus menunggu belasan bahkan sampai puluhan tahun untuk mewujudkan keinginannya.
Dalam pelaksanaannya untuk mempermudah mereka dalam menjalankan ibadah Haji, maka pemerintah indonesia pada tahun 2025 ini bekerjasama dengan delapan perusahaan (syarikah) dari negara Arab. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana Indonesia hanya bekerjasama dengan satu syarikah saja.
Keputusan sistem multisyarikah ini bukanlah tanpa pertimbangan yang matang. Hal ini dilaksanakan agar tidak terjadi monopoli oleh satu perusahaan saja dalam pelaksanaan ibadah Haji. Sehingga diharapkan setiap perusahaan akan menawarkan dan memberikan pelayanan dan fasilitas terbaiknya, dengan harga terbaik juga karena mereka memiliki pesaing.
Demikian dijelaskan Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Hilman Latief, dilansir detiknews.com, (19/05/2025).
Niat baik memang tidak selalu berbuah baik. Faktanya, multisyarikah ini menyebabkan berbagai permasalahan baru diantaranya yaitu pasangan suami istri yang berbeda kloter. Ini adalah kesalahan fatal, karena menyebabkan perempuan melakukan perjalanan haji tanpa adanya mahrom. Sedangkan mahrom dalam ibadah Haji itu disepakati jumhur Ulama hukumnya wajib. Ada juga lansia yang terpisah dari pendampingnya, ini lebih aneh lagi. Bagaimana mungkin disebut pendamping jika dia tidak membersamai orang yang didampinginya, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya.
Saat melihat suatu permasalahan, banyak dari kita yang fokus mencari siapa yang salah. Namun merupakan hal yang lumrah jika nantinya masing-masing pihak mengeluarkan pembelaannya.
Untuk itu, lebih baik kita telisik akar permasalahan kekisruhan ini.
Sebenarnya, biang utama kekisruhan ini adalah ide kapitalisme yang diusung oleh negara kita sebagai pengirim jemaah maupun negara Arab sebagai penerima jemaah haji. Juga tentu saja diusung oleh para pengusaha pemilik syarikah.
Kapitalisme itu berasal dari kata kapital (pemilik modal) dan kata Isme (ajaran atau pikiran). Dalam negara kapitalis, tugas negara hanya bertindak sebagai regulator. Mereka tidak harus mengurus rakyat sepenuhnya. Pengurusan rakyat diserahkan kepada pengusaha terpilih setelah melalui beberapa seleksi tentunya.
Di sinilah letak permasalahannya. Prinsip utama pemilik modal adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Dengan prinsip ini, pengusaha (sekalipun Muslim) melihat para jemaah Haji bukan lagi sebagai tamu Allah yang mulia dan harus dibantu dan dilayani dalam melaksanakan ibadahnya. Tetapi dipandang sebagai komoditas dan target pasar atas produk jasa mereka demi meraup keuntungan materi yang besar.
Dengan pengalih-tugasan ini, menyebakan peran pemerintah sebagai pelayan rakyat menjadi kurang maksimal. Pemerintah hanya bisa mengawasi kinerja pengusaha yang menjadi wakilnya.
Solusinya, tentu dibutuhkan syarikah yang amanah dan faham akan hukum fikih Haji. Sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam pembagian tugas pelayanaan jamaah dan pembagian kloter jamaah. Karena dalam ibadah itu ada aturan syara' yang tidak boleh dilanggar. Juga dibutuhkan kontroling ketat dari pemerintah terhadap kelalaian yang dilakukan oleh setiap syarikah terpilih .
Dan yang lebih utama adalah dengan meletakkan kembali fungsi pemerintah sebagaimana mestinya, yaitu sebagai pelayan masyarakat sebagaimana sabda Rasulullah saw
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (Khalifah/kepala Negara) adalah pengurus/pelayan rakyat dan bertanggung jawab atas pengurusan/pelayanan kepada rakyatnya," (HR al-Bukhari).
Juga pemerintah hendaknya melayani mereka dengan landasan keimanan karena sesungguhnya kekuasaan itu adalah amanah. Berpegang pada Hadist Rasul:
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR Muslim).
Wallahu'alam Bishowab.