| 131 Views

Fenomena FOMO pada Generasi Z: Analisis dan Solusi dalam Perspektif Islam Kaffah

Oleh : Naila
Aktivis Muslimah

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin marak di kalangan generasi Z, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi digital dan media sosial. Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi tempat di mana identitas dan status sosial dibangun. 

Generasi muda sering merasa tertekan untuk mengikuti tren dan peristiwa terkini agar tetap relevan dalam lingkungannya. Hal ini menimbulkan kecemasan dan ketakutan akan ketertinggalan dalam pergaulan, yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas komunikasi interpersonal mereka. 

FOMO berakar dari perasaan takut tertinggal dalam tren sosial, diperkuat oleh kebutuhan untuk mencari validasi dan pengakuan di dunia maya. Dari perspektif teori Uses and Gratifications, generasi Z menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhan akan keterhubungan dan validasi sosial. 

Namun, media sosial sering kali menampilkan kehidupan yang dikurasi, hanya memperlihatkan aspek-aspek menyenangkan dan pencapaian tanpa kesulitan yang menyertainya. Akibatnya, pengguna merasa tertekan untuk menunjukkan citra serupa, sehingga meningkatkan ketergantungan pada media dan memicu kecemasan jika tidak bisa mengikuti arus. Selain itu, perbandingan sosial yang terus-menerus memperdalam perasaan kurang berharga, terutama ketika apa yang tampak di media berbeda jauh dari kenyataan hidup masing-masing. 

Ini terjadi karena diterapkannya sistem sekuler kapitalis yang telah meletakkan standar sosial yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga menunjukkan krisisnya jati diri di kalangan generasi Z sekarang dan labilnya generasi dalam memaknai hidup. Melalui fenomena FOMO ini pun, generasi begitu mudah diarahkan untuk memenuhi keinginan-keinginan yang tidak mereka butuhkan.

Prinsip hidup ala kapitalisme inilah yang harus dilihat secara mendasar oleh generasi. Karena telah menciptakan gaya hidup minus faedah seperti FOMO, maka mengkritik fenomena ini pun sangatlah penting. Agar peran penting generasi sebagai agen perubahan bisa terwujud dengan merubah generasi Z yang krisis jati diri dan labil menjadi generasi yang berprinsip dan bertakwa.

Terlebih lagi, sistem kapitalis ini yang telah menciptakan ruang hingga generasi menjadi sasaran empuk berbagai tren yang tidak berfaedah dan gaya hidup hedonis yang liberal. Bahkan, sistem ini berkontribusi dalam menjerumuskan generasi pada lingkaran hidup yang materialistis. Miris, disaat kondisi generasi seperti ini, negara malah memberikan fasilitas di berbagai kanal media yang menawarkan gaya hidup instan dan glamor, penuh ilusi dan fatamorgana di kalangan generasi.

Adapun dalam perspektif Islam, Islam Kaffah menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi FOMO dengan memberikan kerangka hidup yang berfokus pada keseimbangan spiritual, sosial, dan emosional. Fenomena FOMO juga tidak hanya dipandang sebagai persoalan psikologis, tetapi juga sebagai tantangan spiritual yang harus diatasi dengan penerapan ajaran Islam secara menyeluruh. 

Ajaran Islam menekankan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah beribadah kepada Allah dan mencapai ridha-Nya. Dengan menyadari bahwa kebahagiaan sejati terletak pada hubungan dengan Allah, seseorang tidak akan merasa tertekan untuk mencari validasi di media sosial. Konsep qana'ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, membantu individu untuk tidak merasa iri atau minder ketika melihat kehidupan orang lain yang tampak lebih baik. Tawakal atau berserah diri kepada Allah juga memperkuat keyakinan bahwa setiap rezeki dan kesempatan telah diatur dengan sempurna sesuai kehendak-Nya. 

Islam juga menekankan pentingnya menjaga waktu agar tidak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Media sosial, jika digunakan secara berlebihan, dapat mengalihkan perhatian dari kewajiban ibadah dan tanggung jawab sosial. Dalam Islam, penggunaan waktu harus diimbangi antara kebutuhan duniawi dan persiapan untuk kehidupan akhirat. 

Komunikasi yang bermakna juga sangat dianjurkan dalam Islam. Alih-alih berfokus pada pencitraan, interaksi dengan sesama harus didasarkan pada niat baik dan kejujuran. Komunikasi yang otentik ini tidak hanya mempererat silaturahmi tetapi juga menghindarkan individu dari ketegangan emosional yang sering muncul akibat perbandingan sosial. 

Penyucian jiwa atau tazkiyatun nafs menjadi langkah penting dalam menghadapi tekanan sosial. Dengan membersihkan hati dari sifat iri dan ambisi berlebihan, seseorang tidak akan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat di media sosial. Islam mendorong umatnya untuk memperbanyak dzikir dan ibadah, karena kedekatan dengan Allah akan memberikan ketenangan batin dan mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal. Ketika seseorang merasa cukup dan tenang dalam hubungannya dengan Allah, ia tidak lagi merasa perlu mengikuti semua tren atau menampilkan kehidupan yang sempurna di mata orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, pendekatan Islam Kaffah juga mengajarkan pentingnya literasi media agar generasi muda dapat lebih kritis dalam mengonsumsi konten digital. Pemahaman bahwa apa yang terlihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kenyataan akan membantu mereka mengurangi kecemasan dan tekanan sosial. Bergabung dalam komunitas yang positif, seperti kegiatan sosial atau kajian agama, juga dapat memberikan rasa keterhubungan yang lebih bermakna dibandingkan interaksi di dunia maya. Selain itu, mengatur batasan dalam penggunaan media sosial sangat penting agar tidak mengganggu kewajiban dan aktivitas yang lebih bermanfaat. 

Dengan menerapkan ajaran Islam secara kaffah, generasi Z dapat terhindar dari dampak negatif FOMO. Mereka akan lebih fokus pada peningkatan diri dan hubungan yang bermakna, baik dengan Allah maupun sesama manusia, daripada mengejar citra sosial yang semu. Dalam jangka panjang, penerapan nilai-nilai Islam akan membantu mereka menjalani kehidupan yang lebih seimbang, penuh makna, dan berorientasi pada kebahagiaan hakiki.


Share this article via

56 Shares

0 Comment