| 116 Views
Duka Anak Gaza, Duka Kaum Muslim Seluruh Dunia

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim
Kebiadaban zionis semakin hari kian menjadi-jadi. Puluhan ribu anak-anak yang menjadi korban genosida, turut ditambah pula dengan meninggalkan kepedihan berupa anak-anak yang menjadi yatim karena kehilangan orang tua. Lebih dari 39.000 anak di Jalur Gaza telah kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka akibat serangan zionis yang terus-menerus sejak 7 Oktober 2023. Menurut biro statistik Palestina seperti dilansir Al Mayadeen, Jalur Gaza kini menghadapi krisis yatim terbesar dalam sejarah modern. Sementara itu, sedikitnya 100 anak Palestina meninggal atau terluka setiap harinya di Jalur Gaza sejak zionis melanggar gencatan senjata pada 18 Maret 2025, ungkap Kepala Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini, mengutip UNICEF pada Jumat 4 ApriL 2025 (liputan6,com, 06/04/2025).
Mirisnya, semua fakta ini terjadi di tengah narasi soal hak asasi manusia dan segala aturan internasional serta perangkat hukum soal perlindungan dan pemenuhan hak anak. Tanggal 5 April lalu ditetapkan sebagai hari anak Palestina. Penetapan hari tersebut lantaran anak-anak Palestina secara historis hidup dalam kondisi yang sangat sulit akibat penjajahan zionis. Namun apalah arti hari peringatan anak jika penjajahan zionis masih terus berlangsung hingga pada taraf yang sangat mengerikan di abad modern ini.
Zionis terus menjatuhkan bom di camp-camp pengungsian hingga tubuh anak-anak perempuan, laki-laki berterbangan di udara menciptakan pemandangan yang begitu mengerikan. Gedung-gedung terus dihancurkan, sarana vital seperti rumah sakit, sekolah, bahkan toko roti mrnjadi sasaran. Bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar di blokade oleh zionis. Ini semua pemandangan yang menyayat hati dan mengerikan. Namun faktanya dunia tetap diam. Lembaga internasional hanya sibuk melakukan kecaman dan diplomasi. Sementara itu pun penguasa negeri muslim buta dan tuli seolah dunia sedang baik-baik saja. Bahkan diantara mereka masih ada yang senantiasa menormalisasi hubungan diplomatik dengan zionis.
Realita ini semestinya menyadarkan kita semua, bahwa tidak ada yang bisa kita harapkan dari lembaga-lembaga internasional dan semua aturan yang dilahirkannya. Masa depan Gaza atau Palestina ada pada tangan kita sendiri, yakni pada kepemimpinan politik Islam. Kepemimpinan inilah yang semestinya sungguh-sungguh diperjuangkan. Kehadiran bersatunya seluruh kaum muslim di bawah kepemimpinan Islam yakni khilafah adalah untuk menjadi raa’in (pengurus).
Rasulullah bersabda, “Imam atau khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari). Khilafah juga merupakan junnah atau perisai. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya seorang Imam itu adalah perisai. Dia akan dijadikan perisai yang orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada ‘Allah Azza wa Jalla, dan adil, ia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga akan mendapatkan dosa atau azab karenanya.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Peran ini akan membuat rakyat terbebas dari kezaliman, penghinaan, ataupun perampasan hak sebagaimana yang dialami oleh anak-anak Gaza. Hal ini dibuktikan selama belasan abad, Khilafah Islam berhasil menjadi benteng pelindung yang aman dan memberikan support sistem terbaik bagi tumbuh kembang anak. Sebab Islam memandang anak adalah generasi penerus, yang harus terpenuhi dan terjamin kebutuhannya. Negara akan memenuhi kebutuhan asasi anak, seperti makanan bergizi, tempat tinggal, pakaian layak, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Islam tidak akan membiarkan bencana generasi terjadi. Karena itu, jika ada kepemimpinan Islam, penjajahan Zionis terhadap Palestina tidak akan berlarut-larut. Karena jihad akan segera diperintahkan untuk mengakhiri penjajahan, bahkan sebelum penjajahan itu terjadi. Khilafah akan mematikan wilayah tersebut tetap aman. Sebelum Khilafah runtuh, Khilafah Utsmaniyah memerintahkan Kopral Hasan Al-Aghdarli dan timnya untuk menjaga Yerusalem. Perintah dari perwira seniornya itu ia patuhi selama 65 tahun. Kopral Hasan Al-Aghdarli adalah prajurit terakhir dari Khilafah Utsmaniyah yang menjaga Masjidil Aqsa hingga meninggal pada tahun 1982.
Sultan Abdul Hamid II, juga melindungi Palestina dari permintaan dan penawaran kotor Theodore Herlz. Sultan Salahuddin Al Ayyubi, mengerahkan semua kemampuannya untuk membebaskan kembali Al-Quds dari tentara salib. Penjagaan yang sungguh luar biasa diberikan oleh Khilafah agar tanah kaum muslimin tetap menjadi milik kaum muslimin. Perlindungan diberikan semaksimal mungkin agar anak-anak yang hidup di wilayah negara khilafah terbebas dari penjajahan dan perampasan lahan. Sehingga mereka bisa fokus pada potensinya untuk menjadi generasi cemerlang pembangun peradaban Islam.
Karena itu, upaya yang harus dilakukan hari ini adalah setiap muslim wajib terlibat dalam memperjuangkan kembalinya khilafah. Upaya ini harus diambil agar mereka memiliki hujjah bahwa mereka tidak diam berpangku tangan melihat anak-anak Gaza dan orang tua mereka dibantai oleh zionis dan sekutu-sekutunya. Perjuangan mengembalikan kepemimpinan Islam tentu tidak bisa dilakukan sendiri. Rasulullah telah mencontohkan perjuangan menegakkan negara Islam pertama kali di Madinah, harus dilakukan melalui dakwah pemikiran. Dahulu Rasulullah melakukannya bersama para sahabat yang terhimpun dalam Hizbun Rasul. Maka saat ini, umat Islam juga harus berjuang bersama untuk mendakwahkan pemikiran ideologis Islam yang mengikuti metode dakwah Rasulullah, untuk menegakkan kembali perisai umat Islam di bawah Daulah Khilafah.
Duka anak Gaza ialah duka kita juga sebagai kaum muslim yang jumlahnya banyak namun tak mampu membebaskan mereka dari penderitaan penjajahan zionis. Jika kita terus diam terhadap kedzaliman dan abai bahkan sampai melupakan mereka, maka bersiaplah kelak anak-anak Gaza pun akan bertanya langsung di hadapan Allah, “Dimanakah kalian saudara muslim ku saat kami ditindas? Dimanakah kalian yang jumlahnya jutaan itu saat kami sedang menderita”