| 247 Views
Drama Pagar Laut, Bukti Kuatnya Cengkeraman Korporasi. Hanya Islam Solusi Tuntasnya!

Oleh : Dewi Yuliani
Lagi - lagi viralnya kasus pagar laut di berbagai tempat ini sejatinya sudah jelas ada pelanggaran hukum, namun tidak segera ditindaklanjuti dan dibawa dalam aspek pidana.
Deretan pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang telah diketahui setidaknya sejak Juli 2024, menurut kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil yang diwawancarai oleh BBC News Indonesia. Namun pagar itu baru dicabut oleh pemerintah setelah persoalan ini viral di media sosial.
September 2024, kelompok nelayan tradisional telah mengadu ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, kata Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa. Saat itu mereka menemukan deretan pagar bambu di perairan Kabupaten Tangerang. Selain telah menyulitkan mereka melaut, kelompok nelayan juga cemas pagar dan petak-petak itu didirikan untuk proyek reklamasi. Heri berkata, pejabat dinas waktu itu menyebut pagar bambu itu didirikan tanpa izin. Namun mereka membuat klaim tak berwenang mencabutnya.
Tak menemukan solusi dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Heri dan kelompok nelayan lantas mengadu ke Ombudsman di Jakarta. Langkah itu yang belakangan membuat persoalan ini viral dan ramai dibicarakan publik. Bahkan nampak adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.
Kasus ini, sebagaimana juga kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi.
RAPAT antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membahas persoalan pagar laut dan sejumlah isu kelautan harus segera ditindaklanjuti secara konkrit. Agar masalahnya tidak semakin berlarut-larut.
Langkah KKP yang melakukan respons terhadap pagar laut karena tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) belum memuaskan publik. Apalagi pihak KKP mengakui pihaknya masih punya kelemahan dalam pengawasan ruang laut. Begitu pun sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang mengkapling wilayah laut hanya berupa sanksi administrasi berupa denda yang murah.
Mafia pagar laut yang marak di berbagai daerah kini mencuatkan paradoks. Sumber daya kelautan, pesisir dan pulau kecil kini bisa dikelola seenaknya tanpa campur tangan pemerintah daerah bahkan tanpa partisipasi penduduk lokal. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya kelautan yang mencapai 3.000 triliun rupiah per tahun belum terkelola dengan baik. UU Nomor. 11/2020 tentang Cipta Kerja mereduksi perizinan dan kemudahan investor.
Sangat disayangkan Negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang. Bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat, bekerja sama melanggar hukum negara membawa kemadaratan buat rakyat dan mengancam kedaulatan negara. Prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme membuka peluang terjadinya korporatokrasi, munculnya aturan yang berpihak pada oligarki.
Saat ini sistem pemerintahan kita memang oligarki dan korporatokrasi. Kekuatan kapital telah menjadi faktor yang menentukan jabatan politik di negeri kita. Artinya, kekuasaan ditentukan oleh kekayaan dan sumbernya adalah korporasi. Fenomena menguatnya korporatokrasi di negeri kita ditandai dengan lumpuhnya lembaga antirasuah KPK melalui revisi UU KPK. Kekuasaan Dewan Pengawas KPK yang besar berpeluang menjadi kepanjangan tangan presiden. Korupsi pun selalu dicirikan dengan kerja sama antara pejabat dengan pengusaha.
Negara seharusnya berfungsi sebagai raa'in dan junnah bagi rakyat. Semua ini akan terwujud ketika aturan bersumber pada hukum syarak, dan bukan akal manusia.
Islam memiliki sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikan lengkap dengan aturan pengelolaannya. Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum. Semua sama di hadapan hukum.
Dengan prinsip kedaulatan di tangan syarak, maka korporatokrasi dapat dicegah. Apalagi Islam menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja, dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasiliasi pihak lain mengambil harta miliki rakyat.
Islam juga menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja. Penguasa haram menyentuh harta rakyat, memfasilitasi pihak lain untuk mengambil harta milik rakyat umum, bahkan menerima suap dengan sebab jabatan yang ia sandang. Ini sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barang siapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji maka apa saja yang diambilnya selain dari gaji adalah harta khianat (ghulûl).” (HR Abu Dawud).
Merujuk hadis tersebut, hadiah untuk pegawai itu termasuk ghulûl. Artinya, jika ada seorang pejabat pemerintah, kemudian ada orang lain yang memberikan hadiah berkenaan dengan tugas pejabat itu, hal itu termasuk ghulûl. Tidak halal bagi pejabat itu untuk mengambil hadiah yang ada sedikit pun, meski itu diberikan dengan senang hati.
Sungguh, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Rasulullah saw. telah mengingatkan umatnya akan bahaya cinta kekuasaan (hubb ar-ri’asah) dan agar berhati-hati terhadap ambisi berkuasa ini. Beliau saw. bersabda, Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil. (HR Ath-Thabrani).
Wallahualam bissawab.