| 16 Views

‘’Barter’’ Pengakuan Negara Israel dengan Kemerdekaan Palestina oleh Presiden Indonesia, Ampuhkah?

Oleh : Ariyana Lasanti
Aktivis Dakwah

Dilansir dari media CNN Indonesia pada hari Rabu (28/05/2025) dalam sebuah konferensi pers di Istana Merdeka, rakyat Indonesia dikejutkan oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang  mengungkapkan bahwa Indonesia siap menjalin hubungan diplomatic dengan Israel dengan syarat negara Palestina diakui oleh negeri Zionis. Ditegaskan pula oleh Prabowo Subianto bahwa Indonesia mendorong solusi dua negara atau Two-State Solution sebagai penyelesaian konflik di antara kedua negara. Dalam konferensi pers tersebut turut hadir Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang jelas menjadi sorotan di dalam maupun di luar negeri karena sejauh ini Indonesia memang menolak dengan tegas untuk menjalin hubungan diplomatic dengan Israel. Padahal pada masa kepemimpinan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, tak terkecuali Presiden Pertama RI Soekarno, menolak dan menentang dengan keras kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan Israel terhadap Palestina, bahkan kemerdekaan Palestina terus diperjuangkan dalam berbagai misi perdamaian.

Di sisi lain, Presiden Prabowo juga mendukung upaya Prancis dan Arab Saudi dalam penyelenggaraan KTT di New York, Amerika pada Juni dengan tujuan mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Menurut Emmanuel Macron tujuan diadakannya KTT di New York adalah untuk diberikannya dorongan baru demi terciptanya pengakuan negara Palestina sekaligus pengakuan terhadap adanya negara Israel untuk hidup aman dan damai di kawasan tersebut.

Seorang pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai dan mengingatkan dampak dari ucapan Presiden Prabowo Subianto akan berpotensi membuat banyak negara tercengang  dengan Indonesia. Bagaimana tidak, karena dilihat dari pengalaman yang telah dialami oleh beberapa negara Timur Tengah yang menjalin hubungan dengan Israel. Ungkapnya, Israel sering ingkar dan menindas masyarakat Palestina. Dan dalam pandangan masyarakat Timur Tengah, Israel terkenal sebagai negara yang munafik, dalam dialog sering berbohong, jika berjanji cenderung mengingkari, jika menjalankan perjanjian cenderung menggunting dalam lipatan, imbuh Rezasyah.

Berbeda dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya, menilai ucapan Presiden Prabowo Subianto  tersebut merupakan sikap konsistensi Prabowo. Menurutnya, hubungan diplomatic antara Indonesia dengan Israel ini penting karena bertujuan demi mendapatkan pengakuan kemerdekaan Palestina. Ditambahkan juga oleh Gus Yahya alasannya sejalan dengan prinsip dan komitmen Presiden Prabowo bahwa bersama dengan kekuatan lain, perjuangan NU selalu berdiri tegak dan kokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Selain dari itu, Gus Yahya juga meminta bahkan mendesak kepada dunia internasional konsesus yang ada sesuai hukum internasional dijalankan dengan patuh.

Berkaca dari sejarah, betapa liciknya bangsa Zionis Yahudi setiap melakukan kerja sama bahkan perjanjian dengan bangsa-bangsa lain yang sering diingkari harusnya menjadi pertimbangan utama yang harus dipikirkan matang- matang oleh pemerintah Indonesia. Kerena tak ada alasan  untuk tidak menolak membuka kerja sama dengan bangsa pengkhianat. Apalagi Israel telah nyata-nyata melakukan genosida terhadap rakyat Palestina tanpa pandang bulu. Dari kaum wanita hingga ana-anak dijadikan korban kebiadaban mereka. Puluhan korban nyawa setiap hari harusnya sudah cukup untuk dijadikan bukti nyata bahwa Israel tak layak untuk diajak kerja sama oleh bangsa mana pun.

Sangat miris jika Presiden Prabowo benar-benar mengakui kemerdekaan Israel padahal narasi solusi dua negara merupakan suatu jebakan buatan Inggris dan Amerika dengan iming-iming palsu Palestina akan diberi kemerdekaan. Di sisi lain, pernyataan tersebut adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap perjuangan para pejuang Islam terdahulu seperti pada masa khalifah Umar, Pasukan Sultan Shalahudin, perjuangan rakyat Gaza, korban Nakba, Intifada, dan Martir Tufan Al Aqsa.

Percuma berdialog bahkan mengadakan kerja sama dengan Zionis walau dengan dalih bertujuan untuk batu loncatan dan menekan Zionis agar mau mendengar suara kita. Karena sekelas organisasi besar seperti PBB saja diabaikan dan tidak didengar. Justru peluang pintu kerja sama yang kita coba buka lebar-lebar dengan Israel seakan menormalisasi tindakan pembantaian Muslim Gaza dan akan semakin memberikan kemudahan bagi Zionis Israel dalam melakukan pembantaian  biadab yang tak ada henti-hentinya.

Dijelaskan dalam sebuah ayat Allah SWT  yang berbunyi, ’’... Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.’’ (QS. Al-Maidah ayat 32)

Juga dalam sebuah hadits yang berbunyi, "Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang muslim.’’

Dari potongan ayat dan hadits tersebut seharusnya pemerintah berani ambil sikap yang tidak netral, sudah sangat jelas kejahatan dan kelicikan bangsa Zionis Yahudi terhadap Palestina bahkan tidak segan-segan menghabisi nyawa rakyat Palestina.

Jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bentuk negara berbasis syariat, akan memiliki pandangan yang tegas terhadap penjajahan, solidaritas umat, dan batas wilayah yang pernah dikuasai kaum muslimin. Secara historis, Palestina adalah bagian dari peradaban Islam. Maka dari itu, tanah ini tidak bisa di negosiasi atau di bagi. Keberadaan Israel di atas tanah Palestina dianggap sebagai bentuk penjajagan yang nyata dan bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, sistem Islam tidak akan pernah mengakui kedaulatan Israel karena itu berarti mengakui keabsahan penjajahan atas tanah umat Islam dan menormalisasi keberadaan entitas yang dibangun di atas penindasan dan pengusiran umat Muslim.

Dalam konteks ini, penderitaan rakyat Palestina bukan hanya masalah kemanusiaan melainkan amanah syar’i yang menuntut pembelaan. Maka dari itu, sistem Islam akan menganggap pembebasan Palestina sebagai kewajiban kolektif seluruh umat, yang bila sebagian umat mampu, maka mereka harus mengerahkan upaya militer dan politik untuk mengusir penjajah dan mengembalikan tanah tersebut ke dalam kekuasaan Islam. Di sisi lain, sistem Islam tidak akan tunduk pada tekanan internasional.

Dengan demikian, jika sistem Islam yang menangani masalah ini, maka tidak akan ada pembahasan tentang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tidak akan ada syarat “jika Israel mengakui Palestina” karena sejak awal kehadiran Israel di tanah Palestina dianggap illegal dan zalim. Fokusnya akan berada pada pembelaan terhadap Palestina, pengusiran penjajah, dan penyatuan umat Islam dalam membela hak-haknya, bukan pada mencari kompromi yang dapat merugikan dan melemahkan posisi umat Islam secara global.

Pemimpin yang paham akan hukum dan syariat Allah pasti ingin menerapkannya demi terjaganya nyawa manusia. Karena hukum syariat Islam berfungsi sebagai pembimbing umat pada kebenaran dan diterapkannya sanksi pidana yang sebanding dengan kejahatan manusia. Karena memang benar bahwa untuk mengusir penjajah Zionis dari bumi Palestina adalah dengan jalan jihad semesta di bawah kepemimpinan Khilafah. Kita sebagai umat muslim harus bersungguh-sungguh dan konsisten berjuang untuk tegaknya Khilafah kembali dengan jalan metode atau thariqah perjuangan Rasulullah saw.
Takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar.


Share this article via

3 Shares

0 Comment